Belajar Sastra, Jurnal Menulis, Kelas Menulis Poetica

Benchmarking dan Hipogram

Bagi pembaca, mungkin saat membaca sebuah karya sastra, kita merasa bahwa karya tersebut mempunyai kemiripan dengan karya lain. Atau, dari sisi penulis, saat menulis, sengaja ataupun tidak, kita terpengaruh oleh gaya tulisan dari apa yang kita baca. Mengenai kedua hal tersebut, pada tanggal 20 Desember, kelas Poetica membahas mengenai benchmarking dan hipogram. Sebelum membahas lebih jauh apa yang dimaksud dengan keduanya, saya akan menceritakan sedikit mengenai cerpen ‘The Lottery’ karya Shirley Jackson, serta ‘Gadis Istimewa’, yang menjadi bahan acuan untuk membahas materi kali ini.

The Lottery menceritakan tentang sebuah daerah yang sedang mengadakan pemilihan menggunakan lotere atau undian. Jika dibaca dari awal, seperti tak ada yang aneh dengan pemilihan tersebut, namun, di akhir cerita, barulah akan terlihat bahwa lotere tersebut sebenarnya adalah pemilihan untuk mengorbankan nyawa seseorang. Sementara Gadis Istimewa sebenarnya tak jauh berbeda ceritanya dengan The Lottery, dimana dengan setting yang berbeda, para pria di sebuah desa di zaman dahulu mengadakan pemilihan melalui sejenis undian. Pemilihan itu tak lain untuk memilih wanita mana yang akan dijadikan tumbal untuk menghindari kemarahan dewa pada desa mereka. Terlihat bahwa kedua cerita punya unsur-unsur yang sama, namun sebenarnya ditulis dengan gaya dan setting waktu dan tempat yang sama sekali berbeda.

Ketika kita melihat ada unsur-unsur yang sama antara dua cerita, mungkin kita terpikir bahwa salah satu penulis melakukan plagiasi terhadap yang lain. Padahal tidak selamanya begitu. Inilah yang kemudian disebut hipogram. Hipogram merupakan unsur cerita (baik berupa ide, kalimat, ungkapan, peristiwa, dll) yang terdapat di dalam suatu teks sastra pendahulu yang kemudian dijadikan model, acuan, atau latar teks yang lahir kemudian (teks sastra yang dipengaruhinya). Bisa saja sebuah karya memang menginspirasi karya lainnya, seperti Gadis Istimewa yang memang disengaja untuk terinspirasi dari The Lottery. Dan bisa saja, dua karya tidak saling terinspirasi satu sama lain, namun lebih karena pengalaman penulis yang kurang lebih sama. Hal ini tentu bukan hal yang aneh ataupun salah, karena kita sendiri hidup di bawah nilai-nilai universal yang sama. Manusia punya emosi yang berbicara dengan ‘bahasa’ yang sama. Kita bersedih saat sesuatu yang buruk menimpa kita. Kita senang saat jatuh cinta. Kita merasa kecewa saat tidak mendapat apa yang diinginkan. Cerita cinta tak sampai yang diakhiri dengan kematian atau bunuh diri juga terjadi di belahan bumi mana saja. Banyak hal umum yang lumrah terjadi di mana saja. Saat itulah, terpengaruh oleh lingkungan atau pengalaman yang hampir sama, dua atau lebih penulis yang tidak pernah bertemu, tidak pernah membaca karya satu dan lainnya, bisa jadi menulis karya yang hampir mirip satu sama lain.

Mengenai hipogram tadi, ada empat macam hipogram, yaitu:

  • Ekspansi, yakni perluasan atau pengembangan hipogram. Dari sebuah cerita, kita sengaja menambahkan beberapa bagian di sana-sini, namun masih dengan ide dasar, setting dan tokoh yang sama.
  • Konversi, yakni berupa pemutarbalikan hipogram. Konversi berarti benar-benar mengubah cerita seratus delapan puluh derajat. Tak lagi mempertahankan unsur asli cerita.
  • Modifikasi, yakni manipulasi kata dan kalimat atau manipulasi tokoh dan plot cerita. Jadi ada bagian yang kita ubah sesuai dengan kemauan kita, namun tak mengubah keseluruhan cerita seperti dalam konversi tadi.
  • Ekserp, yakni intisari dari hipogram. Kebalikan dari ekspansi, kita justru ‘meringkas’ cerita menjadi lebih singkat dari aslinya.

Jadi, sebenarnya, sah-sah saja bagi kita, jika ingin menulis cerita yang terinspirasi dari satu cerita lain, dan kemudian mengubahnya sedemikian hingga. Terutama ketika hasil akhir cerita itu menjadi berbeda dari sebelumnya. Oleh karena itu, bagi penulis pemula, yang belum menemukan gaya khas dalam menulis, bisa melakukan benchmarking. Saat penulis pemula belum menemukan ‘identitas’ atau gaya khasnya sendiri, ia bisa memulainya dengan mencoba menulis dengan gaya tulisan dari penulis lain. Sambil pelan-pelan menemukan gaya khasnya menulisnya sendiri. Yang terpenting adalah belajar menulis terlebih dahulu meski terpengaruh oleh gaya penulis lain, daripada tidak menulis sama sekali.

Benchmarking sendiri ada yang murni dan tidak. Yang murni, misalnya saat kita memilih satu penulis untuk kita jadikan acuan menulis kita. Kita pelajari cara menulisnya, bagaimana cara dia bertutur ketika memaparkan idenya, mencari ide atau perbandingan dari bukunya, dll. Sementara, yang tidak murni, biasanya benchmarking yang tidak disengaja, saat seorang penulis ‘menyerap’ atau ‘terpapar’ gaya menulis dari penulis lain. Hal ini dimungkinkan jika kita mengidolakan penulis tertentu, atau terlalu sering membaca karya penulis tertentu, sehingga mau tidak mau, gaya penulis tersebut teradopsi oleh kita.

Sulit sekali menemukan ide yang benar-benar orisinil, terutama karena adanya kesamaan nilai-nilai antarmanusia seperti yang dijelaskan di atas. Sehingga tak mengherankan, ketika banyak penulis punya ide dasar yang mirip. Sehingga apabila kita ingin menuduhkan kemungkinan plagiasi pada suatu karya, sebenarnya kita harus hati-hati dan bijak dalam melihat yang mana plagiasi, yang mana yang terinspirasi. Jika kita jeli, kita bisa menemukan hipogram dalam karya-karya sastra, bahkan yang sangat terkenal sekalipun. Namun, yang membuat karya-karya itu terkenal, tentu karena masing-masing punya kekuatan yang membuatnya dikenang oleh pembacanya. Tentu tugas kita sebagai penulis, menemukan kekuatan itu dalam cerita kita sehingga membuat karya kita ‘berbeda’ serta ‘orisinil’ dibanding yang lainnya.

Belajar Sastra, Jurnal Menulis, Kelas Menulis Poetica

Mengeksplorasi Tulisan

Tanggal 23 Mei lalu, kelas menulis online Poetica kembali dihelat. Ada dua hal yang dipelajari dalam kelas menulis lalu, yakni true line dan bentuk tulisan.

Yang pertama adalah true line. Apakah yang dimaksud dengan true line? Kita bisa mengartikan true line sebagai garis besar yang menghubungkan setiap kejadian dalam cerita yang kita tuliskan. True line membantu kita mengetahui kemana cerita akan dibawa. True line lah yang akan menjawab pertanyaan,”Apa yang terjadi pada tokoh utama/ protagonis?”

Pola di hampir semua cerita selalu dibangun dengan tiga pondasi yang sama: Awal – Tengah – Akhir atau Beginning – Middle – End. Yang menjadi berbeda adalah paparan setiap kejadian yang menyambungkan setiap cerita yang ada di pembabakan itu.

Awal – Diperkenalkan tokohnya, diperkenalkan hal-hal yang berkaitan dengan ceritanya.

Tengah – Mulai dibubuhi konfliks, mulai ada bumbu konflik yang dihadirkan kepada pembaca.

Akhir – Ada turning point, atau ada klimaks yang mulai diselesaikan, sampai cerita berakhir.

