Aku memegang kotak kayu kecil di genggamanku itu dengan rasa penasaran. Rasanya ingin sekali membuka, dan mengintip isinya, sedikit saja. Tapi tak bisa. Harga diriku melarangku untuk melakukan itu.
Jika tidak karena wanita itu yang menitipkannya padaku, mungkin aku takkan memegang kotak ini. Tapi, takdir saat itu mempertemukanku dengannya.
Wanita paruh baya yang tak kuketahui namanya itu tak sengaja tertangkap oleh mataku sedang menangis di sudut tenda pengungsi. Meski malam sudah pekat, kesunyian tak mampu membenam suara sesenggukan sang wanita yang halus dan tertangkap telingaku.
Sudah tugasku untuk memenuhi keperluan pengungsi di lapangan, sehingga aku langsung saja mendekati wanita itu perlahan, dan menanyakan apa yang terjadi padanya, atau apakah dia memerlukan sesuatu. Namun wanita itu menggeleng dan tak bisa menahan air matanya.
“Jika memang ada masalah, kau bisa menceritakannya padaku,” kataku saat itu. Tidak bermaksud berbasa-basi, namun aku memang ingin sekali membantu wanita itu, apapun masalahnya.
Wanita itu memandangku, mungkin dalam hatinya dia sedang menilai apakah aku mampu. Tak lama, ia beranjak dari tempat tidur, dan mengambil tasnya. Ia kemudian mengeluarkan sebuah kotak kayu kecil yang ukurannya cukup untu digenggam satu tangan. Kemudian ia menyerahkannya padaku.
“Bisakah kamu menyerahkannya pada seseorang?” Ia bertanya.
“Kepada siapa?”
“Anakku.” Wanita itu menjawab.
Setelah itu, sang wanita mulai menceritakan kejadian yang dialaminya sesaat sebelum ia ditempatkan di pengungsian ini.
“Saat ada kabar bahwa pasukan pemberontak mengepung desa kami, aku dan anakku terpisah ketika tentara berhelm biru memaksa kami mengungsi. Aku langsung diarahkan untuk masuk ke sebuah truk. Mungkin anakku masuk ke truk yang lain, aku tak tahu. Aku sudah mencoba mencari dia di pengungsian ini, tapi sudah 3 hari di sini, aku tak melihatnya sekali pun. Aku tak tahu kemana harus mencarinya, dan tak tahu bagaimana menghubunginya.” Setelah berkata begitu, wanita itu pun menangis lagi.
“Lalu, apa yang bisa saya bantu?” tanyaku, meski aku tahu bantuan macam apa yang akan ia minta.
“Bisakah kamu menemukan anakku? Dan serahkan ini padanya?”
Seakan ada kekuatan magis yang menuntunku, aku hanya mengangguk setuju.
Dan keesokan paginya, aku terbangun dan langsung mengambil kotak yang kini ada di samping tempat tidurku. Dan di sinilah aku, merenung atas apa yang kulakukan semalam. Barulah aku menyadari, betapa gegabah dan cerobohnya aku, langsung menyetujui untuk menjadi kurir bagi wanita itu.
Aku menimbang-nimbang posisiku. Dengan hanya berbekal foto selembar, serta nama, aku harus mencari seorang gadis berusia 20 tahun yang kini bisa berada di mana saja.
“Bisa saja dia sudah mati,” pikirku, “Dan pencarian ini mungkin akan sia-sia.”
Belum lagi jika aku harus memikirkan perasaan wanita itu. Bagaimana kalau aku gagal?
Aku menunduk menatap kotak yang kini berhasil meraih segala pusat perhatianku. Wanita itu tak secara eksplisit meminta aku untuk tidak membuka kotak itu. Namun tetap saja aku tak boleh membuka barang pribadi milik orang lain, meski aku penasaran. Kuguncang-guncang kotak itu, berharap mendengar sesuatu yang bisa dijadikan petunjuk. Namun, hanya suara gesekan halus bergaung di dalam kotak itu.
