Miscellaneous

Tentang Takdir, Keikhlasan, dan Sudut Pandang

Suatu hari saat mengantri di sebuah klinik, ibu saya bertemu dengan seorang kenalan saya, sebut saja namanya Linda. Linda mengenali ibu saya, dan mulai menyapa serta menanyakan kabar. Meski tidak akrab, ibu saya kebetulan juga sedikit mengenal kawan saya itu, sehingga pembicaraan berlangsung lancar.

Linda telah menikah selama kurang-lebih 6 tahun. Hingga sekarang ia belum dikaruniai keturunan. Ibu saya bercerita pada saya tentang hal itu, dan ibu pun juga berkata bahwa beliau memberikan semacam saran untuk mendatangi ‘orang pintar’ yang sudah terkenal untuk membantu pasangan yang kesulitan mendapat anak.

Saya sempat termenung cukup lama memikirkan percakapan itu. Saya sendiri tidak mempermasalahkan tentang ketiadaan anak itu–saya tipikal orang yang sangat percaya bahwa beberapa hal, termasuk anak, adalah urusan Tuhan–namun yang saya pikirkan lebih tentang sudut pandang orang lain terhadap masalah seseorang. Ambil contoh di atas, yakni sudut pandang ibu saya, terhadap masalah Linda. Saya rasa, memang sudah menjadi suatu hal yang ‘otomatis’ kita lakukan, yakni berkomentar terhadap masalah orang lain yang dituturkan pada kita. Namun yang tidak mengenakkan, tidak semua orang bisa memberikan tanggapan yang baik. Bahkan sebenarnya, bagi orang yang mengalami masalah tersebut, belum tentu dia ingin terus-menerus ditanya dan membahas hal-hal yang itu-itu saja.

Jika saya meletakkan diri saya dalam posisi Linda, selama 6 tahun tidak memiliki anak, yang terasa ‘berat’ baginya justru bukan karena tidak memiliki anak tersebut, tapi ‘pandangan’ orang lain terhadapnya. Pandangan ini bisa berisi cemoohan, saran, komentar, yang bisa membangun dan menjatuhkan. Pasti sangat melelahkan, selama 6 tahun harus mendengarkan nasihat mengenai apa yang harus dilakukan dan tidak harus dilakukan dari berbagai kepala.

Apakah selama 6 tahun itu Linda dan suaminya tidak berusaha? Saya yakin mereka pasti sudah mengupayakan semaksimalnya. Saya juga yakin–setiap hari, setiap jam, setiap detik, mereka terus dihantui perasaan tidak berdaya karena belum juga mendapat kepercayaan dari-Nya. Tapi ketika anak itu belum hadir di tengah mereka, saya juga percaya bahwa mereka berdua mungkin telah ikhlas dengan keadaan tersebut, karena 6 tahun itu bukan waktu yang sebentar. Hanya saja, dalam keadaan mereka yang seperti itu, siapa pihak yang masih tidak ‘ikhlas’? Justru orang lain-lah yang masih tidak ikhlas itu. Orang lain-lah yang tidak kenal lelah menghakimi, memarahi, menasihati, mencibir, mengomentari, menyalahkan keadaan mereka. Orang lain-lah yang justru ‘tidak terima’ dengan takdir mereka. Padahal kita tahu sendiri, segala sesuatu yang berhubungan dengan jodoh, anak, rezeki, kelahiran, dan kematian adalah sesuatu yang kadang berada di luar kekuasaan manusia. Cobaan tidak memiliki anak dalam waktu lama bahkan juga dialami oleh beberapa nabi kita, yang mengisyaratkan bahwa garis takdir dari-Nya bukan karena manusia yang kurang usaha dan doa.

Saya rasa, mungkin akan bijak jika kita bisa menahan lidah kita sebentar, untuk berhenti mengomentari apalagi menghakimi masalah orang lain dari sudut pandang kita. Kita-lah yang harus belajar ikhlas menerima, bukan hanya menerima takdir kita, tapi juga takdir orang lain. Mendengarkan dan memberikan simpati, saya rasa lebih baik. Jika tidak bisa menuturkan hal-hal positif, diam adalah pilihan paling bijaksana.

Semoga Allah memberikan kita semua kemampuan untuk semakin ikhlas, untuk menerima hal-hal yang tidak dapat kita ubah, baik yang terjadi pada kita, maupun pada teman, saudara, keluarga, dan orang-orang tercinta di sekeliling kita.

Miscellaneous

Mengenang Kenangan

S__8347653Kenangan itu datang tanpa diundang. Aneh sekali, kadang kita terbawa pada satu masa, satu momen tertentu, tanpa menyengajakan diri ingin mengingat kenangan tersebut. Pencetus kenangan itu bisa apa saja, buku yang dibaca, rasa masakan tertentu, aroma parfum seseorang, kata yang diucapkan orang lain, atau ketika melamun tanpa arah, tiba-tiba datanglah sebuah kenangan spesifik menyergap. Hal yang aku tulis ini juga adalah salah satu kenangan yang tak diminta itu, salah satu serpih masa kecilku yang terbangun setelah membaca sebuah novel. Aku tertarik paksa pada suatu ingatan saat aku duduk di bangku SD. Tulisan ini pun, tanpa sengaja, kembali menyinggung acilku, dan lagi-lagi mengukuhkan posisinya sebagai ibu keduaku.

Peristiwanya sebenarnya tak rumit. Namun, aku harus menarik garis kisahnya ke belakang, mengisahkan awal mula kenapa seorang anak kecil memilih menyendiri di teras belakang yang berhadapan dengan hutan.

Sewaktu aku masih kecil, aku memiliki tempat favorit. Waktu itu, aku masih tinggal di rumah nenekku. Tempat favoritku itu sama sekali tidak istimewa. Hanya sebuah papan panjang, dan diletakkan di sudut rumah seperti sebuah titian namun tidak mengarah kemana-mana. Papan itu terletak di bagian belakang rumah nenekku yang merupakan teras luas yang fungsinya untuk menjemur pakaian. Karena badanku yang kurus dan ringan, aku sama sekali tidak khawatir duduk di sebilah papan itu. Sebagai tempat favorit, aku bisa duduk di situ lama sekali, berjam-jam kadang, hanya untuk merenung, bermain, atau membelai kucing liar yang seringkali datang mengunjungi rumah nenekku. Aku bisa betah duduk di sana karena memang posisi tempat jemuran itu menghadap ke hutan kecil. Banyak pepohonan, kucing liar, capung, serta berbagai macam sudut tersembunyi untuk bermain petak umpet. Bagi anak kecil sepertiku, tempat itu selayaknya surga untuk berpetualang, sebuah dunia dongeng yang jadi nyata.

Walau seringkali jadi tempatku untuk menyendiri, teras jemuran itu sebenarnya bukan hanya ‘milikku’. Tempat itu adalah area terbuka yang luas, bukan hanya ideal untuk menjemur pakaian, namun juga menjadi tempat bermain bersama antara aku, saudaraku, dan sepupu-sepupuku. Tapi memang hanya aku yang senang menghabiskan waktu lama di sana. Terkadang, saat aku pulang sekolah, aku langsung saja duduk di papan itu, bahkan lupa mengganti seragam sekolah terlebih dahulu. Jika ingin sedang menghabiskan waktu di papan favoritku itu, aku akan berkata pada nenek dan gulukku bahwa aku ingin menjenguk kucing. Artinya, aku ingin ke belakang rumah dan duduk saja di sana. Aku menyukai kesendirianku di sana untuk menikmati kesunyian yang jarang kudapatkan. Disana aku bisa berkhayal dan melamun tanpa ada yang memarahi atau mengejekku.