Pola di setiap cerita drama misalnya, dikenalkan siapa karakternya, apa hubungan karakter itu dengan karakter lainnya, ada cerita antara kedua karakter itu, mereka dekat, lalu ada masalah, dll hingga akhir. Hampir setiap cerita membawa pola yang sama. Atau kalau boleh kita katakan sekarang, punya ‘true line’ cerita yang sama.

Mari kita lihat contoh true lain dari cerita Cinderella:

1. Ada keluarga kecil bahagia, lalu kemudian sang Ayah menikah dengan istri baru. Cinderella punya ibu tiri.

2. Cinderella disiksa dan diminta untuk melakukan apa pun keinginan ibu tirinya.

3. Mulai ada perubahan cerita, dia mendengar ada undangan dari istana. Dia pergi, dia memakai sepatu kaca.

4. Pangeran mencari dia, ketemu, menikah, hidup bahagia.

True line atau garis besar pola cerita Cinderella tidak jauh berbeda dengan cerita-cerita lainnya.

Ada tokoh yang tersakiti (Cinderella) sekaligus protagonis, ada tokoh utama lainnya (ibu tiri, dan saudara tirinya), dan ada tokoh protagonis lain sebagai penyelamat (pangeran, ibu peri).

Cinderella mendapati masalah dan konflik, tapi ada jalan-jalan keluar yang diberikan kepadanya (resolusi cerita), dan ending mulai bisa dilihat dan kita tebak hasilnya.

Biasanya di hampir setiap cerita cinta, true line-nya juga tak jauh berbeda: Kedua tokoh saling mencintai, ada masalah, ada konfliks, tapi akhirnya mereka bisa bertemu dan bersama-sama lagi.

Dengan true line yang sebenarnya tak jauh berbeda, bagaimana masing-masing penulis mampu memikat pembacanya untuk tetap membaca hingga akhir? Hal itu bisa dilakukan karena penulis tersebut punya KEKHASAN, yang membuat PENGEMASAN cerita menjadi unik. Untuk menemukan yang berbeda dan punya kekhasan sendiri, bukanlah hal yang mudah. Diperlukan pengalaman menulis, jam terbang, serta latihan menulis yang terus-menerus.

Materi berikutnya adalah bentuk tulisan. Ada 5 bentuk tulisan yang harus diketahui, dilihat dari cara pengemasan ceritanya. Kalau 5 bentuk tulisan ini sudah terkuasai, kemungkinan untuk mengembangkan potensi kita menjadi lebih baik, itu akan menjadi lebih besar.

1. Dialogue

2. Description

3. Action

4. Thought

5. Exposition

Mari kita bahas satu per satu, masih dengan contoh cerita Cinderella.

Eksposisi, dimana kita mengemas cerita, seperti seakan-akan tengah merangkum keseluruhan kejadian dengan urutan yang lazim kita temukan di dongeng atau legenda.

Dahulu kala, hiduplah seorang laki-laki tua bersama seorang gadis dan istrinya yang tercinta. Mereka semua hidup dengan penuh kebahagiaan selama ini, hingga akhirnya satu hari, istri sang lelaki itu meninggalkan dunia karena sakit yang dideritanya.
Setelah bertahun-tahun sendiri, lelaki itu akhirnya memutuskan untuk meminang seorang perempuan untuk ia jadikan sebagai istrinya…

Bentuk tulisan eksposisi, lazim kita temukan di cerita dongeng atau legenda. Biasanya dimulai dengan kata-kata: once upon a time, suatu waktu di negeri antah berantah, dll. Kekurangan dari cerita dengan jenis ini, dia mudah membuat bosan pembacanya. Karena seakan-akan tidak ada aksi atau sesuatu yang ‘wah’ di cerita yang dipaparkan.

Karena bentuk ini sudah terlalu sering dilakukan, mari menulis dengan bentuk lain. Dialog, misalkan. Kita bisa mulai bercerita dengan langsung membawakan dialog di permulaan cerita.

“Cinderella, kamu sudah selesai mencuci?”
“Belum, Ma. Aku masih membersihkan piring-piring di dapur.”
Ibu tirinya memandangnya marah. “Itu seharusnya sudah selesai dari satu jam yang lalu, Cinderella. Dasar gadis pemalas.”
“Maaf, Ma. Tapi, aku..””Diam. Aku tak mau ditentang di rumah ini.”

Nah, dibanding membuat cerita cinderella dengan versi eksposisi, dialog pun bisa langsung dipakai. Dan cerita bisa lebih hidup.

Ingin mencoba cara lain? Ada thoughts atau pikiran. Kita bisa langsung memaparkan ‘pikiran’ Cinderella seperti contoh berikut:

Ini sungguh tidak adil. Mengapa aku tidak diperbolehkan ke istana? Saudara tiriku bisa pergi ke sana. Tapi hanya aku yang ditinggal di rumah ini dan tidak diperbolehkan pergi ke pesta. Padahal aku sudah selesai dengan semua pekerjaan rumahku. Rasanya bosan di rumah saja seperti saat ini. Aku ingin sekali bisa bertemu dengan pangeran.

Masih ingin bereksperimen dengan bentuk yang lain? Action, bisa menjadi salah satu pilihan.

Cinderella berlari. Ia menjauh dari orang-orang yang mengitarinya. Tengah malam sudah dekat waktunya, ia harus segera berlari dan bersembunyi sebelum wujud semua gaunnya berubah seperti biasanya.

Teknik terakhir, adalah deskripsi. Mungkin bukan hal baru bagi kita, namun bisa dicoba untuk membuat ‘rasa’ cerita menjadi berbeda.

Baju butut yang dikenakannya tadi tak ada lagi–Cinderella kini terlihat memukau dengan gaun cantiknya. Wajahnya tak lagi terlihat muram, senyum terpancar di sana.  Penampilannya semakin memikat dengan sepatu kaca indah yang kini terpasang di kedua kakinya. Ia sungguh berbeda dari beberapa menit sebelumnya, dimana ia lebih terlihat seperti seorang pembantu. Kini ia tampak seperti putri raja.

Bagaimana, menarik bukan? Satu cerita Cinderella yang sudah kita hapal benar ceritanya, ternyata bisa dieksplorasi lagi dengan berbagai bentuk tulisan. Jadi, jangan terjebak dengan awalan cerita yang harus A dan B seperti yang orang lain biasa tuliskan.

Dengan memilih mengeksplor cerita dengan cara-cara seperti itu, kita bisa meng-KAYA-kan pengalaman yang dirasakan pembaca. Lima bentuk tadi tak hanya bisa jadi awalan cerita, tapi bisa juga jadi bentuk keseluruhan cerita. Semakin paham dengan setiap jenisnya, kita akan semakin mudah membuat cerita dengan jenis yang kita rasa pas dengan cerita yang ingin kita tuliskan.

Dalam kelas kali ini, kami diminta membuat cerita tentang Putri Salju atau Snow White, dan kami diperbolehkan untuk memilih bentuk tulisan yang kami inginkan dari lima bentuk tadi.

Kesimpulan yang saya ambil adalah, dalam pembuatan cerita, sangat berguna untuk menentukan true line dari cerita kita, terutama untuk menulis cerita yang lebih panjang dan kompleks, misalnya menulis novel. Jika kita sudah memiliki true line cerita, maka meskipun kita belum membuat paparan rinci tulisan kita, kita sudah tahu kemana cerita kita akan terbawa. When you notice your true line, at least it keeps your story on track. Namun yang diperhatikan kemudian adalah MENGEMAS true line tersebut sehingga cerita yang kita buat menjadi KHAS dan UNIK. Salah satu cara agar cara menulis kita berkembang adalah dengan mencoba 5 bentuk tulisan tadi, yakni: exposition – thought – dialogue – action – description. Mengembangkan cara menulis yang berbeda akan membuat kita menemukan ‘sisi lain’ dari cara menulis yang biasa kita gunakan selama ini.

Belajar Sastra, Jurnal Menulis, Kelas Menulis Poetica

Menulis dengan Turning Point dan Reverse Writing

Materi Kelas Menulis Poetica tanggal 3 Mei 2013 lalu membahas tentang dua hal, yakni Turning Point dan Reverse Writing.

