Miscellaneous

Tentang Takdir, Keikhlasan, dan Sudut Pandang

Suatu hari saat mengantri di sebuah klinik, ibu saya bertemu dengan seorang kenalan saya, sebut saja namanya Linda. Linda mengenali ibu saya, dan mulai menyapa serta menanyakan kabar. Meski tidak akrab, ibu saya kebetulan juga sedikit mengenal kawan saya itu, sehingga pembicaraan berlangsung lancar.

Linda telah menikah selama kurang-lebih 6 tahun. Hingga sekarang ia belum dikaruniai keturunan. Ibu saya bercerita pada saya tentang hal itu, dan ibu pun juga berkata bahwa beliau memberikan semacam saran untuk mendatangi ‘orang pintar’ yang sudah terkenal untuk membantu pasangan yang kesulitan mendapat anak.

Saya sempat termenung cukup lama memikirkan percakapan itu. Saya sendiri tidak mempermasalahkan tentang ketiadaan anak itu–saya tipikal orang yang sangat percaya bahwa beberapa hal, termasuk anak, adalah urusan Tuhan–namun yang saya pikirkan lebih tentang sudut pandang orang lain terhadap masalah seseorang. Ambil contoh di atas, yakni sudut pandang ibu saya, terhadap masalah Linda. Saya rasa, memang sudah menjadi suatu hal yang ‘otomatis’ kita lakukan, yakni berkomentar terhadap masalah orang lain yang dituturkan pada kita. Namun yang tidak mengenakkan, tidak semua orang bisa memberikan tanggapan yang baik. Bahkan sebenarnya, bagi orang yang mengalami masalah tersebut, belum tentu dia ingin terus-menerus ditanya dan membahas hal-hal yang itu-itu saja.

Jika saya meletakkan diri saya dalam posisi Linda, selama 6 tahun tidak memiliki anak, yang terasa ‘berat’ baginya justru bukan karena tidak memiliki anak tersebut, tapi ‘pandangan’ orang lain terhadapnya. Pandangan ini bisa berisi cemoohan, saran, komentar, yang bisa membangun dan menjatuhkan. Pasti sangat melelahkan, selama 6 tahun harus mendengarkan nasihat mengenai apa yang harus dilakukan dan tidak harus dilakukan dari berbagai kepala.

Apakah selama 6 tahun itu Linda dan suaminya tidak berusaha? Saya yakin mereka pasti sudah mengupayakan semaksimalnya. Saya juga yakin–setiap hari, setiap jam, setiap detik, mereka terus dihantui perasaan tidak berdaya karena belum juga mendapat kepercayaan dari-Nya. Tapi ketika anak itu belum hadir di tengah mereka, saya juga percaya bahwa mereka berdua mungkin telah ikhlas dengan keadaan tersebut, karena 6 tahun itu bukan waktu yang sebentar. Hanya saja, dalam keadaan mereka yang seperti itu, siapa pihak yang masih tidak ‘ikhlas’? Justru orang lain-lah yang masih tidak ikhlas itu. Orang lain-lah yang tidak kenal lelah menghakimi, memarahi, menasihati, mencibir, mengomentari, menyalahkan keadaan mereka. Orang lain-lah yang justru ‘tidak terima’ dengan takdir mereka. Padahal kita tahu sendiri, segala sesuatu yang berhubungan dengan jodoh, anak, rezeki, kelahiran, dan kematian adalah sesuatu yang kadang berada di luar kekuasaan manusia. Cobaan tidak memiliki anak dalam waktu lama bahkan juga dialami oleh beberapa nabi kita, yang mengisyaratkan bahwa garis takdir dari-Nya bukan karena manusia yang kurang usaha dan doa.

Saya rasa, mungkin akan bijak jika kita bisa menahan lidah kita sebentar, untuk berhenti mengomentari apalagi menghakimi masalah orang lain dari sudut pandang kita. Kita-lah yang harus belajar ikhlas menerima, bukan hanya menerima takdir kita, tapi juga takdir orang lain. Mendengarkan dan memberikan simpati, saya rasa lebih baik. Jika tidak bisa menuturkan hal-hal positif, diam adalah pilihan paling bijaksana.

Semoga Allah memberikan kita semua kemampuan untuk semakin ikhlas, untuk menerima hal-hal yang tidak dapat kita ubah, baik yang terjadi pada kita, maupun pada teman, saudara, keluarga, dan orang-orang tercinta di sekeliling kita.

Miscellaneous

Kecap Kehidupan

Anak yang lahir tak pernah mengerti sebab kedatangannya ke dunia

Namun dengan segenap takdir, ia tetap harus melalui apa-apa yang sudah diharuskan kepadanya

Nasibnya kadang tak mujur, tak sesuai dengan apa yang diharapkan

Alangkah sulit kehidupan, kiranya banyak yang menyerah dan memilih mati di tengah jalan

Resah, gelisah, dan takut malang melintang melintas pikiran

Rasanya seperti tak ada lagi harapan

Akan tetapi, hari demi hari sebenarnya tetap terlalui

Harapan dan tawa canda takkan hilang, meski sedih kadang merundungi

Musibah mungkin tak tercegah, tapi keinginan untuk berbuat yang terbaik dalam hidup tak boleh musnah

Alangkah ruginya, seorang anak manusia yang menyerah kalah

Nikmat kehidupan terlalu banyak yang belum terjamah.