Kalau dipikir-pikir, meski masih muda, aku memang membutuhkan privasi yang kudapat di papan kesayanganku itu. Kala itu, aku masih tinggal bersama dengan anggota keluarga yang lain di rumah nenekku. Maklumlah, pada masa dahulu, orang tua tidak mampu untuk langsung memiliki rumah atau mengontrak rumah, biasanya mereka harus tinggal di rumah mertua, hingga tiba masa mereka bisa membeli rumah sendiri. Aku belum pindah dari rumah nenekku hingga aku masuk SMP, dan selama itu pula, rumah nenekku menjadi semacam ‘tempat penitipan anak’. Sepupu-sepupuku yang umurnya tak jauh beda denganku, pada hari kerja juga dititipkan orang tua masing-masing ke rumah nenekku. Tanpa sepupu-sepupuku pun, jika dijumlah, ketika itu sudah ada 9 orang yang tinggal di satu rumah yang sama! Apalagi, ditambah dengan tiga sepupuku yang ikut dititipkan di rumah tua itu dari siang hingga sore hari. Bisa dibayangkan bagaimana penuhnya rumah nenekku kala itu. Tambahlah rumah itu terasa ramai dan sesak, tidak peduli siang atau malam hari!

Papan itu, adalah tempat aku mencurahkan suka dan duka. Lucunya, di antara banyak hal yang aku lakukan di papan itu, entah kenapa hanya kenangan ini yang tertinggal padaku–sebagian begitu samar, sementara sebagian yang lain sangat jelas.

Aku ingat menangis di sana diam-diam, hanya karena masalah yang sepele. Penyebabnya bermula saat aku akan pergi les bahasa inggris di sore hari yang panas. Entah kenapa, aku lupa alasannya, tapi yang jelas aku terlambat datang. Aku tahu, pada hari itu, aku sebenarnya tidak boleh terlambat. Hari sebelumnya, guru les-ku berkata bahwa tempat les akan dipindah ke tempat yang baru, jadi ia meminta agar kami semua berkumpul dan berangkat bersama di jam yang ditentukan ke tempat baru itu. Meski sudah kukayuh sepedaku dengan cepat, namun aku ternyata tetap ditinggal oleh guru dan teman-temanku. Saat aku sampai, tempat lesku sudah kosong melompong. Teman-teman dan guruku sudah berangkat ke tempat baru yang aku juga tidak tahu dimana. Waktu itu, belum ada handphone untuk menghubungi teman-temanku. Perasaanku hancur saat itu. Aku kecewa. Aku merasa disisihkan, dan ditinggalkan, meski hal itu terjadi karena keterlambatanku sendiri.

Dengan perasaan hampa, kukayuh sepedaku kembali ke arah rumah nenekku. Aku kembali pulang dan langsung menuju tempat pribadiku, sang papan titian. Aku duduk di sana, diam dalam waktu yang cukup lama, dan akhirnya, tangisku pecah.
Saat itu matahari memang sudah mulai menurun, orangtua dan acilku sudah pulang ke rumah dari kantor masing-masing. Yang aku tidak sangka, ketika sedang menangis itu, aku ditemukan oleh seseorang–di bagian ini, aku mendadak tak bisa mengingat, siapa yang sedang menemukanku. Entah ibuku atau acilku. Tapi yang jelas, aku ditanya kenapa menangis sebegitu rupa. Aku pun langsung menjawab, “Aku ditinggal…” Kemudian aku bercerita mengenai kekecewaanku di tempat les itu.

Kembali aku lupa, entah ibuku atau acilku–atau mungkin keduanya, membawaku ke waduk untuk menghiburku. Di Waduk itu ada sepeda air berbentuk angsa, dan aku diajak menaikinya hingga magrib menjelang. Bagi anak kecil sepertiku, saat itu alasan untuk kecewa bisa begitu sepele, tapi alasan untuk bahagia juga bisa sama sepelenya. Aku pun kembali ceria dan melupakan apa yang terjadi setelah aku diajak jalan-jalan sore itu.

Saat mengingat kenangan itu, aku langsung merasakan, betapa aku sangat disayang. Aku pun tersadar betapa posisi almarhumah acilku begitu kuat, bahkan bisa membuatku bingung apakah dalam masa kecilku, ibuku atau acilku yang lebih banyak berperan. Dalam satu kenangan yang sama pun, wajah mereka terasa bercampur atau tertukar. Untuk hal yang menyenangkan seperti mendapat peringkat pertama, atau untuk hal yang menakutkanku seperti saat aku tidak sengaja terluka, aku ingat bahwa aku selalu mendapat dua ‘porsi’ pujian dan omelan. Satu dari acilku, satu dari ibuku. Ketika menulis ini pun, aku merasa tidak sanggup mengetik kata ‘almarhumah’ di depan kata acilku. Bukan karena aku tidak ikhlas karena kepergiannya, bukan itu. Namun aku hanya merasa acilku begitu hidup, seakan ia tidak pernah pergi kemanapun.

Ada senyum dan sedih menyelinap saat kenangan mengenai masa kecil itu muncul pada diriku. Keunikan dari sebuah kenangan adalah, kadang-kadang, kenangan itu tidak pilih-pilih. Kita tidak bisa memilih kenangan mana yang tinggal atau hilang. Kadang, kejadian itu bisa sangat sepele. Kita melihat punggung orang tua kita, es krim kita jatuh, atau pertengkaran kecil dengan saudara. Bisa jadi, kejadian itu memang sangat berkesan, acara ulang tahun kita, hari kelulusan, rekreasi ke luar kota bersama teman. Tapi tetap saja, memori itu tetap tidak memilih kapan datang dan perginya. Kadang hari itu adalah hari yang sangat penting, hingga kita bertekad tidak melupakannya, tapi suatu hari di masa yang akan datang kita tetap lupa. Ada memori yang tidak sengaja terlupa, tapi tetap datang di saat kita tidak menginginkannya.

Tapi jika kau tak sengaja teringat, segera tuliskan, karena kenangan itu belum tentu datang mengetuk pintu ingatan untuk kedua kalinya.

Keterangan:

Guluk : tante, namun secara khusus untuk tante yang merupakan anak kedua. Anak pertama disebut julak, anak kedua disebut guluk, anak ketiga dan seterusnya dipanggil acil.

Sketsa milik penulis.

Miscellaneous

DERSIK

Jika suatu malam kau tak bisa tidur, maka mungkin penyebabnya adalah aku yang juga tak bisa tidur.

Entah mengapa, aku selalu yakin, aku dan kamu terhubung. Kita adalah satu. Kau itu aku, aku adalah dirimu. Tapi, ketika kuungkapkan hal itu, kau hanya tertawa saja. Menanggapi dengan enteng dan senyum miring, meremehkan kepribadianku yang selalu kau anggap, ‘sensitif dan melankolis’.

“Kita ‘kan manusia yang berbeda, dengan pemikiran yang berbeda. Tidak mungkin ada koneksi-koneksi semacam itu, kecuali…”

“Kecuali apa?” tanyaku dengan penasaran.