Turning Point sebenarnya bisa diartikan berbagai hal. Ia bisa diartikan sebagai titik balik atau pengalihan. Namun pada intinya, turning point berfungsi untuk mengubah cerita dari satu titik ke titik yang lain. Cerita yang tadinya berjalan seperti ‘A’, bisa berubah jadi ‘B’ karena ada turning point ini. Dalam cerita, turning point bisa diletakkan di mana saja, awal, tengah, atau akhir cerita. Dan untuk sebuah novel atau film, turning point-nya bisa banyak sekali.

Dalam Laskar Pelangi misalnya, kedatangan siswa dengan keterbelakangan mental bernama Harun yang menggenapi jumlah murid SD Muhammadiyah menjadi sepuluh orang, adalah salah satu turning point dalam cerita itu. Jika tak ada kehadiran tokoh Harun, maka SD Muhammadiyah akan menutup sekolah itu. Cita-cita Ikal dan kawan-kawan yang ingin bersekolah akan kandas. Namun, tokoh Harun membuat cerita berubah sepenuhnya. SD Muhammadiyah tidak jadi ditutup dan mereka pun bisa bersekolah lagi.

Begitu pula dalam cerita Sang Pemimpi, salah satu turning point yang penting dalam cerita itu adalah saat Pak Balia, guru mereka, memotivasi murid-muridnya untuk menjelajah dunia dan menuntut ilmu di Prancis. Seandainya tidak ada kejadian tersebut, mungkin tokoh Ikal dan Arai takkan pernah bermimpi untuk kuliah di Sorbonne.

Jadi sebenarnya, turning point bisa kita buat dalam berbagai bentuk. Ia bisa berupa klimaks, antiklimaks, dan sebagainya. Turning point bisa kita tuliskan dalam kehadiran tokoh baru, peristiwa tertentu yang mengubah hidup tokoh, berubahnya kesadaran pemikiran pada tokoh, dan sebagainya.

Bahasan berikutnya adalah mengenai Reverse Writing. Reverse writing sendiri adalah ketika cerita itu dibalik maka cerita itu akan tetap utuh serta tidak membingungkan saat dibaca. Misalnya dalam kalimat dari penggalan tulisan Teguh Puja yakni Hari Telah Mati dan Tanah Merah yang merupakan contoh reverse writing.

Ingin sekali kembali mengenang fragmen-fragmen kecil yang bisa mengingatkannya kepada buah hati yang kini ada di hadapnya. Tapi lambat laun akhirnya ia tersadar, tak pernah ada cukup waktu yang ia benar-benar habiskan bersama anaknya. Dan tangisnya semakin deras, bersama jeritan sesal yang mengikuti setelahnya.

Jarum-jarum air yang berjatuhan tiba-tiba menjadi deras seperti air mata yang dibawanya. Tubuhnya menggigil, akan tetapi dia tetap tak ada reaksi apapun. (Hari Telah Mati)

Reverse Writing dari tulisan tersebut:

Tubuhnya menggigil, akan tetapi dia tetap tak ada reaksi apapun. Jarum-jarum air yang berjatuhan tiba-tiba menjadi deras seperti air mata yang dibawanya.

Dan tangisnya semakin deras, bersama jeritan sesal yang mengikuti setelahnya. Tapi lambat laun akhirnya ia tersadar, tak pernah ada cukup waktu yang ia benar-benar habiskan bersama anaknya. Ingin sekali ia kembali mengenang fragmen-fragmen kecil yang bisa mengingatkannya kepada buah hati yang kini ada di hadapnya. (Tanah Merah)

Salah satu cara untuk menulis reverse writing adalah dengan menuliskan narasi tanpa kronologis kejadian dengan waktu yang berjalan sangat lambat atau bahkan berhenti/ pause.

Terakhir, satu hal yang kemudian ditekankan pada kami adalah pentingnya penulis menulis dari hati. Penulis yang baik, bisa merebut hati pembacanya, sehingga pembaca seharusnya ikut merasakan emosi yang ia tuliskan dalam setiap karyanya. Pembaca bisa merasakan apakah sebuah tulisan itu ditulis tulus dari hati atau tidak.

Jadi, untuk tugas dari kelas menulis kali ini adalah menulis sebuah cerpen dengan turning point dan membuat sebuah tulisan reverse writing. Tugas turning point telah saya kerjakan dalam tulisan saya yang berjudul Tumpah Darah. Sementara tugas reverse writing bisa dilihat dalam tulisan saya sebelumnya yang berjudul Boneka dan Hamba Sahaya.

 

Belajar Sastra, Jurnal Menulis, Kelas Menulis Poetica

Sekilas Mengenai Majas

Dalam berbahasa, baik lisan maupun tulisan, kita kadang menggunakan bahasa kiasan. Tidak semua kata memberikan makna sebenarnya. Penggunaan kata kiasan seperti ini disebut majas (figurative language). Dalam khazanah Bahasa Indonesia, banyak majas yang bisa digunakan. Namun untuk kelas menulis tanggal 13 April lalu, materi lebih ditekankan pada empat macam majas perbandingan berikut: Alegori, Simile, Personifikasi, dan Metafora.

1. ALEGORI

Adalah majas yang memberikan kiasan dengan hal-hal yang biasanya berhubungan dengan alam. Misalnya air, angin, gunung, batu, laut, dan sebagainya. Untuk membuat majas ini, ada baiknya jika kita memahami sifat-sifat dari alam yang ingin kita bandingkan.

Misalnya :

Beruntunglah suatu wilayah yang memperoleh pemimpin dengan sifat-sifat layaknya air. Kehadirannya selalu ditunggu karena air selalu menjadi sumber kehidupan bagi semua makhluk. Air selalu mengalir dari tempat tinggi ke tempat yang lebih rendah. Selain itu, air juga bisa memadamkan api. Ketika ada batu yang menghalangi jalannya, air selalu bisa mencari jalan untuk melewatinya.

Pemimpin yang baik digambarkan dengan karakteristik dasar air, misalnya mengalir dari tempat yang tinggi ke tempat yang lebih rendah, dimana maksudnya pemimpin haruslah berpihak pada rakyatnya. Air mampu memadamkan api dan melewati batu, yaitu pemimpin seharusnya bisa mengatasi masalah dengan tenang dan cara yang baik.

2. SIMILE

Merupakan salah satu majas perbandingan yang cukup mudah dikenali karena ditandai dengan kata penghubung dan kata depan: seperti, bak, layaknya, bagaikan, ibarat, bak, dan seterusnya.

  • Mereka bertengkar seperti anjing dan kucing.
  • Keyakinannya teguh layaknya karang.

Alegori dan simile seakan-akan mirip, namun keduanya memiliki perbedaan. Dalam alegori, kita memberikan perbandingan disertai dengan penjelasan karakteristik dari alam yang kita maksud. Sementara dalam simile, kita bisa langsung membandingkan tanpa menambahkan karakteristik benda yang kita bandingkan tersebut. Misalnya dalam contoh majas simile di atas, ‘Keyakinannya teguh layaknya karang’, tidak perlu lagi menjelaskan karakteristik karang seperti yang biasa dilakukan dalam majas alegori.

3. PERSONIFIKASI

Memberikan perumpaan seolah benda mati yang bukan manusia melakukan hal-hal yang sebenarnya hanya dilakukan manusia.

Contoh:

  • Rambutnya tersangkut di ranting-ranting pohon, cabang-cabangnya seakan menarik-narik rambutnya yang panjang, menyatakan ketidaksetujuan mereka akan kehadiran sang gadis di hutan ini.

Dalam contoh kalimat itu seakan cabang pohon mampu bergerak. Padahal cabang pohon sejatinya tidak bisa menarik rambut seperti yang dilakukan oleh manusia.

4. METAFORA

Metafora berarti memberikan perbandingan secara langsung, tanpa memberikan kata-kata layaknya, ibarat, bak, dan sebagainya.

  • Kambing hitam –> Ia selalu menjadi kambing hitam dalam keluarga.

Kambing hitam berarti orang yang selalu dituduh melakukan kesalahan.

  • Buah tangan –> Baju ini adalah buah tangan dari ayahku.

