Miscellaneous

Arus Takdir

Aku tak tahu bagaimana takdir bisa berlaku seperti ini padaku. Menggulungku dalam lautan lepas, dan aku tak mampu melawan berenang mendekati bibir pantai hidupku. Aku terhanyut dalam arusnya yang dingin, aku terhempas-hempas pasrah dalam gulungan-gulungannya yang liar. Sementara tanganku dan kakiku lelah melawan. Seluruh badanku kesemutan. Tenagaku habis. Ternyata aku memang tak mampu melawan takdir. Yang bisa kulakukan hanya diam. Bernafas. Bertahan hidup.

Pertemuan denganmu itu pasti permainan takdir. Aku tak menyangka dan menyengajakan pertemuan denganmu. Begitupun kamu. Kita sama-sama tersentak. Kita bertemu di suatu masa, dimana aku dan kamu sama-sama telah dewasa.

“Masih ingat dengan masa kecil kita dulu?” Aku bertanya padamu, dan kamu tersipu. Kamu mengangguk malu. Kamu masih ingat, seperti halnya aku. Kita melalui masa kecil kita bersama. Aku menjagamu, mati-matian. Dan kamu selalu berlindung di belakangku, tak pernah lepas merenggut kemejaku. Sungguh, itu dulu masa yang indah.

Ini pertemuan kita, setelah sekian tahun lamanya.

Dan aku rindu padamu. Berhimpit-himpit beban rindu itu di dadaku, saat melihat senyum manismu terpancar.

“Kamu tak berubah, masih manis, seperti dulu.” Aku tak kuat menahannya. Untuk tidak mengatakan betapa aku ingin kamu. Rasaku bergejolak. Sementara suara-suara kecil itu membisikkan padaku untuk tahu diri. Untuk mundur segera. Sebelum semua terlambat. Tapi…

Lagi-lagi kamu tersenyum manis. Ya Tuhan, senyum itu, lesung pipi itu. Masih sama, sedari dulu. Menggetarkan. Kamu yang sekarang lebih perwujudan bidadari daripada manusia. Setiap hari melihatmu, aku tak kuasa. Binar matamu, kulit mulusmu, rambut panjangmu. Semua menawan. Kamu sederhana, apa adanya. Kamu tak banyak bicara. Kamu bukan ratu, tapi sanggup menjarah hatiku seperti penguasa tanpa ampun. Tapi itulah kamu, kamu yang menyeretku jauh ke dalam cintamu.

Aku menginginkanmu.

Tapi memang sudah terlambat semuanya. Perasaan ingin melindungi itu sudah berkembang sejauh ini. Mungkin itulah orang mengatakan istilah ‘jatuh cinta’. Kamu jatuh. Dalam totalitas kebutaan sejati. Dan bangun dari cinta, seperti mustahil. Akan ada luka dan lebam bekas-bekas jatuhmu. Selamanya tergores disana, kamu takkan lupa. Takkan pernah.

Aku jatuh cinta padamu.

Kamu jatuh cinta padaku.

Kita terjatuh bersama, dalam satu wadah cinta yang sama. Kita saling menginginkan. Padahal kita tahu ada yang salah. Tapi cinta kita buta. Buta juga gila.

Hingga satu hari, kamu datang padaku dengan wajah keruh. Keringat menempel di dahimu. Tanganmu dingin dan wajahmu pucat. Ada genangan kecil air mata di sudut sana, menunggu terbuang. Mata hitammu mencerminkan gelisah, cemas, dan ketakutan. Tak ada senyum. Hanya hawa keresahan yang kau bawa pagi ini. Aku tahu akan ada kabar yang tak mengenakkan.

“Aku muntah. Mual.” Kamu berkata pelan, nyaris berbisik. Akhirnya air matamu yang menggenang tak sanggup lagi bertahan di pelupuk mata. Semua tangismu tumpah ruah.

Aku diam, sebenarnya ingin menunggu kelanjutan kalimat itu. Tapi aku tahu, dari wajahmu, dari tangismu, dari gerak tubuhmu, kamu telah mengatakannya begitu jelas.

Anakku sedang mengenyam hidup di rahimmu.

 Tak ada penghiburan yang bisa terucap dari mulutku yang kering. Tak ada kata manis yang bisa kuungkap untuk menghilangkan dukamu.

Lalu aku harus bagaimana? Aku tak mungkin mengadu, juga sulit bertanggung jawab.

Aku tak tahu caranya, mengeja kata per kata, pada ayahmu, yang juga ayahku. Bagaimana kalau ibumu, yang juga ibuku, tahu tentang ini?

Aku masih terpaku, tak bicara satu getar pun. Hanya mampu kuusap lembut rambutmu. Kamu masih menangis. Tahu bahwa takdir yang menyelimuti kita sedang menghempas kita ke dasarnya. Nafas kita sesak. Ingin keluar, tapi tak bisa.

Kita tak tahu bagaimana takdir bisa berlaku seperti ini pada kita. Menggulung aku dan kamu dalam lautan lepas, dan kita tak mampu melawan berenang mendekati bibir pantai hidup. Kita terhanyut dalam arusnya yang dingin, terhempas-hempas pasrah dalam gulungan-gulungannya yang liar. Sementara tangan dan kaki kita lelah melawan. Seluruh badan kita kesemutan. Tenagaku dan kamu habis. Ternyata aku dan kamu memang tak mampu melawan takdir. Yang bisa dilakukan hanya diam. Bernafas. Bertahan hidup.

Seandainya ayah dan ibu kita tak pernah memutuskan untuk kembali menyatu setelah perpisahan panjang…

4 tanggapan untuk “Arus Takdir”

Tinggalkan komentar