“Kecuali kalau kamu… dukun?”

Kemudian kau tertawa terguling-guling menyebalkan dengan mata berair, sementara aku cemberut menyaksikanmu yang tiada henti mengolokku. Usia kita 15 saat itu.

Meski terlihat sangat tidak melankolis, dan seperti berkebalikan denganku, sebenarnya kau jauh berbakat dariku dalam meramu kata. Nilai bahasa yang kau raih, entah Bahasa Indonesia, atau bahasa asing lainnya, selalu lebih unggul. Jika mengikuti lomba menulis cerita pendek atau membaca dan menulis puisi, kau seringkali menang. Prestasimu tak tinggi-tinggi benar, bukan peraih juara nasional atau juara umum. Tapi untuk lomba antarpelajar di kota, kau adalah lawan yang ditakuti. Aku kadang heran, mengapa kau yang terkadang apatis terhadap aku yang perasa, tidak sadar kalau sebenarnya kau itu jauh lebih perasa lagi karena mampu menerjemahkan dunia lewat indahnya kata.

Ayah pernah berkata, kau itu pintar berkata-kata karena kau rajin membaca buku, sementara aku terlalu banyak menonton televisi. Mungkin itu ada benarnya.

Salah satu kenangan yang takkan pernah kulupa adalah saat pertama kalinya kau kenalkan kosakata baru padaku, dalam salah satu perjalanan pulang kita dari sekolah ke rumah. Saat itu, kita masih kelas 3 SMA. Langit yang tadinya cerah mendadak terhapus hujan, seperti tirai air yang menerjang bumi tanpa tanda. Kita berdua berlari kencang menghindari kencangnya angin yang mengangkut titik hujan, menuju ke bawah jembatan. Kita terhenti di salah satu sudut yang masih cukup kering, dan bersandar lelah di birainya. Matahari yang masih bersinar lembut telah semakin merangkak ke sebelah barat, sinarnya yang semakin miring menimbulkan bias cahaya di antara hujan.

“Semoga ada pelangi,” ucapku sambil menadahkan tangan, menyentuh titik-titik hujan yang lolos dari kelompoknya, yang menciprati jembatan menjadi aliran hujan yang lebih kecil.

“Kalau hujan, aku lebih suka petrikor.” Kemudian dia menarik nafas panjang, membaui udara.

Dahiku berkerut, baru mendengar kosakata itu untuk pertama kalinya. “Apa itu?”

“Itu aroma harum saat hujan menyirami tanah yang kering.”

Aku mengangguk mengerti. Aku juga menyukai aroma tersebut, tapi tidak tahu bahwa wangi tersebut memiliki nama yang sangat indah.

“Terus, ada istilah apa lagi yang bagus?”

Kau meringis. “Kamu cari tau sendiri, lah. Kalau satu-satu harus aku ajarkan, lama-lama aku bisa jadi kamus.”

Lalu kau ulurkan tanganmu, menarik badanku dari birai yang kusandari, dan kemudian mengajakku berjalan kembali karena hujan deras tadi sudah menjadi gerimis.

“Ah, itu, coba kamu lihat!”

Kau mendadak menunjuk langit dengan antusias, memperlihatkan lukisan Tuhan yang berwarna indah. Lengkungnya tidak 180 derajat sempurna, hanya membentuk 90 derajat dan kemudian pudar. “Itu juga disebut bianglala. Pelangi itu bianglala. Kamu ingat-ingat, ya. Itu bonus kosakata dariku.”

Aku mengangguk-angguk, mendongakkan kepala menatap pelangi sambil mengingat namanya yang lain itu. Tanpa mungkin kau sadari, aku benar-benar mencatatnya dalam ingatanku, aku tak pernah lupa dengan dua kata ajaib yang kau bagikan kala itu. Petrikor. Bianglala.

*

Malam ini aku sulit tidur, gelisah melandaku. Aku teringat pada sosokmu.

Mungkinkah saat ini kau juga tak bisa tidur, sama sepertiku? Hatiku perih, sensasi ngilu terasa di dadaku. Mataku hendak meluncurkan kristal air itu.

Aku masih sangat merindukanmu.

Sambil mengusap mata yang telah kabur dengan air mata, aku segera mendekati laptopku. Beginilah ritualku, jika rindu padamu tak terperi. Aku akan menulis email untukmu. Tanpa yakin dan tahu pasti, apakah emailku pernah kau baca atau tidak. Satu pun belum pernah kau balas, semenjak kau menghilang 5 tahun belakangan setelah memutuskan menikah muda tanpa restu.

Aku segera mengetik kosakata yang aku temui tadi pagi.

Dersik : desir angin

Sama seperti kau yang menghilang dalam angin, aku membatin.

Lalu kuketik ‘Kirim’.

Cukup begitu isi pesanku. Aku tidak mau lagi repot-repot berbasa basi di dalam email, menanyakan kabar, memberitahukan keadaanku dan keluarga padamu seperti yang kulakukan saat awal-awal kepergian mendadakmu. Ratusan email sudah seperti itu, akhirnya aku menyerah. Aku hanya mengirim kosakata, persis seperti pesanmu saat itu, menyuruhku mencari kosakata sebanyak-banyaknya. Mungkin, aku tak berhenti mencari kosakata karena kosakata itulah satu-satunya yang menghubungkanku denganmu.

Saat merindu, kukirim satu demi satu padamu.

Aku kembali kepada tempat tidurku, memandang langit-langit yang noda-nodanya kukhayalkan sebagai bentuk wajahmu.

Kak…Apakah kau merasakan kerinduanku?

Bagaimanapun, kau saudara kembarku, kita adalah satu, dan akan selalu seperti itu.

Kubayangkan kau di waktu yang sama, di tempat berbeda, belum tertidur. Kau sedang membayangkan wajahku, wajah adikmu, setelah menatap kata ‘dersik’ yang baru datang dariku. Kuharap kau begitu.

*

Tulisan ini saya persembahkan pada Anna Rahman, sang penyumbang kosakata. 

Miscellaneous

A C I L

Ketika aku ditanya,”Siapa yang meninggal?” Maka akan kujawab,”Acilku.”

“Oohh acilmu yang itu…?” Kalimat selanjutnya akan bervariasi, tapi merujuk pada orang yang sama.

“Acilmu yang mengantar makanan tiap sore pas kamu bimbel SMP?” kata seorang sahabat, teman sebangkuku waktu kelas 3 SMP.
“Acilmu itu yang sering datang dan belanja di warung ibuku?” tanya rekan kerjaku.
“Acilmu yang waktu itu sering antar-jemput waktu kita SD? Aku malah lebih ingat tantemu itu daripada ibumu.” Seorang teman SD-ku berucap ketika tak sengaja dia mengantar makanan katering untuk ibuku.

Namun lebih banyak lagi orang yang terdiam, tahu betapa Acil adalah sosok yang sangat berharga, sehingga momen-momen di atas hanya sekeping kenangan yang belum menjadi representasi kebaikan dirinya. Momen-momen di atas, hanya bagi mereka yang sedikit mengenal Acilku, dan itu sudah cukup menunjukkan bahwa Acil memang luar biasa. Momen-momen yang direkam oleh teman, keluarga, dan terutama bagiku yang hidup bersamanya, tidak bisa rampung dalam satu kalimat tanya.