Buah tangan berarti oleh-oleh.

Sebagai penutup, kami diberikan beberapa tugas dalam kelas kali ini. Salah satunya adalah membuat tulisan yang mempergunakan keempat majas di atas namun tanpa dialog sama sekali. Tugas tersebut telah saya kerjakan dalam tulisan saya yang berjudul GILA!.

Menurut saya, kita bisa melihat bahwa penggunaan majas sebenarnya bukan hal yang asing dalam kehidupan sehari-hari. Kita bisa mengeksplorasi tulisan kita dengan sengaja memasukkan beberapa majas sehingga tulisan kita terasa lebih ‘hidup’. Dengan majas, kita bisa memberikan bentuk tulisan yang berbeda dari biasanya, tidak melulu menyajikan tulisan dalam makna sebenarnya. Dengan kata lain, majas bahkan mampu ‘memperindah’ bahasa yang kita gunakan, apabila digunakan dengan tepat dan proporsional tentunya.

Belajar Sastra, Jurnal Menulis, Kelas Menulis Poetica

Membangun Setting

Salah satu unsur intrinsik yang juga sangat penting dalam membangun karya sastra adalah setting. Setting tersebut lah yang kemudian dibahas dalam Kelas Poetica pada pertemuan hari Jum’at, tanggal 22 Maret 2013 lalu. Kita bisa mengartikan setting secara sederhana sebagai latar; yakni tempat dan waktu terjadinya cerita. Meski terlihat ‘sepele’, namun setting berguna untuk memperkuat tema, menuntun watak tokoh, dan membangun suasana cerita. Setting yang dideskripsikan dengan baik akan membuat cerita seolah benar-benar terjadi. Sebagai penulis, kita bisa membangun suasana yang kita inginkan dalam tulisan dengan menguasai setting. Kita bisa membayangkan sendiri sebagai pembaca, sebagus apapun ide dan alur sebuah cerita, jika latarnya tak dituliskan dengan baik, maka kita akan kesulitan dalam menangkap maksud penulis karena ketidakjelasan setting tersebut.

Seperti dijelaskan tadi, setting merupakan tempat dan waktu terjadinya cerita. Dengan kata lain, intinya setting terbagi menjadi dua, yakni: tempat dan waktu.

1. Setting fisik, yakni setting yang berkenaan dengan tempat (Where).

2. Setting kronologis, yakni setting yang berkenaan dengan waktu (When).

Sebagai penulis, kita bisa memilih untuk mengeksplorasi latar secara umum/ general, atau secara khusus/ spesifik. Contoh setting yang umum untuk setting fisik misalnya di rumah, di sekolah, di kota, dan sebagainya. Sementara untuk setting waktu misalnya bulan Januari, pada malam hari, dan sebagainya.

Contoh setting yang khusus/ spesifik untuk setting fisik misalnya Universitas Trisakti, kota Yogyakarta, Pantai Kuta, dan sebagainya. Sementara untuk setting waktu bisa kita gunakan tanggal dan waktu yang juga bersifat khusus, misalnya tanggal 17 Agustus 1945, malam tahun baru tahun 2000, di musim semi sepuluh tahun yang lalu, dan sebagainya.

Lalu setting yang bagaimana yang kita sajikan pada pembaca? Semua tergantung tujuan penulisan kita. Kita bisa saja memilih setting dituliskan secara umum, agar cerita terasa universal, dan karena kita tak ingin cerita kita terikat pada ruang dan waktu tertentu. Sebaliknya, kita bisa memilih setting yang spesifik saat kita memang merasa perlu mengungkap tempat dan waktu secara rinci dalam tulisan kita. Apalagi jika kita memang ingin menulis hal yang berkenaan dengan peristiwa tertentu yang sudah akrab di masyarakat. Misalnya, jika kita ingin menulis tentang kisah cinta yang unik, antara seorang pemuda yang menjadi pejuang, dan kesulitannya untuk bersatu dengan kekasihnya, tidak ada salahnya jika kita berusaha mengungkap setting secara detail, misalnya dengan menyebutkan latar kota tempat terjadinya perang dan juga waktu kejadian. Contohnya latarnya terjadi di ibukota, pada zaman agresi Belanda pasca Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.

Lalu bagaimanakah cara kita mengeksplorasi setting?

Dalam menulis, tak jarang kita menulis dari apa yang ditangkap oleh ‘sense’ kita. Kita menulis dari apa yang kita lihat, dengar, rasa, baui, atau pikirkan. Kita bisa mengeksplorasi indra penciuman, pendengaran, atau penglihatan kita untuk membangun setting. Jadi, dengan mengedepankan sense yang kita miliki, dan berusaha benar-benar menjadi mata, telinga, dan hidung di setting yang kita bangun, maka kita akan mampu membuat setting yang menarik dan bisa menyentuh hati pembaca.

Saya akan mencoba memberi contoh, bagaimana kita bisa menggali setting berdasarkan ‘sense’, berdasarkan apa yang saya lihat, dengar, baui, dan pikirkan.

Aku mencoba memutar leherku dari ujung hingga ujung, memantau setiap pergerakan manusia di bangunan ini. Di sana, di bawah pohon bambu, dua mahasiswa tampak sedang asyik dengan laptopnya masing-masing. Hanya beberapa meter di sebelah kananku, seorang mahasiswi sedang asyik dengan gadget-nya dan tampak sulit menahan tawa sedari tadi. Kulayangkan pandang lebih jauh dan dahiku berkerut saat di sudut taman, ada dua insan yang sedang asyik berpegangan tangan dan bermesraan di tempat yang begitu terbuka. (Deskripsi apa yang dilihat)

Sebenarnya aku tengah berkonsentrasi dengan tugasku di taman ini, tapi tak jua bisa kulakukan karena suara gelak tawa beberapa mahasiswa yang sedari tadi mengobrol dengan asyiknya di seberangku. Belum lagi mahasiswi yang asyik dengan gadget-nya itu kini menelepon temannya. Aku bahkan bisa mendengar gosip yang sedang asyik ia bicarakan dengan lawan bicaranya. Suara cekikikan yang ia keluarkan benar-benar mengganggu. Aku ingin sekali menutup telingaku karena bising. (Deskripsi apa yang didengar)

Seakan semua hal tak berhenti menggodaku, penciumanku mulai mengendus bau masakan dari kantin di sebelah taman ini. Aku sudah berusaha untuk mengacuhkannya, tapi bau daging ayam yang sedang dibakar tercium begitu kuat. Aromanya menguar terbawa angin tepat ke hidungku, dan itu berhasil membuatku semakin tak bisa berkonsentrasi. (Deskripsi apa yang dibaui)

Dan tak pelak lagi, pikiranku tak lagi berfokus pada apa yang seharusnya kucurahkan sekarang, yaitu untuk tugas kuliahku. Aku malah membayangkan bagaimana jika aku berhenti saja berusaha membuat tugasku di taman ini karena sepertinya akan sia-sia saja. Terlalu banyak gangguan, sementara waktuku terus terbuang. Terlintas di benakku untuk menutup saja laptopku, dan kemudian pergi dari taman ini, untuk mencicipi ayam bakar yang sedari tadi menggodaku. Yah, aku bisa mengerjakan tugasku lainkali, mungkin di tempat yang lebih sepi. (Deskripsi apa yang dipikirkan)

Bukan hanya menjadi sebagai latar, konflik cerita bisa kita dapatkan dari cara kita mengeksplorasi setting. Misalnya tulisan yang menggambarkan bencana alam, merupakan hasil eksplorasi setting. Begitu pula saat kita ‘mengadu’ setting dengan karakter, kita bisa menghasilkan konflik dari hal tersebut. Contoh di atas tadi misalnya, saat seorang pemuda yang jadi pejuang tak bisa bersatu dengan kekasih yang dicintainya, karena latar percintaan mereka yang dibuat hidup di zaman perang.

Saya akan memberikan contoh eksplorasi setting dalam tulisan bencana alam, misalnya dalam bencana tsunami.

