Feminisme adalah suatu paham yang mencoba mengangkat harkat dan derajat perempuan yang selama ini dipandang berada di bawah laki-laki. Paradigma yang sangat partiarkal seperti ini, membuat wanita dipandang secara negatif: lemah, sensitif, emosional, pasif, dan sebagainya. Wanita, sebagai akibatnya, diperlakukan secara tidak adil untuk mendapat akses ke berbagai hal yang mereka inginkan, hanya karena jenis kelamin mereka, bukan dipandang dari kemampuan atau kecakapan wanita itu sendiri. Sangat berkebalikan jika dibandingkan dengan pria. Feminisme, mencoba untuk mengubah pandangan ini.[1]
Beberapa tulisan banyak yang sebenarnya mengangkat tentang feminisme di dalamnya, baik secara langsung maupun tidak langsung. Paham feminisme inilah yang ingin saya tunjukkan pada tulisan kolaborasi saya dan Teguh Puja, yang berjudul ‘Gadis Istimewa’. Tulisan itu ber-setting di sebuah dusun terpencil, dengan perkiraan waktu di zaman dahulu, saat masyarakat dusun tersebut masih sangat tradisional. Namun, tentu menganalisis tulisan ini, tak bisa dilepaskan dari unsur intrinsiknya, dimana saya juga masih membahasnya dari setting dan tema tulisan. Tulisan ini memang tidak menggambarkan feminisme secara gamblang dan terang-terangan, melainkan tersembunyi secara samar dalam kalimat-kalimatnya. Namun masih sangat jelas betapa gender menjadi isu utama tema tulisan ini. Saya akan mencoba membuat interpretasi dengan mengupasnya per paragraf.
Mari kita menilik paragraf pertamanya :
Senja sudah terbenam, tenggelam di ufuk barat. Gelap pun menyelubungi. Suasana dusun itu kini harusnya sepi. Biasanya, setelah surya tak nampak, tak ada lagi masyarakat yang mau beranjak keluar dari rumah mereka yang sederhana. Namun, hari ini berbeda. Mereka tahu, hari ini, berdasarkan perhitungan mereka terhadap langit, adalah hari yang sangat penting. Hari dimana seluruh pria dewasa di dusun itu untuk berkumpul. Maka di tengah sinar bulan yang temaram, beberapa pria tampak berjalan tenang, sambil bercakap-cakap. Mereka semua menuju ke satu titik yang sama, sebuah lapangan luas yang biasa mereka jadikan tempat untuk berkumpul seluruh warga.
Dari kata ‘suasana dusun itu kini harusnya sepi’, menunjukkan bahwa ada perbedaan pada malam itu. Perbedaan yang seperti apa? Kalimat selanjutnya menjelaskan hari yang berbeda tersebut. ‘Mereka tahu, hari ini, berdasarkan perhitungan mereka terhadap langit, adalah hari yang sangat penting. Hari dimana seluruh pria dewasa di dusun itu untuk berkumpul’. Kalimat itu telah menunjukkan adanya gejala pembedaan gender, karena hanya pria dewasa saja yang tampak, sementara wanita tidak ada sama sekali.
Selanjutnya, kita lihat paragraf keduanya:
Sejak pagi semua kepala keluarga di dusun itu tahu, akan ada perayaan diiringi ritual yang akan mereka sama-sama rayakan. Ritual tahunan yang akan mereka lakukan demi kedamaian dan kesejahteraan setiap orang di dusun itu. Langit di malam sebelumnya sudah menjadi pertanda, agar semua lelaki dewasa bersiap dengan baju adat mereka. Purnama sudah mulai menjejaki puncaknya, ritual harus segera dilaksanakan.
“Mainkan genderangnya. Kita sambut malam dengan purnama yang sempurna ini.”
Dari paragraf tersebut, kita bisa menangkap ada sebuah ‘ritual atau perayaan tahunan yang bertujuan untuk memberikan kedamaian dan kesejahteraan’ pada malam itu, dimana hanya kepala keluarga dan juga lelaki dewasa yang datang. Setting waktu menunjukkan bahwa ritual tersebut hanya dilaksanakan di malam bulan purnama penuh, bisa kita analisis dari kalimat Purnama sudah mulai menjejaki puncaknya, dan ‘Purnama yang sempurna’.
Kemudian, kita lanjutkan untuk paragraf ketiga.
Semua pria bersiap, berkumpul di tengah lapangan. Purnama yang benderang di atas kepala mereka tak lagi tertutup awan. Seorang pria yang lebih tua, dengan pakaian adat yang berbeda dari yang dipakai pria itu muncul dengan sebuah tongkat di tangan. Ia adalah shaman, atau dukun dari dusun tersebut. Ia merupakan salah satu penduduk tertua, dan ia sendiri dihormati karena posisi dan kedudukannya di dusun itu. Kini ia berdiri, di depan sekitar dua puluhan pria yang menatap ke arahnya. Semua pria tegang, saat sang dukun akan memulai ritual malam itu.