Acil meninggal di hari ketiga bulan lalu. Pemilihan hari yang sangat baik. Tanggal merah, dimana semua orang libur, sehingga semua orang bisa hadir dan mengurus pemakamannya dengan layak. Beliau tidak meninggal di rumah sakit–karena selama sakit, ia tidak dirawat di rumah sakit–melainkan di kamarnya sendiri di pagi hari setelah shalat subuh di hari Jum’at. Kepergiannya terasa sangat mendadak, karena sebenarnya beliau berangsur sembuh dan bahkan bisa kemana-mana dengan roda dua sendirian.

“Sama sekali tidak mau merepotkan orang lain.” Semua orang sepakat. Selama ini, lebih banyak kami yang merepotkan Acil.

Acilku, kakak ibuku, beberapa bulan sebelum wafat divonis terkena penyakit hati. Ia memang jarang ke dokter, jarang mau memeriksa kesehatan, jarang berolahraga, jarang menjaga makanan, namun punya aktivitas sangat tinggi. Hingga pensiun, ia masih sibuk–sibuk mengurus orang lain dan keluarga. Ia memang tidak menikah dan tidak punya anak. ‘Kebebasan’ itu ia gunakan untuk menolong orang lain semampunya.

Ketika tahu ia akhirnya meninggal karena penyakit hati, dalam hatiku terlintas ucapan yang masih terngiang-ngiang hingga kini: She literally gives her heart. Ia memang memberikan hatinya. Dari urusan kancing lepas, pulsa habis, urusan surat-surat, membeli makanan, membayar tagihan, mengurus rumah, dan seterusnya, semua ditangani oleh Acil. Bukan hanya rumahku, rumah yang seringkali menjadi markas keduanya, tapi juga keluarga kami yang lain atau teman-teman kantor. Meskipun pensiun, ia masih masuk kantor setiap hari supaya bisa membuatkan teh untuk teman satu ruangan kantornya. Bahkan hingga di titik akhir hidupnya, ia tidak merepotkan orang lain. Sehari sebelum meninggal, Acil pergi berkendara, membayar listrik rumah dan mengisi tabung gas, juga mengambil pensiunnya di kantor meskipun ia tergopoh-gopoh dan harus minta bantuan satpam agar bisa naik tangga. Ia bahkan sempat membersihkan rumah, dan meminta saudaranya untuk memotongkan kukunya. Ketika ditemukan meninggal di hari berikutnya, ia hanya seperti orang yang tertidur, namun tak kunjung bangun.

Hal yang membuatku sedih adalah kenyataan bahwa aku memang tidak bisa melewatkan waktu bersamanya di hari-hari terakhirnya. Hampir semua orang membicarakan tentang momen terakhir mereka bertemu dengan Acil. Dan aku tidak bisa membalas karena momen terakhirku bersamanya adalah lebaran tahun silam. Aku tidak sempat bersamanya selama dia sakit, karena perantauanku. Sesuatu yang antara kusesali dan tidak.

Aku memang berduka karena tidak melihatnya, menjenguknya, dan membantunya saat ia sakit selama beberapa bulan terakhir. Kepergiannya hanya bisa aku ratapi sendiri, jauh dari keluarga. Aku hanyalah manusia biasa yang tidak tahu kapan takdir akan menjemputku dan keluargaku. Jika aku tahu, tentu aku akan pulang sebelum tanggal kematiannya, bukan merencanakan pulang 20 hari setelahnya. Tapi aku tidak tahu, dan tidak akan pernah bisa tahu.

Orang lain boleh berebut memiliki kenangan terakhir bersamanya, tapi aku punya kenangan seumur hidup bersamanya. Bertahun-tahun aku tinggal serumah dengannya. Sewaktu kecil, selama aku tidur di sebelahnya. Tangannya-lah yang menyuapiku makan. Pinggangnya yang aku pegang ketika ia menjemputku pulang sekolah.

Ia sudah seperti ibuku sendiri. Kisah hidupku, akan selalu membawa acil di dalamnya, dan aku bangga hidup dalam kebaikan hati dari seseorang seperti dirinya.

Kadang, ia tak terasa seperti sudah tiada. Ia seakan masih ada, berjalan di dalam rumah, duduk di kursi di sampingku, berbicara bersamaku. Ia berada dimana-mana dan terasa tidak pernah pergi kemana-mana. Hanya makam dengan nisan bertuliskan namanya yang menjadi monumen penegas bahwa ia memang sudah lebih dahulu pergi.

Samar-samar, kerinduan yang melingkupi hatiku saat mengucapkan doa di atas kuburnya membuat rasa berduka ini muncul ke permukaan. Hujan deras yang mendadak muncul tadi pagi mengaburkan titik air mata yang diam-diam mengalir saat ibuku membacakan do’a ziarah kubur. Namun, kusadari kepergian yang terasa begitu cepat ini bukanlah akhir dari segalanya. Suatu saat nanti, aku akan bertemu lagi dengan acilku, karena kematian bagi makhluk yang bernyawa adalah pasti. Sampai jumpa, Acilku. Terima kasih karena telah mengajarkanku untuk hidup dengan sebaik-baiknya. Semua orang kini sibuk mengenangmu karena kebaikanmu. Aku bangga, sangat bangga.

*Acil merupakan bahasa Banjar yang berarti tante.

Miscellaneous

Percaya Saja

Ken terbangun di tengah malam, karena mendengar suara isak tangis yang terdengar lemah di sampingnya. Refleks, pria itu membalikkan badan, melihat sosok istrinya yang rupanya mengigau dalam tidurnya. Sepertinya istrinya sedang mengalami mimpi yang sangat buruk.

“Tih, bangun…” Ken mengguncang lembut bahu Ratih, agar Ratih segera terbangun dan sadar. Mereka baru saja menikah tiga bulan ini, dan meski Ken telah mengetahui bahwa Ratih seringkali bermimpi buruk semenjak pacaran tiga tahun lalu, namun tetap saja Ken merasa tak nyaman melihat istrinya itu ketakutan atas hal yang tak terlihat. Ekspresi Ratih tampak sangat sedih, dan erangan-erangan tak jelas keluar dari mulutnya.

Ratih terbangun, langsung terduduk dan terisak-isak mendekap suaminya. Ken memeluk Ratih sejenak, menenangkan hati wanita itu. Kemudian Ken menyuruh Ratih untuk duduk tenang sementara ia mengambilkan air putih untuk istrinya. Tak begitu lama, keadaan Ratih pun mulai pulih. Nafasnya yang tadinya cepat mulai melambat. Ia mulai menguasai perasaannya sendiri.

“Mimpi buruk?” tanya Ken kemudian.
Ratih mengangguk.
“Ceritakanlah,” desak Ken.
Ratih pun mulai menceritakan mimpinya. Sebenarnya mimpinya merupakan tipikal kejadian yang tentunya dihindari pasangan dalam rumah tangga, yakni perselingkuhan. Ratih melihat Ken yang bercumbu dan bermesraan dengan wanita lain, dan Ken yang akhirnya memilih wanita itu daripada Ratih. Hal-hal tersebut-lah yang membuat Ratih terisak-isak. Ia yang sangat mencintai Ken. Ia yang sangat tidak ingin kehilangan Ken. Ia yang rapuh bila Ken tidak ada. Ketiadaan Ken dalam hidupnya, adalah ketakutan terbesarnya.