Aku curiga saat aku memandang lautan luas di depanku ini tiba-tiba surut sebegitu jauh. Barusan memang terjadi guncangan yang cukup besar. Namun aku dan keluargaku tak begitu khawatir, karena gempa adalah hal yang biasa terjadi di sini. Akan tetapi, air laut yang tiba-tiba lenyap hingga beberapa meter membuatku bergidik. Beberapa ekor ikan tampak menggelepar, tertinggal oleh air laut yang menyurut cepat. Anak-anak nelayan yang tinggal di sepanjang garis pantai tampak gembira. Suara mereka riuh rendah, begitu senang karena bisa menangkap ikan tanpa jerih payah. Mereka tampak berebut menjadi pemenang dalam mengambil ikan terbanyak. Keceriaan mereka yang mengisi pantai ini tak kusangka akan jadi suara terakhir yang kudengar. Karena di depan kami semua air datang membentuk tembok tinggi, lebih tinggi dari rumah kami semua. Bahkan lebih tinggi dari pohon kelapa yang pasrah disapu terjangannya ombaknya. Suara ombak yang datang meraung-raung mengerikan, dengan kecepatan tinggi yang tak terbayangkan. Dan ketika ombak itu sudah di depan mataku, aku tak sanggup memikirkan apapun lagi, bahkan berpikir untuk lari pun tidak. Aku hanya memejamkan mata, saat aku merasakan tubuhku seperti mainan tak berdaya, terbawa oleh arus deras air laut yang kini memasuki seluruh rongga tubuhku.

Selain penjelasan di atas, ada hal-hal lain yang juga harus kita perhatikan dalam membangun setting, yakni:

1. Proporsi. Setting sebaiknya diberikan dalam proporsi yang pas atau seimbang. Jangan sampai terlalu banyak atau terlalu sedikit. Jika kita memberikan deskripsi setting terlalu banyak, kita akan membuat pembaca menjadi lelah. Sementara setting yang terlalu sedikit juga tidak baik karena tak mampu memberikan gambaran yang cukup pada pembaca.

2. Riset. Salah satu hal yang penting untuk digarisbawahi, dalam membuat setting, selain sense, jangan ragu untuk melakukan riset secukupnya, jika memang diperlukan. Terutama untuk latar yang memang ada di dunia nyata, seperti negara atau kota tertentu. Tentu agar setting yang kita bangun tak berkesan asal-asalan, sehingga cerita yang kita buat terasa nyata dan menarik. Sementara untuk genre fantasi, yang setting-nya tidak ada di dunia nyata dan  tidak begitu memerlukan riset, bukan berarti setting menjadi tidak penting. Tetap saja, kita harus memberikan setting yang memadai. Mirip seperti karakter atau penokohan di pembahasan kelas Poetica sebelumnya, penulis genre fantasi justru harus bekerja ‘lebih’ keras membuat situasi setting dalam imajinasinya tergambarkan secara lebih detail dan jelas. Tentu dengan maksud agar ceritanya tersampaikan dengan baik pada pembacanya.

3. Setting tidak terpaku pada bentuk deskripsi semata. Setting juga bisa dimasukkan dalam dialog. Sebagai contoh :

“Bisakah kamu menemuiku di di restoran tempat saji lantai tiga yang terletak di Mall ini? Aku duduk di meja yang terletak di balkon luar, di wilayah smoking area.” (Setting fisik)

“Kamu mungkin sudah lupa kejadian saat kamu tertidur sehingga menabrakkan mobil Papa. Tapi saat itu sudah dini hari, dan kebetulan aku ingat hari itu hujan begitu deras  sehingga aku masih terjaga. Memang hari begitu gelap, lampu jalan juga tak menyala. Aku melihat kamu yang tak lagi bisa mengendalikan mobil Papa dan menabrakkannya ke pohon di pinggir jalan.” (Setting kronologis)

Seperti biasa, di akhir kelas Poetica,  ada tugas yang menanti untuk dikerjakan. Kali ini ada dua tugas yang berkaitan erat dengan setting. Yang pertama, menceritakan tentang proses kelahiran masing-masing dari sudut pandang orang lain. Yang kedua, menceritakan kisah cinta pertama masing-masing.

Dengan demikian, yang dapat saya simpulkan dari penjelasan mengenai setting adalah pentingnya eksplorasi setting dengan sense yang kita miliki. Keberhasilan eksplorasi setting akan menghasilkan cerita yang menarik serta mampu menyentuh hati pembaca.

Belajar Sastra, Jurnal Menulis

Analisis Paham Feminisme dalam ‘Gadis Istimewa’

Feminisme adalah suatu paham yang mencoba mengangkat harkat dan derajat perempuan yang selama ini dipandang berada di bawah laki-laki. Paradigma yang sangat partiarkal seperti ini, membuat wanita dipandang secara negatif: lemah, sensitif, emosional, pasif, dan sebagainya. Wanita, sebagai akibatnya, diperlakukan secara tidak adil untuk mendapat akses ke berbagai hal yang mereka inginkan, hanya karena jenis kelamin mereka, bukan dipandang dari kemampuan atau kecakapan wanita itu sendiri. Sangat berkebalikan jika dibandingkan dengan pria. Feminisme, mencoba untuk mengubah pandangan ini.[1]

Beberapa tulisan banyak yang sebenarnya mengangkat tentang feminisme di dalamnya, baik secara langsung maupun tidak langsung. Paham feminisme inilah yang ingin saya tunjukkan pada tulisan kolaborasi saya dan Teguh Puja, yang berjudul ‘Gadis Istimewa’. Tulisan itu ber-setting di sebuah dusun terpencil, dengan perkiraan waktu di zaman dahulu, saat masyarakat dusun tersebut masih sangat tradisional. Namun, tentu menganalisis tulisan ini, tak bisa dilepaskan dari unsur intrinsiknya, dimana saya juga masih membahasnya dari setting dan tema tulisan. Tulisan ini memang tidak menggambarkan feminisme secara gamblang dan terang-terangan, melainkan tersembunyi secara samar dalam kalimat-kalimatnya. Namun masih sangat jelas betapa gender menjadi isu utama tema tulisan ini. Saya akan mencoba membuat interpretasi dengan mengupasnya per paragraf.

Mari kita menilik paragraf pertamanya :

Senja sudah terbenam, tenggelam di ufuk barat. Gelap pun menyelubungi. Suasana dusun itu kini harusnya sepi. Biasanya, setelah surya tak nampak, tak ada lagi masyarakat yang mau beranjak keluar dari rumah mereka yang sederhana. Namun, hari ini berbeda. Mereka tahu, hari ini, berdasarkan perhitungan mereka terhadap langit, adalah hari yang sangat penting. Hari dimana seluruh pria dewasa di dusun itu untuk berkumpul. Maka di tengah sinar bulan yang temaram, beberapa pria tampak berjalan tenang, sambil bercakap-cakap. Mereka semua menuju ke satu titik yang sama, sebuah lapangan luas yang biasa mereka jadikan tempat untuk berkumpul seluruh warga.

Dari kata ‘suasana dusun itu kini harusnya sepi’, menunjukkan bahwa ada perbedaan pada malam itu. Perbedaan yang seperti apa? Kalimat selanjutnya menjelaskan hari yang berbeda tersebut. ‘Mereka tahu, hari ini, berdasarkan perhitungan mereka terhadap langit, adalah hari yang sangat penting. Hari dimana seluruh pria dewasa di dusun itu untuk berkumpul’. Kalimat itu telah menunjukkan adanya gejala pembedaan gender, karena hanya pria dewasa saja yang tampak, sementara wanita tidak ada sama sekali.

Selanjutnya, kita lihat paragraf keduanya:

Sejak pagi semua kepala keluarga di dusun itu tahu, akan ada perayaan diiringi ritual yang akan mereka sama-sama rayakan. Ritual tahunan yang akan mereka lakukan demi kedamaian dan kesejahteraan setiap orang di dusun itu. Langit di malam sebelumnya sudah menjadi pertanda, agar semua lelaki dewasa bersiap dengan baju adat mereka. Purnama sudah mulai menjejaki puncaknya, ritual harus segera dilaksanakan.

“Mainkan genderangnya. Kita sambut malam dengan purnama yang sempurna ini.”

