Miscellaneous

David vs. Goliath

Keberadaan meja yang memisahkan antara aku dengan sosok di depanku patut disyukuri. Meja itu menghalangiku untuk langsung menerkam sang tamu yang kupanggil hari ini.

“Seharusnya kamu ini lebih berhati-hati!” Aku menggeram. Agus, orang yang sedang kumarahi di depanku melihatku dengan tak senang. Aku menyuruhnya datang untuk kumarahi. Tapi tindakannya kali ini berlebihan, kekanak-kanakan, hampir mencelakakan kami semua.

“Mending kamu bakar saja sekalian kami ini, satu desa, sampai mati. Yang kamu lakukan ini, sama saja dengan membunuh kami semua, pelan-pelan.” Aku mengomel lagi. Kata ‘pelan-pelan’ aku tekankan betul di ujung kalimat. Aku sedang tak ingin membiarkan Agus berkesempatan membalas kata-kataku. Kutumpahruahkan dulu kemarahanku, kejengkelanku, pada pemuda itu, biar aku lega. “Lagian, kalau kamu mau menjelek-jelekkan pejabat, mending nggak usah bawa-bawa nama desa, suku, etnis, atau apapun itu! Ini pakai mengatasnamakan kami semua! Kamu pikir sejak kapan suara kamu mewakili satu kaum, hah? Kamu ngerasa diangkat jadi nabi?!” Aku mencecarnya lagi.

Agus menunduk, menggumamkan sesuatu yang masih bisa kutangkap. Ia tahu pasti, ia memang salah. Tulisannya kali ini memang sengaja untuk menuai kontroversi. Untunglah, sebelum terbit, rekan Agus melaporkan dulu padaku. Agus sudah sering membawa masalah baru karena tulisan-tulisannya.  “Setidaknya aku melakukan sesuatu,” ucapnya membela diri.

“Jadi menurutmu kami tidak melakukan apa-apa, begitu?” Cepat kusambar kalimatnya itu. “Kamu pikir usaha hukum yang saya dan teman-teman lakukan itu bukan usaha?”

Wajah Agus berubah ekspresinya. Sebelah senyumnya terangkat. Perilakunya benar-benar menjengkelkan. Ia terang-terangan meremehkanku, meremehkan segala upayaku. Aku mengatupkan gigi. Menahan nafsu setan untuk menjambak rambutnya.

Sebagai ganti, kuambil kertas-kertas yang berisi konsep artikelnya yang sejak tadi sudah di mejaku. Dengan melampiaskan seluruh kejengkelan, kurobek-robek kertas-kertas itu. Mesin penghancur kertas di samping mejaku kemudian menerima serpihan kertas dariku dengan senang hati. Mata Agus membulat, rahangnya mengeras. Tapi dia tak berucap meski sepatah kata.

“Saya tahu kamu pasti punya file ini di laptopmu.” Aku berkata. “Tapi sekarang kamu tahu, saya berada di posisi yang bertentangan dengan kamu.”

“Kita di tujuan yang sama,” sahut Agus.

“Tapi tidak dengan caranya,” ujarku cepat. “Tidak dengan tulisan yang memanaskan suasana, apalagi berdasarkan fitnah.”

“Upaya formal tidak akan berhasil, Wan.” kata Agus dengan suara lebih menantangku kali ini. “Kita akan tetap kalah. Seperti tahun-tahun sebelumnya, upaya kita untuk banding kali ini pasti gagal. Kamu lihat siapa lawan kita? Kamu lihat siapa diri kita?”

Aku memandang Agus lebih tajam. “Jika kamu merasa kita di pihak yang benar, untuk apa kita curang? Sapu yang kotor tidak akan bisa dipakai untuk membersihkan, Gus.”

“Kamu naif.” Agus menyahutku dengan dingin. “Mentang-mentang sudah jadi ketua LSM…”

Aku tidak merasa perlu membalas Agus. Aku berdiri dari mejaku, membukakan pintu untuk mengusirnya. Semenjak kami kuliah, semenjak kami menjadi sahabat di himpunan mahasiswa, semenjak kami sama-sama berdemo di jalan, aku tahu bahwa ada yang berbeda dari kami berdua. Agus lebih suka menghalalkan segala cara. Menurutnya itu untuk membalas para orang-orang borjuis yang juga menggunakan cara yang sama kotornya. Kami boleh jadi berasal dari desa yang sama, tapi tidak dengan cara pikir kami.

“Aku wartawan, dan tugasku adalah menulis. Aku akan tetap menulis.” Agus berkata dingin. Ekspresinya mencibirku. “Ingat, kita tidak akan pernah menang. Desa kelahiran kita akan ditenggelamkan, kalah dengan perusahaan tambang itu. Aku akan tertawa melihat kamu menangis.”

Setelah berucap demikian, ia pun segera berlalu. Kupandangi Agus yang telah keluar, pergi dari kantorku dengan langkah panjang. Aku menatap Agus hingga punggungnya tak lagi terlihat. Aku iba terhadap jalan pikirnya yang sudah sedemikian tercemar.