Ken tidak memotong sekali pun cerita istrinya. Ia biarkan saja istrinya menceritakan mimpinya tanpa banyak membantah, agar istrinya bisa sedikit lebih lega. Ia tahu, mimpi buruk yang dialami Ratih, mungkin adalah perwujudan dari alam bawah sadar Ratih selama ini yang terlalu takut kehilangan dirinya. Sementara selama ini Ken sangat setia, tidak pernah terpikir olehnya mencari pengganti Ratih. Ia sudah tahu begitu saja, Ratih adalah pemberentian terakhirnya, tempat ia melabuhkan segala usaha dan kerja kerasnya, tempat ia kembali pulang.

“Aku tidak tahu bagaimana cara meyakinkan orang, karena memang tidak ada caranya,” kata Ken sambil memandang dalam mata istrinya. “Kau justru orang yang paling tahu, yang paling dekat denganku, melihat aku dan keseharianku. Apakah menurutmu aku akan melakukan semua yang ada di mimpimu?”
Ratih menggeleng.
“Tih, jika saja hati itu bisa dibaca seperti membaca buku, atau bisa kau genggam seperti tanganku ini, mungkin kau akan mudah tahu apakah aku sekarang jujur atau tidak, berusaha merayumu atau tidak. Justru karena hati itu tak terlihat, diperlukanlah yang namanya kepercayaan. Tanpa itu, hubungan sekuat apapun pasti hancur, Tih.”
Ratih terdiam. Butir-butir kristal jatuh dari matanya. “Apa aku salah, jika aku merasa takut dan khawatir?”
“Tidak masalah merasa takut, itu manusiawi. Yang menjadi masalah adalah ketika kamu tidak bisa menguasainya dan membiarkan rasa takut itu menguasai dirimu. Apalagi kalau sampai mengganggu hubungan kita, tentu akan jadi masalah besar. Segala sesuatu yang berlebihan itu tidak baik, kamu tahu itu.”
“Aku tidak tahu aku bisa mengendalikan pikiranku atau tidak…”
Serta-merta, Ken menggenggam tangan Ratih, menatap hingga jauh menembus ke dalam hitamnya mata Ratih, membuat Ratih bahkan kikuk karena ditatap seperti itu. “Kamu bisa. Kamu akan baik-baik saja. Dan aku ada di sini. Ulangi.”
“Aku bisa. Aku akan baik-baik saja. Dan, kamu ada di sini.” Seperti sebuah keajaiban, Ratih merasakan hatinya yang lepas dari beban berat yang mengungkungnya selama ini. Pengulangan kata-kata yang positif dari suaminya barusan membuat Ratih merasa lebih kuat dan tegar. “Ya, aku di sini. Masih di sini.” Ken mengecup sekilas dahi istrinya, membuat hati Ratih mengembang. Ratih langsung berucap syukur dalam hati, karena mendapat suami sebaik Ken.
“Tapi sebenarnya kalau kamu mimpi buruk, yang paling kukhawatirkan bukan masalah perasaanmu,” kata Ken, sembari membaringkan badan, siap-siap untuk tidur kembali.
“Oh ya, lalu apa?”
“Yah, soalnya kalau kamu mengigau terus, kamu mengganggu tidur nyenyakku.” Ken bercanda sambil menutupi kepalanya dengan bantal, menghindari serangan cubitan dari istrinya.

Miscellaneous

Kucing Peliharaan

Sejak aku menyukai kucing, istriku malah praktis membenci kucing. Padahal yang dulu terjadi adalah sebaliknya.

Dulu, aku sangat tak suka dengan kucing. Aku tak bilang aku benci, hanya tak suka. Sedikit jijik dengan gaya mereka yang malas-malasan dengan tubuh meliuk dan meregangnya. Kadang, menurutku kucing itu licik. Ya, licik. Mata mereka menatap tajam, tapi dengan mata itu pula, pupilnya dibesarkan, minta dikasihani. Dengan bulu halus dan badan meliuk manja, betisku didekatinya, digesek-gesekkannya hingga aku menggelinjang. Geli! Padahal, kucing itu begitu karena hanya punya mau. Dia mendekatiku seperti itu karena melihat sepotong ayam goreng yang sedang kujadikan cemilan sore melekat di tanganku. Nah, kucing itu makhluk licik, kan? Dia datang ketika ada maunya. Benar-benar makhluk berbahaya, begitu pikirku.

Tapi apa daya, waktu melamar istriku, ia langsung mengajukan syarat agar jika kami tinggal bersama, kucing kesayangannya itu harus dibawa serta. Aku sempat bergurau, jika aku menolak kucing itu, apakah istriku itu akan membatalkan pernikahan? Dengan tertawa dia menjawab, bahwa dia lebih mencintai kucingnya. Lebih baik dia menendangku daripada menendang kucingnya. Aku tak tahu hingga kini apakah istriku itu serius atau bercanda.

Sebulan dua bulan pertama di rumah baru, aku, istriku dan kucingnya tak benar-benar akrab. Seperti yang kukatakan tadi, kucing itu dan aku tak akur. Meski kucing itu sebenarnya bukan kucing cerewet, hanya seekor kucing kampung yang tak perlu perawatan mahal, tapi aku tetap berprasangka padanya. Aku selalu yakin di balik perilaku manis dan lugu mereka, kucing seakan menyimpan rahasia dan kelicikan yang tak kumengerti. Ah, mungkin karena itu wanita suka kucing. Wanita juga tak mudah kumengerti.

Namun, lama-lama aku terpedaya juga dengan si kucing itu. Lama-lama kulihat dia manis juga. Lama-lama kuperhatikan kucing itu tak sejahat yang kukira. Pasalnya, meski memang sering mendekatiku karena makananku, nyatanya dia tak benar-benar pergi setelah kuberikan jatah makanku padanya. Dia tetap melengkungkan punggungnya di kakiku, membuatku merasa hangat dan nyaman. Kadangkala, kucing itu menarik perhatianku dengan sengaja, memintaku agar menggoyang-goyangkan bulu ayam kesukaannya yang sudah diikat istriku dengan benang seperti sebuah pancing. Setelah melihat aksinya yang mengejar-ngejar bulu ayam itu seperti mangsa sungguhan, aku jadi terpikat padanya. Apalagi istriku yang seringkali jarang di rumah, membuatku merasa menemukan teman untuk mengusir rasa sepi.

Jadilah, aku dan kucing itu semakin dekat dan akrab. Melebihi keakraban istriku dengan kucingnya sendiri. Mau bagaimana lagi, bukankah istriku juga jarang di rumah? Akulah yang jadinya harus merawat kucing itu, mengajaknya bermain, memberinya makan, memandikan, dan sebagainya. Istriku yang semula adalah pemilik resminya, jarang memegang kucingnya sendiri karena semakin hari semakin sibuk dengan karirnya. Tak heran, jika kucingnya kini lebih akrab padaku daripada dengan istriku.

Yang lucu, namun semakin ke sini semakin tidak lucu, adalah istriku cemburu dengan perlakuanku yang menyayangi kucingnya. Apalagi pernah suatu hari, kucingnya lebih memilih dielus olehku daripada istriku. Kucingnya mendengus dan melenggang pergi saat istriku berusaha memanggilnya. Kucing istriku itu, memilih menyandarkan punggungnya di pangkuanku, memintaku untuk mengelus perutnya yang semakin lama semakin buncit karena selalu kuberi makan dengan baik.