Dari paragraf tersebut, kita bisa menangkap ada sebuah ‘ritual atau perayaan tahunan yang bertujuan untuk memberikan kedamaian dan kesejahteraan’ pada malam itu, dimana hanya kepala keluarga dan juga lelaki dewasa yang datang. Setting waktu menunjukkan bahwa ritual tersebut hanya dilaksanakan di malam bulan purnama penuh, bisa kita analisis dari kalimat Purnama sudah mulai menjejaki puncaknya, dan ‘Purnama yang sempurna’.

Kemudian, kita lanjutkan untuk paragraf ketiga.

Semua pria bersiap, berkumpul di tengah lapangan. Purnama yang benderang di atas kepala mereka tak lagi tertutup awan. Seorang pria yang lebih tua, dengan pakaian adat yang berbeda dari yang dipakai pria itu muncul dengan sebuah tongkat di tangan. Ia adalah shaman, atau dukun dari dusun tersebut. Ia merupakan salah satu penduduk tertua, dan ia sendiri dihormati karena posisi dan kedudukannya di dusun itu. Kini ia berdiri, di depan sekitar dua puluhan pria yang menatap ke arahnya. Semua pria tegang, saat sang dukun akan memulai ritual malam itu.

Kembali, unsur dominasi laki-laki ditunjukkan dalam ritual ini. Selain kehadiran peserta yang semuanya laki-laki, seorang shaman, pemimpin ritual tersebut, juga adalah laki-laki. Dan ia dipandang terhormat karena ia yang paling tua dan juga posisinya yang sebagai shaman atau dukun di dusun itu.

Dari paragraf ini, kita bahkan bisa mengestimasi jumlah penduduk yang ada di dusun itu. Jika yang hadir rata-rata adalah kepala keluarga atau perwakilan keluarga, sementara mereka semua berjumlah dua puluhan, maka jika satu keluarga terdiri dari lima orang anggota keluarga, dusun itu penduduknya berkisar seratus orang. Bukan jumlah yang banyak memang, namun menjadi masuk akal, karena dusun tersebut ber-setting di zaman dahulu, dimana jumlah penduduk juga seharusnya tak terlalu banyak.

Selanjutnya, kita telaah paragraf keempat :

Tak ada wanita atau anak-anak yang berani memunculkan diri dalam ritual tahunan ini. Bukan rahasia lagi kalau setelah malam ini, akan ada salah satu yang menjadi pahlawan dusun, satu yang akan ditahbiskan dalam air suci yang nanti kan disempurnakan oleh sang shaman, dukun di dusun itu. Semua orang sudah mafhum dan maklum, tak ada seorang pun yang berani membantahnya. Ketika seseorang telah terpilih, maka malam itu akan menjadi malam terakhir yang akan dihabiskannya.

Paragraf ini menunjukkan ironi, dimana ungkapan pahlawan, yang menurut pemahaman kita, adalah seseorang yang dielu-elukan serta mampu bertahan melewati kesukaran apapun, justru akan menghadapi malam terakhirnya. Pahlawan yang dimaksud, akan mati di ritual tersebut. Nah, hal ini akan diperjelas lagi di paragraf-paragraf selanjutnya.

Selanjutnya, paragraf lima:

Suara genderang yang ditabuhkan membuat suasana malam itu semakin mencekam. Namun para pria itu telah terbiasa mengikuti ritual ini dari tahun ke tahun. Bagi sebagian dari mereka, apalagi yang telah mengalami ritual ini beberapa kali, upacara ini tak ubahnya sesuatu yang biasa, sesuatu yang memang harus dilalui dari tahun ke tahun. Pria yang boleh mengikuti ritual ini hanya pria dewasa yang berusia di atas 17 tahun. Beberapa remaja pria yang baru sekali-dua mengikuti ritual ini tampak pucat pasi dan meneguk ludah beberapa kali. Namun, seluruh masyarakat tahu, upacara ini begitu penting bagi dusun mereka, terutama setelah beberapa bencana alam yang mereka alami tahun ini.

Untuk paragraf lima ini, dijelaskan mengenai peserta ritual. Siapa saja yang menjadi peserta? Tentunya, mereka adalah laki-laki, dan ia harus lelaki dewasa yang berusia 17 tahun ke atas. Oleh karena itulah, tak  ada wanita dan anak-anak yang menjadi peserta ritual.

Dua paragraf berikutnya, yaitu keenam dan ketujuh:

Tentu sangat mengejutkan bagi mereka yang belum pernah sekali pun mengikuti ritual ini, selama ini para pemuda itu hanya tahu bahwa salah seorang dari mereka akan menjadi kunci dari keselamatan desa. Tak ada yang benar-benar melihat seluruh prosesi ritual ini. Yang tahu dan yang menjalani semua prosesnya hanyalah mereka yang sudah diberikan izin oleh sang shaman, dukun dusun ini. Tak boleh ada orang yang memaksakan diri mencari tahu kalau memang belum sekali pun mendapatkan restu dari sang shaman. Begitulah rahasia yang dipegang dan dijaga selama ini di dusun itu.

Sang shaman menghela nafas panjang, dan mengangkat tongkatnya, memberikan sinyal agar gendang berhenti dipalu. Remaja pria yang baru mengikuti ritual tampak antusias, ingin mengetahui apa yang akan terjadi setelah ini. Sementara beberapa pria dewasa yang berkali-kali mengikuti ritual sudah tahu shaman akan memberitahukan sedikit peraturan serta latar belakang ritual ini.

Dalam paragraf keenam dan tujuh, dijelaskan bahwa ritual ini memiliki aturan tertentu. Yang mengetahui proses dari ritual tersebut hanyalah peserta yang pernah menjalaninya. Saya mengartikannya dengan tingginya adat-istiadat yang dijunjung oleh penduduk dusun itu—yang juga menunjukkan ciri masyarakat yang masih sangat tradisional—karena mereka tidak mau memberitahukan pelaksanaan ritual tersebut kepada penduduk yang tak mengikuti ritual. Hal tersebut juga ditunjukkan dari kalimat berikut : ‘Remaja pria yang baru mengikuti ritual tampak antusias, ingin mengetahui apa yang akan terjadi setelah ini. Sementara beberapa pria dewasa yang berkali-kali mengikuti ritual sudah tahu shaman akan memberitahukan sedikit peraturan serta latar belakang ritual ini’.

Mari menelaah paragraf berikutnya :

“Kita tahu dewa-dewa sedang marah pada kita.” Sang shaman berkata. “Kini kemarahannya tak bisa lagi kita duga kedatangannya. Bencana yang ia turunkan pun, lebih banyak dari tahun-tahun sebelumnya.” Para pria itu mengangguk. Mereka tahu benar bahwa tahun ini, panen mereka gagal karena banjir kiriman yang entah datang dari mana asalnya. Bukan hanya itu, longsor yang terjadi tiba-tiba beberapa bulan lalu dan mengakibatkan beberapa orang tewas, memberikan kedukaan mendalam pada seluruh warga. Mereka yakin, entah mengapa, dewa sedang marah pada mereka, dan sedang menegur mereka secara langsung, dengan memberikan mereka bencana-bencana tersebut.

“Salah satu cara terbaik itu adalah dengan pengorbanan salah satu di antara gadis kita di dusun ini. Itu sudah menjadi yang biasa kita lakukan selama ini. Ada yang merasa keberatan? Ada yang mau melawan kehendak dewa?”

Disini jelaslah sudah, bahwa yang menjadi korban, memang adalah wanita. Peserta pria di ritual ini, hanya bertugas memilih wanita mana yang akan mereka korbankan. Hal ini juga sebenarnya didukung dengan keberadaan shaman yang menjadi penduduk tertua di dusun itu. Ia tetap hidup lama, dan tak kunjung dipilih menjadi korban, karena ia laki-laki. Dan tujuan pengorbanan terhadap wanita, tak lain adalah untuk meredakan kemarahan dewa yang menurut penduduk, ditunjukkan oleh dewa dengan menurunkan bencana alam yang belakangan terjadi di dusun tersebut.