Kembali, unsur dominasi laki-laki ditunjukkan dalam ritual ini. Selain kehadiran peserta yang semuanya laki-laki, seorang shaman, pemimpin ritual tersebut, juga adalah laki-laki. Dan ia dipandang terhormat karena ia yang paling tua dan juga posisinya yang sebagai shaman atau dukun di dusun itu.
Dari paragraf ini, kita bahkan bisa mengestimasi jumlah penduduk yang ada di dusun itu. Jika yang hadir rata-rata adalah kepala keluarga atau perwakilan keluarga, sementara mereka semua berjumlah dua puluhan, maka jika satu keluarga terdiri dari lima orang anggota keluarga, dusun itu penduduknya berkisar seratus orang. Bukan jumlah yang banyak memang, namun menjadi masuk akal, karena dusun tersebut ber-setting di zaman dahulu, dimana jumlah penduduk juga seharusnya tak terlalu banyak.
Selanjutnya, kita telaah paragraf keempat :
Tak ada wanita atau anak-anak yang berani memunculkan diri dalam ritual tahunan ini. Bukan rahasia lagi kalau setelah malam ini, akan ada salah satu yang menjadi pahlawan dusun, satu yang akan ditahbiskan dalam air suci yang nanti kan disempurnakan oleh sang shaman, dukun di dusun itu. Semua orang sudah mafhum dan maklum, tak ada seorang pun yang berani membantahnya. Ketika seseorang telah terpilih, maka malam itu akan menjadi malam terakhir yang akan dihabiskannya.
Paragraf ini menunjukkan ironi, dimana ungkapan pahlawan, yang menurut pemahaman kita, adalah seseorang yang dielu-elukan serta mampu bertahan melewati kesukaran apapun, justru akan menghadapi malam terakhirnya. Pahlawan yang dimaksud, akan mati di ritual tersebut. Nah, hal ini akan diperjelas lagi di paragraf-paragraf selanjutnya.
Selanjutnya, paragraf lima:
Suara genderang yang ditabuhkan membuat suasana malam itu semakin mencekam. Namun para pria itu telah terbiasa mengikuti ritual ini dari tahun ke tahun. Bagi sebagian dari mereka, apalagi yang telah mengalami ritual ini beberapa kali, upacara ini tak ubahnya sesuatu yang biasa, sesuatu yang memang harus dilalui dari tahun ke tahun. Pria yang boleh mengikuti ritual ini hanya pria dewasa yang berusia di atas 17 tahun. Beberapa remaja pria yang baru sekali-dua mengikuti ritual ini tampak pucat pasi dan meneguk ludah beberapa kali. Namun, seluruh masyarakat tahu, upacara ini begitu penting bagi dusun mereka, terutama setelah beberapa bencana alam yang mereka alami tahun ini.
Untuk paragraf lima ini, dijelaskan mengenai peserta ritual. Siapa saja yang menjadi peserta? Tentunya, mereka adalah laki-laki, dan ia harus lelaki dewasa yang berusia 17 tahun ke atas. Oleh karena itulah, tak ada wanita dan anak-anak yang menjadi peserta ritual.
Dua paragraf berikutnya, yaitu keenam dan ketujuh:
Tentu sangat mengejutkan bagi mereka yang belum pernah sekali pun mengikuti ritual ini, selama ini para pemuda itu hanya tahu bahwa salah seorang dari mereka akan menjadi kunci dari keselamatan desa. Tak ada yang benar-benar melihat seluruh prosesi ritual ini. Yang tahu dan yang menjalani semua prosesnya hanyalah mereka yang sudah diberikan izin oleh sang shaman, dukun dusun ini. Tak boleh ada orang yang memaksakan diri mencari tahu kalau memang belum sekali pun mendapatkan restu dari sang shaman. Begitulah rahasia yang dipegang dan dijaga selama ini di dusun itu.
Sang shaman menghela nafas panjang, dan mengangkat tongkatnya, memberikan sinyal agar gendang berhenti dipalu. Remaja pria yang baru mengikuti ritual tampak antusias, ingin mengetahui apa yang akan terjadi setelah ini. Sementara beberapa pria dewasa yang berkali-kali mengikuti ritual sudah tahu shaman akan memberitahukan sedikit peraturan serta latar belakang ritual ini.
Dalam paragraf keenam dan tujuh, dijelaskan bahwa ritual ini memiliki aturan tertentu. Yang mengetahui proses dari ritual tersebut hanyalah peserta yang pernah menjalaninya. Saya mengartikannya dengan tingginya adat-istiadat yang dijunjung oleh penduduk dusun itu—yang juga menunjukkan ciri masyarakat yang masih sangat tradisional—karena mereka tidak mau memberitahukan pelaksanaan ritual tersebut kepada penduduk yang tak mengikuti ritual. Hal tersebut juga ditunjukkan dari kalimat berikut : ‘Remaja pria yang baru mengikuti ritual tampak antusias, ingin mengetahui apa yang akan terjadi setelah ini. Sementara beberapa pria dewasa yang berkali-kali mengikuti ritual sudah tahu shaman akan memberitahukan sedikit peraturan serta latar belakang ritual ini’.