Mendadak, deru mesin yang keras terdengar di luar tenda. Kegiatanku mengamati kotak itu sontak terhenti. Guncangan dari angin yang semakin mengencang membuatku sadar bahwa itu adalah kedatangan helikopter pembawa bantuan logistik. Aku mengamati jam tanganku, mencoba memperkirakan waktu. Seakan mendapat bisikan, segera aku bangkit dan aku masukkan kotak itu ke dalam tas kecil milikku. Mendadak, aku tahu apa yang harus pertama kulakukan saat mendengar suara helikopter itu.
Misi dimulai, batinku.
Aku berpegangan dengan tangan yang berkait cukup ganjil di dalam helikopter. Aku tidak terlalu suka terbang. Helikopter yang kutumpangi dalam misi kemanusiaan di Afrika 3 tahun lalu pernah ditembaki oleh gerakan separatis, dan mau tak mau membuatku sedikit trauma. Setengah jam di udara terasa begitu menyiksaku. Aku tak bisa mengungkapkan kelegaanku saat aku menginjak tanah yang padat. Ryu, seorang anggota organisasi non-pemerintah menyambutku dengan tergelak. Kami telah berteman beberapa tahun terakhir, karena kesamaan kami dalam bidang kemanusiaan, namun kami tak bisa selalu berjumpa. Ia selalu bahagia melihat wajahku yang pucat pasi kala harus terbang.
“Tidak jetlag kan?” Ryu menepuk punggungku. Bahasa inggrisnya masih diwarnai aksen jepang yang kental.
“Ha-ha. Lucu sekali, Ryu.” Aku menyahut dengan tawa yang dibuat-buat.
“Aku diberitahu oleh pilot bahwa kamu ikut penerbangan ke sini. Tapi, kalau boleh tahu, untuk apa?” Ryu bertanya setelah mempersilakanku beristirahat sejenak.
“Aku mencari seseorang.” Lalu kuserahkan selembar foto yang dititipkan wanita itu.
Ryu menatap foto yang kuberi dengan saksama. Alisnya bertaut. “Menurutmu, gadis ini ada di pengungsian sini?”
Aku mengangkat bahu. “Aku hanya berusaha mencari di pengungsian lain, yang terdekat. Desa asal wanita dan anak perempuannya itu tak jauh dari sini, jadi aku yakin pasukan perdamaian yang membantu mengungsikan akan menempatkan pengungsi di tempatku, atau tempatmu. Wanita itu yakin tak melihat sosok anaknya di pengungsian tempatku bekerja. Jadi mungkin saja, dan aku berharap, gadis itu di sini, di pengungsian yang kau monitori.”
Ryu menggeleng, perlahan.
“”Entahlah. Kau tahu sendiri, jumlah pengungsi yang harus diurus. Aku tak mungkin hafal wajah mereka satu-satu. Mungkin ada, mungkin tidak.”
“Tapi kau boleh berkeliling di pengungsian ini tentunya. Mungkin kau akan menemukan wanita yang kau cari itu.” Ryu berkata seraya mengembalikan foto itu. “Kau boleh berlama-lama di pengungsian ini, smapai menemukan wanita ini.
“Terima kasih, Ryu.”
“Semoga beruntung, kawan,” ucapnya. “Hah, perang memang kejam ya, bahkan bagi mereka yang tidak terlibat. Orang-orang sipil harus terampas kehidupan normalnya. Ibu dan anak pun jadi terpisah.” Setelah berkata seperti itu, Ryu pun berlalu. Dalam hati, aku meng-iya-kan ucapannya itu. Aku tak bisa menemukan bantahan untuk itu.
Entah sudah berapa lama aku berjalan, mencoba mengelilingi pengungsian ini. Namun, menemukan satu di antara hampir seribu orang, berbekal selembar foto saja, juga bukan pekerjaan mudah. Pengungsian ini memang besar, lebih besar dari tempatku bekerja. Dan mengingat manusia juga bukan benda mati, gadis dalam foto ini tak mungkin berdiam diri di satu posisi saja. Entah dimana ia sekarang.
Tenda demi tenda kukunjungi. Orang-orang yang melewatiku, aku tanyai mengenai gadis dalam foto itu, namun kebanyakan mereka menggelengkan kepala bahkan sebelum aku sempat mengonfirmasi namanya. Dalam keputusasaan, aku mencoba mendatangi seorang wanita yang sedang mengawasi anak lelakinya bermain pasir di luar tenda pengungsian. Usaha terakhir, batinku. Jika masih tak ada petunjuk, aku berencana untuk kembali ke pengungsianku sendiri dan melanjutkan pencarian esok hari. Aku tak mungkin terus-menerus di sini dan membuat pekerjaanku di pengungsian terbengkalai.