Hal yang semula sepele itu, kini semakin menjadi. Istriku semakin hari semakin aneh lakunya. Dia mencemburui aku, juga kucingnya. Dia mulai membenci kucingnya. Dia merasa kucingnya merebut perhatianku. Ya, mau bagaimana lagi? Ketika istriku di rumah pun, aku memang tetap memerhatikan kucing itu dengan baik. Kalau kucing itu mengeong lapar, atau minta dielus, tetap kupenuhi permintaannya meskipun saat itu istriku bersamaku. Istriku jadi merasa tidak diperhatikan lagi, kalah oleh kucingnya sendiri.

Mungkin suatu hari, istriku tak tahan dan akhirnya membentakku yang sedang menyisiri bulu kucing itu dengan saksama.
“Kau lebih menyayangi kucing itu daripadaku!”
“Bukan begitu,” kataku santai.”Kalau lapar, kucing ini tidak bisa mencari makan sendiri, sementara kamu, kamu bisa mandiri sendiri, bisa cari makan sendiri.”
“Kalau begitu, kau lebih memilih kucing itu?”
Aku diam dan berlalu. Rasanya ingin sekali kumuntahkan kepada istriku kata-katanya dahulu, lebih baik dia yang kutendang dari rumah ini, daripada menendang kucing itu.

Suatu hari, dia membawa penghuni baru ke rumah kami. Seekor kucing jantan yang tampak garang. Begitu melihat kucing lama kami yang sedang merebahkan diri di lantai, kucing baru istriku itu langsung menggeram. Aku hanya bisa menatap istriku dengan wajah hampa, heran campur jengkel memenuhi pikiranku. Ya, aku mengerti kenapa istriku membawa si penghuni baru itu. Mungkin dia muak dengan pertengkaran kami. Mungkin dia hanya kesal dan iri. Mungkin dia ingin membalaskan dendam atau apa, aku tak mengerti. Tapi yang jelas, kucingku langsung meringkuk, telinganya waspada, bulunya menegak, karena melihat ancaman yang sedang digendong istriku. Tidak mungkin dua kucing ini bisa bersama dalam satu teritori.

Dengan wajah tak berdosa, istriku melepaskan genggamannya. Dilepaskannya kucing jantan garang yang merasa ingin menguasai rumah kami sebagai teritori barunya. Kucing jantan itu langsung mengejar kucing lama kami, yang tentu saja langsung lari terbirit-birit. Tak mau ia dicabik-cabik dan terjajah oleh kucing baru itu.

“Sekarang sudah aman,” kata istriku, melenggang pergi dengan penuh kemenangan.

Miscellaneous

Petualangan Kotak Kayu

Aku memegang kotak kayu kecil di genggamanku itu dengan rasa penasaran. Rasanya ingin sekali membuka, dan mengintip isinya, sedikit saja. Tapi tak bisa. Harga diriku melarangku untuk melakukan itu.

Jika tidak karena wanita itu yang menitipkannya padaku, mungkin aku takkan memegang kotak ini. Tapi, takdir saat itu mempertemukanku dengannya.

Wanita paruh baya yang tak kuketahui namanya itu tak sengaja tertangkap oleh mataku sedang menangis di sudut tenda pengungsi. Meski malam sudah pekat, kesunyian tak mampu membenam suara sesenggukan sang wanita yang halus dan tertangkap telingaku.

Sudah tugasku untuk memenuhi keperluan pengungsi di lapangan, sehingga aku langsung saja mendekati wanita itu perlahan, dan menanyakan apa yang terjadi padanya, atau apakah dia memerlukan sesuatu. Namun wanita itu menggeleng dan tak bisa menahan air matanya.

“Jika memang ada masalah, kau bisa menceritakannya padaku,” kataku saat itu. Tidak bermaksud berbasa-basi, namun aku memang ingin sekali membantu wanita itu, apapun masalahnya.

Wanita itu memandangku, mungkin dalam hatinya dia sedang menilai apakah aku mampu. Tak lama, ia beranjak dari tempat tidur, dan mengambil tasnya. Ia kemudian mengeluarkan sebuah kotak kayu kecil yang ukurannya cukup untu digenggam satu tangan. Kemudian ia menyerahkannya padaku.

“Bisakah kamu menyerahkannya pada seseorang?” Ia bertanya.
“Kepada siapa?”
“Anakku.” Wanita itu menjawab.
Setelah itu, sang wanita mulai menceritakan kejadian yang dialaminya sesaat sebelum ia ditempatkan di pengungsian ini.
“Saat ada kabar bahwa pasukan pemberontak mengepung desa kami, aku dan anakku terpisah ketika tentara berhelm biru memaksa kami mengungsi. Aku langsung diarahkan untuk masuk ke sebuah truk. Mungkin anakku masuk ke truk yang lain, aku tak tahu. Aku sudah mencoba mencari dia di pengungsian ini, tapi sudah 3 hari di sini, aku tak melihatnya sekali pun. Aku tak tahu kemana harus mencarinya, dan tak tahu bagaimana menghubunginya.” Setelah berkata begitu, wanita itu pun menangis lagi.
“Lalu, apa yang bisa saya bantu?” tanyaku, meski aku tahu bantuan macam apa yang akan ia minta.
“Bisakah kamu menemukan anakku? Dan serahkan ini padanya?”
Seakan ada kekuatan magis yang menuntunku, aku hanya mengangguk setuju.

Dan keesokan paginya, aku terbangun dan langsung mengambil kotak yang kini ada di samping tempat tidurku. Dan di sinilah aku, merenung atas apa yang kulakukan semalam. Barulah aku menyadari, betapa gegabah dan cerobohnya aku, langsung menyetujui untuk menjadi kurir bagi wanita itu.

Aku menimbang-nimbang posisiku. Dengan hanya berbekal foto selembar, serta nama, aku harus mencari seorang gadis berusia 20 tahun yang kini bisa berada di mana saja.
“Bisa saja dia sudah mati,” pikirku, “Dan pencarian ini mungkin akan sia-sia.”
Belum lagi jika aku harus memikirkan perasaan wanita itu. Bagaimana kalau aku gagal?
Aku menunduk menatap kotak yang kini berhasil meraih segala pusat perhatianku. Wanita itu tak secara eksplisit meminta aku untuk tidak membuka kotak itu. Namun tetap saja aku tak boleh membuka barang pribadi milik orang lain, meski aku penasaran. Kuguncang-guncang kotak itu, berharap mendengar sesuatu yang bisa dijadikan petunjuk. Namun, hanya suara gesekan halus bergaung di dalam kotak itu.
Mendadak, deru mesin yang keras terdengar di luar tenda. Kegiatanku mengamati kotak itu sontak terhenti. Guncangan dari angin yang semakin mengencang membuatku sadar bahwa itu adalah kedatangan helikopter pembawa bantuan logistik. Aku mengamati jam tanganku, mencoba memperkirakan waktu. Seakan mendapat bisikan, segera aku bangkit dan aku masukkan kotak itu ke dalam tas kecil milikku. Mendadak, aku tahu apa yang harus pertama kulakukan saat mendengar suara helikopter itu.
Misi dimulai, batinku.

