Miscellaneous

Rumah

Wanita itu beringsut, mendekapkan lutut ke dada. Ia memeluknya erat, karena dingin sudah menusuk segala sendinya. Lehernya makin lama makin menunduk, dalam lamunan teringat kamar miliknya yang dulu, yang begitu hangat.

Sudah dua windu, wanita itu berhitung di kepalanya. Sudah selama itu ia harus jauh dari satu-satunya tempat yang pernah ia tinggali, tempat yang disebutnya rumah. Sebelumnya, tak pernah ia harus jauh dari kampung halamannya.

Tidak pernah sejauh ini.

Tidak pernah selama ini.

Bahkan di tempat yang merupakan rumah barunya ini, ia tak pernah bisa kerasan. Ia tak jua terbiasa. Hatinya, jiwanya, mutlak dimiliki dan hanya ada pada rumah lamanya.

Dingin, wanita itu menggigil. Tak ada selimut. Hanya tikar tipis yang menjadi penghalang tubuh ringkihnya dengan lantai. Wanita itu merapatkan punggungnya pada dinding penjara yang mengungkung raga. Di lantai sudah tak ada ruang kosong untuk semua penghuninya.

Lututnya ia peluk erat-erat. Kelopak mata ia turunkan, rapat-rapat. Bersama dengkur belasan orang lainnya, wanita itu tertidur jua.

Miscellaneous

HINA?

Kadangkala, orang tidak melihat ke dalam dirinya sendiri, dan dengan mudahnya mengupas tuntas aib orang lain. Memakan bangkai saudara sendiri seperti bukan sesuatu yang tak perlu ditakuti. Mudah memang menunjuk orang lain dan menuding kesalahan-kesalahannya, sementara diri sendiri tak benar-benar lebih baik daripada yang dihina.

Aku merenung, menatap layar blackberry-ku lama. Beberapa blackberry messenger masuk, semua isinya berbeda bungkusnya namun sama substansinya: Tuduhan. Tudingan. Pertanyaan. Kecurigaan.

Aku hanya diam membaca satu per satu pesan yang masuk.
“Kamu akrab sama Nanda?”
“Kok kamu bisa jalan sama dia?”
“Ya ampun, itu betul kamu sama Nanda?”
“Bukannya dia sering ke klub malam?”
“Dia merokok kan sekarang?”
“Lihat rambutnya yang merah. Lihat rok pendeknya. Lihat belahan dadanya.” 

Aku menghembuskan nafas, mengeluarkan beban yang terasa menyakitkan di dada. Aku tak menyangka, memasang fotoku berdua dengannya sebagai display picture menimbulkan reaksi sehebat itu. Semua menudingku, telah bergaul dengan wanita yang hina.

Kalian tahu apa? Aku membatin, marah. Sungguh tak adil, orang menuduh dengan gampang, sementara mereka tak benar-benar tahu asal-muasalnya.

Semua orang melihat Nanda dari apa yang Nanda citrakan saja. Aku tak menampik, benar Nanda kadang ke klub malam. Kadang, ia seruput minuman memabukkan. Benar juga Nanda merokok. Pakaiannya juga tak seronok. Kemana-mana dengan mobil jazz putih milik suaminya, ia nampaknya hidup berfoya-foya. Tak terlihat mengurusi anak atau suaminya. Sementara isu perceraiannya santer terdengar di penjuru kota kami yang kecil. Semua menyalahkan Nanda.

Yang sampai di telingaku tak ada kebaikan tentang Nanda. Dia wanita nakal, berlaku seperti wanita penggoda.

Tapi, tak ada yang tahu penderitaan Nanda. Di sebuah kafe tempat kami berjanji temu, Nanda menceritakan semuanya. Kepiluan hatinya. Derita batinnya.

“Aku ini dilihat orang hanya senang-senang saja maunya,” tuturnya. “Tapi mereka tak tahu apa-apa, kerjaannya cuma bisa menuduh dan menuduh. Padahal aku tak minta sepeser uang dari mereka. Menghidupi aku saja tidak.”
“Kerjaan suamiku selama aku tak ada, orang tak tahu! Ya, dia selingkuh! Selingkuhannya itu malah balik menuduhku macam-macam, kau tahu? Dasar dia memang jalang!” makinya.
“Sepeser pun laki-laki itu tak mau keluar duit untuk urus anak kami. Bapakku yang selama ini menghidupi anakku, yang bayar sekolahnya, yang kasih makan, antar jemput, semua serba dari Bapak! Sementara suamiku itu menghabiskan uang untuk selingkuhannya! Jika aku minta tolong dia urus anaknya sebentar saja, dia malah bilang aku istri tak becus!”
Nanda mematikan rokoknya dengan tekanan yang berlebihan. Menyalurkan emosi terpendamnya selama ini. “Aku sudah minta cerai, tapi dia cuma diam. Pernikahan ini benar-benar tak ada gunanya. Suami, istri, dan anak, tak lagi serumah. Suami kemana, istri kemana, anak kemana.”

Lalu ia menggumam,”Aku benar-benar stres, tapi ya sudahlah, aku tak mau terlalu memikirkannya, aku takut jadi gila.”
“Tapi, bagaimana kamu melewatinya? Tak mungkin kamu tak kepikiran kan? Bagaimanapun, hatimu pasti sakit juga,” kataku setelah hanya mendengar sekian lama.
“Makanya aku pergi kemana saja yang aku suka. Mal. Karaoke. Kafe. Dugem. Salon. Mabuk. Jalan. Rokok. Semua itu yang membuat aku senang. Aku perlu pengalihan perhatian. Biar sajalah orang menyebutku wanita nakal. Lacur. Terserah! Tapi kamu harus tahu, aku tak pernah selingkuh, aku tak pernah membalas perbuatan suamiku dengan tidur bersama lelaki lain. Segilanya aku, aku masih ingat bahwa aku ini seorang istri. Dua tahun aku sudah seperti ini. Dua tahun! Kalau saja orang-orang tahu…”

Tapi tak ada yang tahu. Yang orang tahu, hanya Nanda, wanita nakal yang tak taat pada suami.

Padahal, aku ingin sekali mengutarakan padanya, semua kesenangan yang ia sebut itu kesenangan semu dan palsu. Tak membawanya pada solusi dari permasalahannya. Tak membuatnya terobati duka hatinya. Semua itu hanya membuatnya lupa, sekejap. Untuk kemudian jika semua itu hilang, ia akan kembali merasakan kekosongan. Kesedihannya hanya ia letakkan di tempat lain di gelap hatinya, tapi tak membuat kesedihan itu benar-benar hilang. Ia masih ada.

Tapi semua kata-kataku kuhentikan tepat di ujung lidah, karena air mata Nanda yang tiba-tiba turun. Pencitraannya yang luntur. Kesenangan semu yang selama ini hanya tameng kesedihannya. Semua yang ia lakukan, selama ini, tak lain hanya mengisi kehampaan yang dirasakannya, kehampaan tak berdasar yang terus-menerus, sehingga bagaimanapun ia mengisinya, tetap saja semuanya jatuh ke lubang tanpa dasar.

Dan di sini, aku hanya menatap layar blackberry-ku. Hati ini dingin kurasakan, saat berbagai tuduhan untuk Nanda kuhapus begitu saja. Tak perlu kubalas mereka, karena apapun yang kubela bagi Nanda, takkan ada yang percaya.

Air mataku tak terasa turun perlahan. Entah untuk siapa air mataku kutujukan. Pada yang dihina, atau yang menghinakan.