“Maaf, apakah ibu pernah melihat gadis ini? Namanya Fathya. Dia kira-kira 20 tahun.” Aku bertanya. Dan seperti yang sudah kuduga, dia menggeleng. Baiklah, ucapku dalam hati, saatnya pulang. Setidaknya aku mencoba.
“Ah, dia kakak cantik waktu itu, Ibu!” Suara anak kecil tiba-tiba menyahut. Anak dari wanita itu ternyata sudah berdiri di sampingku, sambil mengintip foto yang kupegang. Seakan mendapat pengharapan, aku langsung berjongkok, berusaha menyamakan posisi dengan anak itu. “Kamu kenal dengan orang ini?” Aku bertanya sambil menyodorkan foto padanya.
“He-em.” Anak itu mengangguk tegas. “Aku main terlalu jauh, terus aku tersesat. Kakak ini yang mengantarku ke tenda.”
“Oh, ternyata dia yang selama ini kau bicarakan, Nak?” sahut sang ibu.
Anak itu mengangguk lagi.
“Maaf, Pak, saya sendiri belum bertemu gadis ini. Waktu itu anak saya belum kembali juga setelah dua jam menghilang, sehingga saya mencarinya kemana-mana. Begitu saya kembali ke tenda saya lagi, anak ini tahu-tahu sudah ada di dalam. Dia bercerita ada gadis yang menolongnya. Gadis yang diceritakannya itu mungkin langsung kembali ke tendanya sendiri setelah mengantar anak saya.”
“Kakak ini baik sekali,” seru anak itu. “Tapi dia kasihan, perutnya besar dan pasti berat sekali.”
“Mungkin yang anak saya maksud, wanita itu sedang hamil. Mungkin anda bisa mencarinya di klinik kesehatan.”
“Ah ya, terima kasih, Bu. Dan kamu juga, terima kasih ya, Nak.” Aku berkata sambil mengelus kepala anak lelaki yang menyelamatkan hariku itu.
Bergegas, aku segera mencari klinik kesehatan khusus pengungsi. Aku terkesiap. Aku tersenyum sendiri, menyadari kebodohanku. Klinik! Kenapa tidak terpikir olehku dari tadi? Aku mengumpat dalam hati.
Di klinik pasti ada nama-nama pasien yang pernah berkunjung ke sana. Setidaknya aku bisa mengecek terlebih dahulu, apakah Fathya pernah berkunjung ke klinik atau belum.
Klinik kesehatan yang kucari cukup mencolok dengan tanda palang merah di salah satu dindingnya. Suasana klinik tak begitu ramai. Hanya ada 3-4 orang yang menjadi pasien pagi itu. Aku menyapukan pandangan, berharap melihat Fathya di situ, tapi sosok yang mirip ia tak ada. Harapanku sedikit pudar, namun aku bergegas menuju petugas administrasi dan menanyakan perihal Fathya padanya. “Oh, pasien yang bernama Fathya sedang diperiksa di dalam. Mungkin anda bisa menemuinya setelah pemeriksaan.” Aku mengangguk, dan segera duduk di kursi panjang tempat para pasien menunggu giliran.
Selama menunggu, pikiranku pun langsung berusaha menganalisis apa yang terjadi. Aku tak menyangka bahwa Fathya sedang hamil. Ibunya tak menceritakan apapun tentang itu. Saat kuberitahu bahwa jika aku menemukan Fathya, aku mungkin bisa mempertemukan mereka. Tapi wanita itu malah menggeleng sedih dan menyuruhku hanya mengantar kotak itu. Aku hanya berharap, menemukan Fathya bisa menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi pada ibu dan anak itu.
Tak lama kemudian, sosok ibu muda muncul dari balik pintu. Aku terpana. Aku seratus persen meyakini, wanita itu Fathya, karena ia begitu mirip dengan foto yang aku genggam. Melihat wanita muda yang begitu rapuh, dengan wajah letih, dan kehamilan yang mungkin hanya akan menunggu hari. Aku langsung menyambutnya. “Maaf, anda yang bernama Fathya? Saya ingin bicara.”