Aku berpegangan dengan tangan yang berkait cukup ganjil di dalam helikopter. Aku tidak terlalu suka terbang. Helikopter yang kutumpangi dalam misi kemanusiaan di Afrika 3 tahun lalu pernah ditembaki oleh gerakan separatis, dan mau tak mau membuatku sedikit trauma. Setengah jam di udara terasa begitu menyiksaku. Aku tak bisa mengungkapkan kelegaanku saat aku menginjak tanah yang padat. Ryu, seorang anggota organisasi non-pemerintah menyambutku dengan tergelak. Kami telah berteman beberapa tahun terakhir, karena kesamaan kami dalam bidang kemanusiaan, namun kami tak bisa selalu berjumpa. Ia selalu bahagia melihat wajahku yang pucat pasi kala harus terbang.
“Tidak jetlag kan?” Ryu menepuk punggungku. Bahasa inggrisnya masih diwarnai aksen jepang yang kental.
“Ha-ha. Lucu sekali, Ryu.” Aku menyahut dengan tawa yang dibuat-buat.
“Aku diberitahu oleh pilot bahwa kamu ikut penerbangan ke sini. Tapi, kalau boleh tahu, untuk apa?” Ryu bertanya setelah mempersilakanku beristirahat sejenak.
“Aku mencari seseorang.” Lalu kuserahkan selembar foto yang dititipkan wanita itu.
Ryu menatap foto yang kuberi dengan saksama. Alisnya bertaut. “Menurutmu, gadis ini ada di pengungsian sini?”
Aku mengangkat bahu. “Aku hanya berusaha mencari di pengungsian lain, yang terdekat. Desa asal wanita dan anak perempuannya itu tak jauh dari sini, jadi aku yakin pasukan perdamaian yang membantu mengungsikan akan menempatkan pengungsi di tempatku, atau tempatmu. Wanita itu yakin tak melihat sosok anaknya di pengungsian tempatku bekerja. Jadi mungkin saja, dan aku berharap, gadis itu di sini, di pengungsian yang kau monitori.”
Ryu menggeleng, perlahan.
“”Entahlah. Kau tahu sendiri, jumlah pengungsi yang harus diurus. Aku tak mungkin hafal wajah mereka satu-satu. Mungkin ada, mungkin tidak.”
“Tapi kau boleh berkeliling di pengungsian ini tentunya. Mungkin kau akan menemukan wanita yang kau cari itu.” Ryu berkata seraya mengembalikan foto itu. “Kau boleh berlama-lama di pengungsian ini, smapai menemukan wanita ini.
“Terima kasih, Ryu.”
“Semoga beruntung, kawan,” ucapnya. “Hah, perang memang kejam ya, bahkan bagi mereka yang tidak terlibat. Orang-orang sipil harus terampas kehidupan normalnya. Ibu dan anak pun jadi terpisah.” Setelah berkata seperti itu, Ryu pun berlalu. Dalam hati, aku meng-iya-kan ucapannya itu. Aku tak bisa menemukan bantahan untuk itu.

Entah sudah berapa lama aku berjalan, mencoba mengelilingi pengungsian ini. Namun, menemukan satu di antara hampir seribu orang, berbekal selembar foto saja, juga bukan pekerjaan mudah. Pengungsian ini memang besar, lebih besar dari tempatku bekerja. Dan mengingat manusia juga bukan benda mati, gadis dalam foto ini tak mungkin berdiam diri di satu posisi saja. Entah dimana ia sekarang.

Tenda demi tenda kukunjungi. Orang-orang yang melewatiku, aku tanyai mengenai gadis dalam foto itu, namun kebanyakan mereka menggelengkan kepala bahkan sebelum aku sempat mengonfirmasi namanya. Dalam keputusasaan, aku mencoba mendatangi seorang wanita yang sedang mengawasi anak lelakinya bermain pasir di luar tenda pengungsian. Usaha terakhir, batinku. Jika masih tak ada petunjuk, aku berencana untuk kembali ke pengungsianku sendiri dan melanjutkan pencarian esok hari. Aku tak mungkin terus-menerus di sini dan membuat pekerjaanku di pengungsian terbengkalai.
“Maaf, apakah ibu pernah melihat gadis ini? Namanya Fathya. Dia kira-kira 20 tahun.” Aku bertanya. Dan seperti yang sudah kuduga, dia menggeleng. Baiklah, ucapku dalam hati, saatnya pulang. Setidaknya aku mencoba.
“Ah, dia kakak cantik waktu itu, Ibu!” Suara anak kecil tiba-tiba menyahut. Anak dari wanita itu ternyata sudah berdiri di sampingku, sambil mengintip foto yang kupegang. Seakan mendapat pengharapan, aku langsung berjongkok, berusaha menyamakan posisi dengan anak itu. “Kamu kenal dengan orang ini?” Aku bertanya sambil menyodorkan foto padanya.
“He-em.” Anak itu mengangguk tegas. “Aku main terlalu jauh, terus aku tersesat. Kakak ini yang mengantarku ke tenda.”
“Oh, ternyata dia yang selama ini kau bicarakan, Nak?” sahut sang ibu.
Anak itu mengangguk lagi.
“Maaf, Pak, saya sendiri belum bertemu gadis ini. Waktu itu anak saya belum kembali juga setelah dua jam menghilang, sehingga saya mencarinya kemana-mana. Begitu saya kembali ke tenda saya lagi, anak ini tahu-tahu sudah ada di dalam. Dia bercerita ada gadis yang menolongnya. Gadis yang diceritakannya itu mungkin langsung kembali ke tendanya sendiri setelah mengantar anak saya.”
“Kakak ini baik sekali,” seru anak itu. “Tapi dia kasihan, perutnya besar dan pasti berat sekali.”
“Mungkin yang anak saya maksud, wanita itu sedang hamil. Mungkin anda bisa mencarinya di klinik kesehatan.”
“Ah ya, terima kasih, Bu. Dan kamu juga, terima kasih ya, Nak.” Aku berkata sambil mengelus kepala anak lelaki yang menyelamatkan hariku itu.

Bergegas, aku segera mencari klinik kesehatan khusus pengungsi. Aku terkesiap. Aku tersenyum sendiri, menyadari kebodohanku. Klinik! Kenapa tidak terpikir olehku dari tadi? Aku mengumpat dalam hati.
Di klinik pasti ada nama-nama pasien yang pernah berkunjung ke sana. Setidaknya aku bisa mengecek terlebih dahulu, apakah Fathya pernah berkunjung ke klinik atau belum.

Klinik kesehatan yang kucari cukup mencolok dengan tanda palang merah di salah satu dindingnya. Suasana klinik tak begitu ramai. Hanya ada 3-4 orang yang menjadi pasien pagi itu. Aku menyapukan pandangan, berharap melihat Fathya di situ, tapi sosok yang mirip ia tak ada. Harapanku sedikit pudar, namun aku bergegas menuju petugas administrasi dan menanyakan perihal Fathya padanya. “Oh, pasien yang bernama Fathya sedang diperiksa di dalam. Mungkin anda bisa menemuinya setelah pemeriksaan.” Aku mengangguk, dan segera duduk di kursi panjang tempat para pasien menunggu giliran.