Mari menelaah paragraf berikutnya :
“Kita tahu dewa-dewa sedang marah pada kita.” Sang shaman berkata. “Kini kemarahannya tak bisa lagi kita duga kedatangannya. Bencana yang ia turunkan pun, lebih banyak dari tahun-tahun sebelumnya.” Para pria itu mengangguk. Mereka tahu benar bahwa tahun ini, panen mereka gagal karena banjir kiriman yang entah datang dari mana asalnya. Bukan hanya itu, longsor yang terjadi tiba-tiba beberapa bulan lalu dan mengakibatkan beberapa orang tewas, memberikan kedukaan mendalam pada seluruh warga. Mereka yakin, entah mengapa, dewa sedang marah pada mereka, dan sedang menegur mereka secara langsung, dengan memberikan mereka bencana-bencana tersebut.
“Salah satu cara terbaik itu adalah dengan pengorbanan salah satu di antara gadis kita di dusun ini. Itu sudah menjadi yang biasa kita lakukan selama ini. Ada yang merasa keberatan? Ada yang mau melawan kehendak dewa?”
Disini jelaslah sudah, bahwa yang menjadi korban, memang adalah wanita. Peserta pria di ritual ini, hanya bertugas memilih wanita mana yang akan mereka korbankan. Hal ini juga sebenarnya didukung dengan keberadaan shaman yang menjadi penduduk tertua di dusun itu. Ia tetap hidup lama, dan tak kunjung dipilih menjadi korban, karena ia laki-laki. Dan tujuan pengorbanan terhadap wanita, tak lain adalah untuk meredakan kemarahan dewa yang menurut penduduk, ditunjukkan oleh dewa dengan menurunkan bencana alam yang belakangan terjadi di dusun tersebut.
Di paragraf-paragraf berikutnya, sudah mulai memasuki tata cara pelaksanaan ritual :
Semua orang tertegun, mendengar sang shaman berbicara, suaranya pelan, tapi terasa begitu jelas di telinga mereka. Mereka mengangguk penuh kepasrahan, mereka kini tinggal menunggu keputusan dari sang shaman. Tak lama dari ini, dadu-dadu dari tulang manusia yang telah menjadi persembahan di tahun-tahun sebelumnya akan segera dilemparkan. Persembahan dan pengorbanan dari salah satu warga dusun ini akan segera dilaksanakan.
Ditilik dari paragraf ini, jelas bahwa puncak pelaksanaan ritual adalah pembunuhan terhadap gadis yang nanti akan dipilih. Kalimat ‘dadu-dadu dari tulang manusia yang telah menjadi persembahan di tahun-tahun sebelumnya’ menguatkan interpretasi saya itu. Kalimat-kalimat yang sebelumnya masih menyamarkan pembunuhan dan pengorbanan, kini menjadi lebih jelas.
Paragraf-paragraf berikutnya, menjelaskan tentang bagaimana korban akhirnya dipilih, melalui semacam undian dan dadu. Meski begitu, tetap saja, hanya wanita yang menjadi korban. Di akhir paragraf dituliskan bahwa meski sang pemuda mencintai istrinya, namun ia tidak berontak atau marah meski istrinya akan menjadi korban dan dibunuh.
Menarik mengulas betapa pemikiran penduduk di dusun tersebut digambarkan memegang budaya patriarki yang sangat tinggi, sehingga mereka tidak memikirkan nyawa wanita yang menjadi korbannya. Bahwa kematian seorang wanita dianggap sebagai sebuah kewajaran demi kemaslahatan satu dusun. Dengan posisi wanita yang dianggap tak lebih dari ‘makanan’ untuk para dewa, tak heran bila kemudian terjadi pemakluman terhadap pembunuhan wanita.
Saya juga melihatnya dari sisi pendidikan yang pastilah belum maju di zaman itu, sehingga masyarakatnya belum terdidik untuk berpikir rasional. Karena dengan mudahnya, mereka mengaitkan peristiwa alam, dengan kemarahan para dewa. Jadi, tak heran jika kemudian anggapan bahwa wanita itu tidak ‘penting’, karena pengaruh dari belum majunya pemikiran masyarakat di zaman itu.Dengan demikian, ada relasi antara majunya suatu masyarakat dengan perubahan pandangannya terhadap gender. Dan memang kenyataannya, paham feminisme sendiri baru muncul belakangan, pada abad Renaissance, di saat masyarakat Eropa sudah mulai berkembang.
[1] The Routledge Companion To Feminism and Postfeminism, edited by Sarah Gamble.