Miscellaneous

Rumah

Wanita itu beringsut, mendekapkan lutut ke dada. Ia memeluknya erat, karena dingin sudah menusuk segala sendinya. Lehernya makin lama makin menunduk, dalam lamunan teringat kamar miliknya yang dulu, yang begitu hangat.

Sudah dua windu, wanita itu berhitung di kepalanya. Sudah selama itu ia harus jauh dari satu-satunya tempat yang pernah ia tinggali, tempat yang disebutnya rumah. Sebelumnya, tak pernah ia harus jauh dari kampung halamannya.

Tidak pernah sejauh ini.

Tidak pernah selama ini.

Bahkan di tempat yang merupakan rumah barunya ini, ia tak pernah bisa kerasan. Ia tak jua terbiasa. Hatinya, jiwanya, mutlak dimiliki dan hanya ada pada rumah lamanya.

Dingin, wanita itu menggigil. Tak ada selimut. Hanya tikar tipis yang menjadi penghalang tubuh ringkihnya dengan lantai. Wanita itu merapatkan punggungnya pada dinding penjara yang mengungkung raga. Di lantai sudah tak ada ruang kosong untuk semua penghuninya.

Lututnya ia peluk erat-erat. Kelopak mata ia turunkan, rapat-rapat. Bersama dengkur belasan orang lainnya, wanita itu tertidur jua.