Di paragraf-paragraf berikutnya, sudah mulai memasuki tata cara pelaksanaan ritual :

Semua orang tertegun, mendengar sang shaman berbicara, suaranya pelan, tapi terasa begitu jelas di telinga mereka. Mereka mengangguk penuh kepasrahan, mereka kini tinggal menunggu keputusan dari sang shaman. Tak lama dari ini, dadu-dadu dari tulang manusia yang telah menjadi persembahan di tahun-tahun sebelumnya akan segera dilemparkan. Persembahan dan pengorbanan dari salah satu warga dusun ini akan segera dilaksanakan.

Ditilik dari paragraf ini, jelas bahwa puncak pelaksanaan ritual adalah pembunuhan terhadap gadis yang nanti akan dipilih. Kalimat ‘dadu-dadu dari tulang manusia yang telah menjadi persembahan di tahun-tahun sebelumnya’ menguatkan interpretasi saya itu. Kalimat-kalimat yang sebelumnya masih menyamarkan pembunuhan dan pengorbanan, kini menjadi lebih jelas.

Paragraf-paragraf berikutnya, menjelaskan tentang bagaimana korban akhirnya dipilih, melalui semacam undian dan dadu. Meski begitu, tetap saja, hanya wanita yang menjadi korban. Di akhir paragraf dituliskan bahwa meski sang pemuda mencintai istrinya, namun ia tidak berontak atau marah meski istrinya akan menjadi korban dan dibunuh.

Menarik mengulas betapa pemikiran penduduk di dusun tersebut digambarkan memegang budaya patriarki yang sangat tinggi, sehingga mereka tidak memikirkan nyawa wanita yang menjadi korbannya. Bahwa kematian seorang wanita dianggap sebagai sebuah kewajaran demi kemaslahatan satu dusun. Dengan posisi wanita yang dianggap tak lebih dari ‘makanan’ untuk para dewa, tak heran bila kemudian terjadi pemakluman terhadap pembunuhan wanita.

Saya juga melihatnya dari sisi pendidikan yang pastilah belum maju di zaman itu, sehingga masyarakatnya belum terdidik untuk berpikir rasional. Karena dengan mudahnya, mereka mengaitkan peristiwa alam, dengan kemarahan para dewa. Jadi, tak heran jika kemudian anggapan bahwa wanita itu tidak ‘penting’, karena pengaruh dari belum majunya pemikiran masyarakat di zaman itu.Dengan demikian, ada relasi antara majunya suatu masyarakat dengan perubahan pandangannya terhadap gender. Dan memang kenyataannya, paham feminisme sendiri baru muncul belakangan, pada abad Renaissance, di saat masyarakat Eropa sudah mulai berkembang.

[1] The Routledge Companion To Feminism and Postfeminism, edited by Sarah Gamble.

Belajar Sastra, Jurnal Menulis

Mendalami Karakter dan Alur

Kelas menulis Poetica pada hari Jumat tanggal 8 Maret 2013 membahas tentang karakter.

Sebenarnya mengenai karakter telah saya tuliskan dalam posting sebelumnya, Mengkaji Karakter. Di dalam postingan tersebut, saya memaparkan empat hal yang harus dipenuhi dalam menciptakan karakter dalam karya Aristoteles, The Poetics, yakni adanya pesan moral, kesesuaian, true to life, dan konsistensi. Di Poetica, lebih ditekankan mengenai dua dari empat hal tersebut, yakni pentingnya konsistensi dan true to life.

Konsistensi dalam pembuatan karakter bisa dipaparkan seperti ini. Sebisa mungkin dalam membuat karakter, kita harus mengenal karakter kita secara detail, agar karakter bisa kita tampilkan secara konsisten dan logis. Jika kita membuat karakter anak kecil yang kurang mendapat pendidikan, maka segala hal yang melekat pada anak tersebut juga haruslah yang menggambarkan bahwa karakter kita memang dalam keadaan seperti itu, baik dari cara berpikir, berbicara, berpakaian, dan seterusnya. Jika kita kemudian menyisipkan dialog atau cara berpikir yang terlalu kompleks untuk anak kecil seumur itu, maka hal tersebut akan terasa janggal dan tak logis bagi pembaca. Rasanya mustahil anak kecil dengan karakter seperti di atas, bisa berpikir kompleks layaknya orang dewasa yang berpendidikan. Dengan membuat dan mengenali karakter yang sudah kita dalami secara detail, maka kita akan lebih hati-hati dalam membuat alur cerita. Dengan kata lain, secara otomatis alur cerita yang logis juga akan mengikuti.

Sementara mengenai konsep true to life, detail karakter harus kita pikirkan secara matang, seakan-akan memang nyata seperti dalam kehidupan sehari-hari, bukan dengan detail yang setengah-setengah sehingga membingungkan pembaca. Dalam hal mendalami karakter secara true to life, bukan berarti kita tidak bisa mengaplikasikannya pada genre fantasi, yang notabene tidak ada dalam dunia nyata dan hanya dalam imajinasi. Justru untuk genre ini, kita sebagai penulis, harus ‘bekerja lebih keras’ untuk menghadirkan dunia yang tidak ada menjadi seakan benar-benar ada dalam kepala pembaca. Penulis berarti harus memikirkan dan mendalami tokoh yang dibuat dalam cerita fantasi, dengan memberikan detail-detail yang jelas. Menjadi pekerjaan rumah bagi penulis genre fantasi, untuk menciptakan karakter senyata mungkin. Keberhasilan penulis memberikan detail terhadap tokoh-tokohnya akan membuat pembaca bisa membayangkan tokoh dan alur cerita seperti yang kita ingin sampaikan. Pembaca pun jadi tidak mengalami kesulitan mengimajinasikan tokoh yang kita buat. Dengan begitu, alur cerita jadi terasa logis karena kita mampu menyampaikan cerita kita secara jelas meskipun kita membuat cerita dari dunia rekaan semata. Novel fantasi seperti Harry Potter ataupun Lord of The Ring misalnya, adalah novel genre fantasi yang mampu menghadirkan dunia sihir secara detail sehingga kita merasa seakan dunia sihir itu ada.

Untuk mempermudah dalam merumuskan karakter, kami diberikan rumusan seperti berikut:

1) Siapa karakter yang tengah kamu buat?

2) Apa yang menjadi cita-cita atau tujuan hidupnya?

3) Apa/siapa penghambat karakter untuk meraih cita-cita atau tujuan hidupnya?

4) Bagaimana cerita karakter yang dibuat mengalami kegagalan dalam meraih cita-cita atau tujuan hidupnya?

5) Apa/siapa yang membuat karaktermu bangkit dan mengubah perspektifnya?

6) Bagaimana urutan peristiwa karaktermu sampai meraih mimpinya?

7) Bagaimana kamu membuat akhir yang memuaskan tanya pembaca?

Saya akan memberikan contoh dalam menjawab rumusan tersebut dalam deskripsi singkat:

1) Namanya Dudi. Lelaki muda yang berasal dari kota kecil di Kalimantan Timur.

2) Sejak kecil, ia sangat mengagumi Perserikatan Bangsa-bangsa, dan kagum dengan peran organisasi tersebut dalam menciptakan perdamaian dunia. Ia ingin bisa terlibat dalam hal tersebut, bekerja di sebuah organisasi internasional dan mimpi terbesarnya, jika mungkin, ingin sekali suatu hari bisa bekerja di PBB, New York, Amerika Serikat.

3) Orang-orang di sekitarnya mencemoohnya, pacarnya tidak menyetujuinya, dan bahkan orangtuanya juga tidak mendukungnya. Tidak ada yang percaya bahwa ia bisa mewujudkan mimpinya. Dengan tidak ada yang mendukungnya, ia kemudian merasa rendah diri untuk mewujudkannya dan pelan-pelan ia mengubur mimpinya.

4) Dudi awalnya masih berusaha mengejar mimpinya dengan masuk ke Program Studi Hubungan Internasional dan lulus dengan nilai sangat memuaskan. Ia kemudian berniat untuk melanjutkan kuliahnya ke pasca sarjana, di universitas terkemuka di Pulau Jawa atau di luar negeri. Namun keinginannya ditentang oleh orang-orang sekitarnya yang lebih mendukungnya untuk menjadi pegawai negeri dan tak usah bermimpi terlalu tinggi. Akhirnya ia batal melanjutkan kuliahnya.