Fathya menatapku sedikit curiga, namun kemudian ia mengangguk dan mau duduk di sampingku.
“Ada apa?”
“Saya bertemu ibu anda.”
“Ibu?” Nada suara Fathya jelas-jelas keheranan. Namun dia tak menunjukkan rasa tertarik, yang membuatku semakin heran. Apa dia tak ingin bertemu ibunya?
“Ya, ibu anda ada di pengungsian di tempat saya bekerja. Setengah jam dari sini, lewat udara.”
“Itu saja yang ingin anda sampaikan?”
Aku melongo. Tak menyangka sambutan Fathya akan sedingin itu. “Saya sudah ditunggu suami saya,” kata Fathya, sambil beranjak meninggalkanku.
“Tunggu! Anda tidak mau bertemu ibu anda? Sebentar lagi helikopter akan berangkat ke pengungsian saya. Saya bisa membawa anda pada ibu anda.”
“Aneh sekali. Ibu saya membenci saya, Tuan. Dia membenci saya semenjak saya hamil di luar nikah dengan pria yang tak ia setujui. Semenjak dia mengusir saya, dia tak pernah menghiraukan saya.” Fathya bercerita dengan wajah yang keras.
“Ibu anda berkata, dia terpisah dari anda saat pasukan perdamaian datang,” sahutku.
“Ya, hari itu saya melihat ia di halaman rumah saya. Tapi dia hanya terpaku di luar sana. Saat saya menyuruh suami saya saja untuk menemuinya, saat itu ada perintah untuk mengungsi.”
“Beliau menyuruh saya menyerahkan ini,” kataku. Aku mengeluarkan kotak kayu yang menjadi inti permasalahan, yang membuatku kesana-kemari seharian itu.
“Apa ini?” Fathya tertegun. Aku menggeleng. “Silakan anda yang buka.” Dengan cepat, ia membuka kotak itu. Aku merasakan jantungku berdebar kencang saat akhirnya kotak itu tak lagi tertutup.
Fathya mengeluarkan sebuah kertas yang terbungkus cukup rapi. Melihat kertas itu cukup tebal, aku menasihati Fathya untuk hati-hati saat membukanya. Kertas itu tak hanya sebuah kertas yang terlipat, pasti ada isi di dalamnya.
Satu demi satu lipatan kertas dibuka perlahan. Dan ketika akhirnya lipatan terakhir terbuka, terlihatlah wujud benda yang ingin disampaikan sang iu kepada anaknya.
“Emas,” kataku, dengan nafas tertahan. Aku langsung tak habis pikir betapa ibu itu mempertaruhkan resiko untuk mempercayaiku. Aku bisa saja membuka isinya, mengambil semua emasnya. Namun, wanita itu tak punya pilihan, karena ia tak berani menemui anaknya sendiri setelah ia mengusirnya.
“Perhiasan yang diberikan ayah saat melamar ibu,” ucap Fathya, dengan terbata-bata. Cincin, kalung, dan anting-anting yang cantik tampak di sana.
“Ada tulisan di kertas itu,” kataku. Fathya segera memasukkan emas milik ibunya ke kotak kayu dan membacakan kalimat pendek yang ada di kertas itu. “Ibu merestuimu, Nak. Maafkan ibu.” Fathya tak mampu membendung tangisannya.
“Selalu ada kesempatan untuk hal yang baik,” kataku pada Fathya. “Anda tahu, apa yang harus anda lakukan.”
Fathya mengangguk. “Aku pun sudah merindukannya. Beri saya dan suami saya waktu sebentar untuk bersiap-siap.”
Aku mengangguk pada gadis muda itu. “Pasti. Saya tunggu di dekat landasan helikopter.”
Aku tersenyum lebar melihat punggung Fathya yang menjauh, berjalan dengan semangat menuju tendanya karena membawa kabar baik yang selama ini mungkin ditunggunya. Hatiku mendadak diisi perasaan hangat yang hanya muncul saat kita ternyata bisa membantu orang lain meraih kebahagiaannya.
Misi selesai, bisikku pada diriku sendiri, sambil melangkah menuju landasan helikopter.