Selama menunggu, pikiranku pun langsung berusaha menganalisis apa yang terjadi. Aku tak menyangka bahwa Fathya sedang hamil. Ibunya tak menceritakan apapun tentang itu. Saat kuberitahu bahwa jika aku menemukan Fathya, aku mungkin bisa mempertemukan mereka. Tapi wanita itu malah menggeleng sedih dan menyuruhku hanya mengantar kotak itu. Aku hanya berharap, menemukan Fathya bisa menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi pada ibu dan anak itu.
Tak lama kemudian, sosok ibu muda muncul dari balik pintu. Aku terpana. Aku seratus persen meyakini, wanita itu Fathya, karena ia begitu mirip dengan foto yang aku genggam.  Melihat wanita muda yang begitu rapuh, dengan wajah letih, dan kehamilan yang mungkin hanya akan menunggu hari. Aku langsung menyambutnya. “Maaf, anda yang bernama Fathya? Saya ingin bicara.”
Fathya menatapku sedikit curiga, namun kemudian ia mengangguk dan mau duduk di sampingku.
“Ada apa?”
“Saya bertemu ibu anda.”
“Ibu?” Nada suara Fathya jelas-jelas keheranan. Namun dia tak menunjukkan rasa tertarik, yang membuatku semakin heran. Apa dia tak ingin bertemu ibunya?
“Ya, ibu anda ada di pengungsian di tempat saya bekerja. Setengah jam dari sini, lewat udara.”
“Itu saja yang ingin anda sampaikan?”
Aku melongo. Tak menyangka sambutan Fathya akan sedingin itu. “Saya sudah ditunggu suami saya,” kata Fathya, sambil beranjak meninggalkanku.
“Tunggu! Anda tidak mau bertemu ibu anda? Sebentar lagi helikopter akan berangkat ke pengungsian saya. Saya bisa membawa anda pada ibu anda.”
“Aneh sekali. Ibu saya membenci saya, Tuan. Dia membenci saya semenjak saya hamil di luar nikah dengan pria yang tak ia setujui. Semenjak dia mengusir saya, dia tak pernah menghiraukan saya.” Fathya bercerita dengan wajah yang keras.
“Ibu anda berkata, dia terpisah dari anda saat pasukan perdamaian datang,” sahutku.
“Ya, hari itu saya melihat ia di halaman rumah saya. Tapi dia hanya terpaku di luar sana. Saat saya menyuruh suami saya saja untuk menemuinya, saat itu ada perintah untuk mengungsi.”
“Beliau menyuruh saya menyerahkan ini,” kataku. Aku mengeluarkan kotak kayu yang menjadi inti permasalahan, yang membuatku kesana-kemari seharian itu.
“Apa ini?” Fathya tertegun. Aku menggeleng. “Silakan anda yang buka.” Dengan cepat, ia membuka kotak itu. Aku merasakan jantungku berdebar kencang saat akhirnya kotak itu tak lagi tertutup.
Fathya mengeluarkan sebuah kertas yang terbungkus cukup rapi. Melihat kertas itu cukup tebal, aku menasihati Fathya untuk hati-hati saat membukanya. Kertas itu tak hanya sebuah kertas yang terlipat, pasti ada isi di dalamnya.
Satu demi satu lipatan kertas dibuka perlahan. Dan ketika akhirnya lipatan terakhir terbuka, terlihatlah wujud benda yang ingin disampaikan sang iu kepada anaknya.
“Emas,” kataku, dengan nafas tertahan. Aku langsung tak habis pikir betapa ibu itu mempertaruhkan resiko untuk mempercayaiku. Aku bisa saja membuka isinya, mengambil semua emasnya. Namun, wanita itu tak punya pilihan, karena ia tak berani menemui anaknya sendiri setelah ia mengusirnya.
“Perhiasan yang diberikan ayah saat melamar ibu,” ucap Fathya, dengan terbata-bata. Cincin, kalung, dan anting-anting yang cantik tampak di sana.
“Ada tulisan di kertas itu,” kataku. Fathya segera memasukkan emas milik ibunya ke kotak kayu dan membacakan kalimat pendek yang ada di kertas itu. “Ibu merestuimu, Nak. Maafkan ibu.” Fathya tak mampu membendung tangisannya.
“Selalu ada kesempatan untuk hal yang baik,” kataku pada Fathya. “Anda tahu, apa yang harus anda lakukan.”
Fathya mengangguk. “Aku pun sudah merindukannya. Beri saya dan suami saya waktu sebentar untuk bersiap-siap.”
Aku mengangguk pada gadis muda itu. “Pasti. Saya tunggu di dekat landasan helikopter.”
Aku tersenyum lebar melihat punggung Fathya yang menjauh, berjalan dengan semangat menuju tendanya karena membawa kabar baik yang selama ini mungkin ditunggunya. Hatiku mendadak diisi perasaan hangat yang hanya muncul saat kita ternyata bisa membantu orang lain meraih kebahagiaannya.
Misi selesai, bisikku pada diriku sendiri, sambil melangkah menuju landasan helikopter.

Miscellaneous

Petaka

 

#1

Kau baru tahu, betapa pahitnya sesuatu, saat sesuatu itu dijatuhkan padamu. 

Aku sebenarnya tak suka mengomentari orang lain. Tak jua pernah membenci dan dibenci kawan. Bermusuhan pun pantang bagiku. Ikut tawuran dan menyabet wajah seseorang sekalipun aku tak pernah.

Aku pecinta damai. Sejati. 

Tapi mengapa Tuhan menimpakan siksa ini padaku? Mengapa aku yang merasakan hal yang tak pernah kulakukan sebelumnya? Kata orang, hidup kita tak lepas dari karma. Aku yang tak pernah menjahati orang, menghina orang, menyakiti hati orang, mengapa tetap saja menderita hal yang tak sepatutnya kuterima?

Kata seorang kawan, aku tak boleh mengeluh. Jika aku mengeluh, artinya aku menolak kuasa Tuhan. Padahal aku harus menerima apa-apa yang ditakdirkan padaku. Tapi, jika orang disekitarmu, bahkan keluargamu, terus menghinamu, maka bertahan tanpa menjadi gila pun adalah hal yang ajaib untuk dilakukan. 

Menasehati memang mudah, kawan. Kau akan tahu, betapa pahitnya sesuatu, saat sesuatu itu dijatuhkan padamu. 

.

#2

Kau akan baru tahu rasanya, jika kau yang mengalaminya. Rasanya, ingin kumuntahkan kata-kata itu padanya, tapi percuma saja. 

Ia akan mementahkannya. Tak kepada orang lain juga. Tapi padaku saja. 

Besok pagi, wajahku akan penuh biru jika berani mengatakan hal yang serupa. Padahal, bukan izinnya yang aku inginkan. Satu-satunya yang kuminta, hanya pengertiannya. Hanya penerimaannya. 

.

#3

Sebagai seorang yang melahirkannya, hanya iba yang bisa kuberikan padanya. Menyedihkan. Aku tak bisa melindunginya. Peranku di sini, tak lebih dari orang ketiga. Aku tak bisa apa-apa, saat kedua orang yang kusayangi mulai bertengkar hebat, entah untuk malam yang keberapa.

Aku kasihan pada anakku. 

Semua bermula, saat ia hanya ingin belajar memakai gincu. Saat diam-diam ia memakai peralatan kosmetika dan sepatu hak tinggi milikku. Saat dengan nada ceria ia menebarkan senyumnya sambil mengayunkan rok bunga-bunga. 

Dan saat ia tak sadar, ayahnya sedang memperhatikannya.

Dan saat itu pula seorang ayah, untuk pertama kali tega menghajar anak lelakinya.

Dan saat itulah siksa demi siksa dimulai, malam demi malam. 

Petaka yang tak kutahu kapan berakhirnya.