5) Setelah beberapa tahun hanya diam saja dan memendam keinginannya, akhirnya ia berani menyatakan keinginannya pada orangtuanya dan berupaya meyakinkan mereka bahwa ia mampu untuk kuliah lagi. Orangtuanya pun luluh dan akhirnya mengizinkan Dudi untuk meraih apa yang ia inginkan.

6) Setelah berhasil meyakinkan orangtuanya, ia akhirnya mendaftar ke sebuah universitas dan melanjutkan lagi kuliahnya di jenjang Magister, di jurusan HI yang memang sangat ia sukai. Ia mulai bersemangat lagi menjalani hidupnya dan menghidupkan lagi mimpinya yang hilang. Ia berencana untuk mendapatkan beasiswa lagi ke jenjang Doktor. Ia berusaha mengejar beasiswa di negeri Paman Sam agar bisa dekat dengan cita-citanya semenjak ia kecil, bekerja di PBB.

7) Dudi sekarang akhirnya bisa perlahan-lahan mendekati cita-citanya. Meski belum menginjak Amerika dan bekerja di PBB, namun ia berusaha melanjutkan kuliahnya dengan sebaik-baiknya, agar bisa mendapat nilai memuaskan dan mendapat beasiswa S3 ke Amerika. Ia sangat yakin, lambat tapi pasti, mimpinya yang terlihat mustahil itu akan mampu ia wujudkan. Mimpi itu yang membuatnya tetap bersemangat dalam menjalani hidup.

Rumusan tersebut diharapkan mampu memberikan arahan agar bisa lebih mengenal dan menggali karakter yang dibuat. Dengan begitu, akan mudah bagi kita untuk menentukan dan membuat alur berdasarkan karakteristik dari tokoh yang dibuat tersebut.

Dengan tidak melupakan pentingnya karakter dan mendalaminya, maka penulis akan bisa membuat karakter serasa hidup bagi pembaca dan membuat alur cerita menjadi terasa lebih logis pula bagi pembacanya. Harus diingat lagi, bahwa antara karakter dan alur, sangat erat kaitannya. Dengan memperhatikan keduanya secara berimbang, tidak menyepelekan yang satu dengan yang lainnya, maka kita akan mampu menulis cerita tanpa ada kejanggalan dan ketidaklogisan yang seharusnya bisa dihindari sedari awal.

Jurnal Menulis

Mengkaji Karakter

Jika kita membicarakan karakter atau penokohan dari karya Aristoteles dalam bukunya The Poetics, maka kita akan menemukan bahwa pembuatan karakter, ternyata tak semudah itu. Mungkin kita sering menyepelekan mengenai hal karakter ini dan lebih memilih untuk berkonsentrasi pada unsur-unsur lain dalam tulisan, misalnya tema, plot, setting, dan sebagainya. Padahal pembuatan karakter dalam menulis adalah hal yang sangat penting, karena karakter bisa mempengaruhi plot.

Bagaimana karakter bisa mempengaruhi plot atau jalan cerita tulisan kita? Itu akan dibahas nanti, setelah kita mengupas lebih dalam hal-hal apa yang harus dipenuhi dalam membuat karakter menurut Aristoteles. Satu hal yang harus dipahami, bahwa The Poetics karya Aristoteles adalah termasuk dalam karya klasik. Situasi dan kondisi di zaman Aristoteles di Yunani saat itu jauh berbeda dengan kehidupan kita sekarang ini. Apalagi jika ingin dibandingkan dengan perkembangan sastra saat itu dan di masa ini. Itu membuat pemikiran Aristoteles di The Poetics masih terasa begitu kaku dan ‘idealis’.

Menurut Aristoteles, ada empat hal yang harus dipenuhi dalam penokohan. Yang pertama, dan terpenting, harus ada ‘pesan moral’ atau kebaikan yang bisa kita ambil dari karakter tersebut. Meski karakter tersebut mungkin jahat, atau status sosialnya rendah, harus tetap menunjukkan kebaikan tersebut.

Yang kedua, adalah kesesuaian. Di sini, Aristoteles mencontohkan bahwa tokoh lelaki tentu harus digambarkan sebagai seorang yang berani. Sebaliknya, wanita yang digambarkan sebagai tokoh yang berani, dianggap tidak ada kesesuaian di sana. Tentu saja, karakter wanita berani bukan hal yang aneh sekarang ini. Namun harus dipahami bahwa di zaman itu, pemikiran feminisme maupun kesetaraan gender belum muncul. Posisi wanita yang belum setara dengan pria dan seringkali dianggap sebagai makhluk yang lemah, sehingga Aristoteles mencontohkan seperti itu.

Yang ketiga, disebut Aristoteles ‘Character must be true of life’. Dengan kata lain, harus meniru atau semirip mungkin dengan dunia nyata. Tak datang dari dunia imajinasi yang tak pernah ada. Kembali harus diingat bahwa di zaman itu, genre Fantasy belum ada. Bahkan Aristoteles sendiri pernah mengatakan bahwa sosok Tuhan/ Dewa seharusnya tak digambarkan sebagai manusia. Karena tak mungkin Tuhan/ Dewa mempunyai karakter seperti manusia.

Terakhir, adalah konsistensi. Bahkan jika digambarkan karakter itu sebagai tokoh yang tak konsisten, maka ketidakkonsistenannya itu harus dituliskan secara konsisten.

Karena ada perbedaan situasi dan kondisi di Yunani saat itu dan dunia kepenulisan di zaman sekarang ini, tentu kita tak mungkin mengambil keseluruhan dari pemikiran Aristoteles tadi sebagai patokan. Namun dari poin-poin di atas, kita sebagai penulis, seharusnya memiliki pertimbangan-pertimbangan tertentu dalam membuat karakter. Terutama dalam hal kesesuaian. Seharusnya, tokoh yang kita buat, haruslah berbicara, bertingkah laku, berpakaian, berpikir, bahkan berkepribadian selayaknya karakternya. Berbeda antara seorang raja dan prajuritnya, usia yang muda dan tua, lelaki dan wanita, serta anak dan dewasa. Tentu berbeda misalnya, cara anak-anak berbicara, dengan orang dewasa. Sebagai contoh, jika tokoh yang kita tuliskan adalah seorang anak, yang mana anak itu digambarkan sebagai anak miskin, yang tak mempunyai televisi, putus sekolah, dan tinggal di sebuah kampung kecil. Tentu kita tak mungkin menggambarkan anak itu sebagai anak cerdas yang mampu berbicara masalah politik, sosial dan ekonomi negeri. Akan ada ketidaksesuaian dalam karakter tersebut. Mungkin saja akan ada character development di sana. Misalnya anak yang miskin tersebut berubah menjadi anak cerdas. Tentu bisa. Namun harusnya ada sebab-akibat yang menjelaskan tentang perubahan tersebut. Proses itupun juga harus dijelaskan dengan masuk akal, agar bisa masuk dengan logika cerita dan memuaskan bagi pembaca.

Kembali ke pertanyaan di atas, bagaimana karakter bisa mempengaruhi plot? Plot dan karakter dalam cerita sebenarnya saling mendukung. Pilihan-pilihan yang dibuat oleh karakter-karakter tertentu akan berpengaruh terhadap jalannya cerita. Misalnya, dalam cerita Putri Salju, karakter Putri Salju digambarkan sebagai seorang gadis dengan hati yang baik. Dengan gambaran bahwa ia berhati baik, maka wajar ketika Putri Salju memilih untuk memakan apel beracun pemberian Ratu jahat yang menyamar menjadi seorang nenek, tanpa berprasangka buruk. Seandainya Putri Salju dalam cerita tersebut dibuat berprasangka buruk pada nenek itu, maka akan terjadi inkonsistensi antara tingkah laku dengan kepribadian karakter.

Dengan ini, saya mengambil kesimpulan bahwa seharusnya penulis harus mendalami bagaimana karakter yang akan dia tulis. Jika kita benar-benar memahami karakter yang kita buat dalam tulisan, maka sebenarnya akan lebih mudah bagi kita untuk menuliskan alur cerita yang kita inginkan sesuai karakter yang kita buat.