“David pun bisa menang melawan Goliath, Gus.” Aku berbisik pada diriku sendiri sambil memejamkan mata.

Miscellaneous

Mainan Baru Laksmi

Laksmi memelintir ujung bajunya yang lusuh. Digigitnya bibir bawahnya. Kegelisahan merundungnya.

Ia hanya anak kecil yang tak tahu apa-apa. Tadinya. Ia hanya sesosok gadis desa yang tak tahu menahu tentang kehidupan di luar sawah, burung, padi, ular, pematang, orang-orangan, burung-burung, kodok, dapur, lumpur, ikan, dan serangkaian kosakata yang identik dengan pedesaan.

Laksmi hanyalah gadis yang tak tahu-menahu tentang kota dan kosakatanya. Tadinya.

Namun, semua berubah. Kini.

Laksmi kini mengenal sesuatu yang benar-benar baru. Kosakatanya bertambah. Isi kepalanya berubah. Dan baru kali ini, ia rasakan sensasi yang dulunya ia bayangkan pun tak pernah.

Tak pernah ia temukan dalam desanya, apa-apa yang diajarkan kepadanya oleh Om Rambu. Ya, Om Rambu. Om-nya, pamannya, yang baru datang dari kota. Laksmi tak ingat pernah mengenal Om Rambu-nya itu. Om Rambu, konon kata ayah Laksmi, telah merantau sejak Laksmi masih kecil sekali. “Kau baru seperti ini,” kata ayah Laksmi sambil mengangkat tangan setinggi lututnya saja. “Om Rambu sudah mencari kerja di kota sejak lama. Akhirnya dia bisa pulang juga. Sudah kaya rupanya dia.”

Laksmi hanya mengangguk-angguk kecil dan malu saat Om Rambu benar-benar muncul di rumah mereka. Om Rambu mengangkat badan Laksmi yang kurus, sambil berkata,”Wah, sudah besar kau rupanya, Nak. Dulu kau hanya segini.” Dan lagi-lagi batas lutut orang dewasa menjadi ukuran Laksmi saat itu.

Hari ini, Laksmi menunggu di ujung sawah. Di sebuah ‘bekas kali’. Disebut bekas, karena ada kali yang sudah hampir kering airnya. Ada gubuk kecil di dekatnya, yang kini sudah sepi, dan memang tak ada penghuni. Dulu, dulu sekali, kali itu merupakan tempat mandi dan cuci warga. Namun karena airnya yang semakin tahun semakin kering, jadilah warga tak pernah lagi ke sana. Tempat itu pun sunyi, sepi, dan akhirnya sering dijadikan orang-orang tua untuk menakut-nakuti anak mereka yang kecil-kecil. “Jika nakal, dibuang oleh hantu ke bekas kali!”

Laksmi menunggu Om Rambu-nya dengan tak sabar. Dia penasaran, dan ketagihan dengan Om Rambu yang kemarin memperkenalkannya dengan permainan di gubuk itu. Permainan yang membuat Laksmi melayang-layang. Merasakan sesuatu yang tak pernah ia rasakan sebelumnya. Rasa nyaman yang tak bisa Laksmi jelaskan. Sudah hitungan lima hari, Om Rambu menginap di rumah keluarga Laksmi. Kemarin, di hari keempat, Laksmi dikenalkan dengan mainan yang baru. Om Rambu menunjukkan dengan antusias.

“Baunya manis, seperti permen,” ucapnya, meyakinkan. “Tapi tak bisa untuk dimakan.”

Bau semerbak buah strawberry membuat Laksmi penasaran. Benda yang mengeluarkan aroma manis itu berbentuk seperti balon di mata polos Laksmi. Tangan kecil Laksmi bergerak ingin meminjam, tapi tangan Om Rambu menepis. “Cara mainnya bukan seperti itu. Tapi seperti ini.” Kemudian Om Rambu membuka ikat pinggangnya, menunjukkan cara memainkan permainan barunya.

Hari ini, hari kelima. Akhirnya, Om Rambu muncul. Dengan tak sabar menunjukkan balon yang baru, kali ini berwarna kekuningan. Laksmi dibiarkan membuka plastik pembungkusnya. Bau buah pisang menguar di udara. Laksmi mengendus-endus, merasa nyaman dengan aromanya. Begitu wangi, seperti buah yang sesungguhnya.

“Sudah tahu cara mainnya ‘kan, Laksmi?” Om Rambu berkata pelan. Wajah Om Rambu memerah. Matanya liar, mengerling ke badan gadis itu.

Laksmi mengangguk, meski jantungnya berdebar kencang. Ia mulai gelisah saat Om Rambu mulai membuka celana panjangnya. Dia hanya memelintir lagi dan lagi ujung bajunya yang lusuh, tanpa tahu harus berbuat apa dan bagaimana. Laksmi pasrah. Ia biarkan tubuhnya terjamah.