Miscellaneous

David vs. Goliath

Keberadaan meja yang memisahkan antara aku dengan sosok di depanku patut disyukuri. Meja itu menghalangiku untuk langsung menerkam sang tamu yang kupanggil hari ini.

“Seharusnya kamu ini lebih berhati-hati!” Aku menggeram. Agus, orang yang sedang kumarahi di depanku melihatku dengan tak senang. Aku menyuruhnya datang untuk kumarahi. Tapi tindakannya kali ini berlebihan, kekanak-kanakan, hampir mencelakakan kami semua.

“Mending kamu bakar saja sekalian kami ini, satu desa, sampai mati. Yang kamu lakukan ini, sama saja dengan membunuh kami semua, pelan-pelan.” Aku mengomel lagi. Kata ‘pelan-pelan’ aku tekankan betul di ujung kalimat. Aku sedang tak ingin membiarkan Agus berkesempatan membalas kata-kataku. Kutumpahruahkan dulu kemarahanku, kejengkelanku, pada pemuda itu, biar aku lega. “Lagian, kalau kamu mau menjelek-jelekkan pejabat, mending nggak usah bawa-bawa nama desa, suku, etnis, atau apapun itu! Ini pakai mengatasnamakan kami semua! Kamu pikir sejak kapan suara kamu mewakili satu kaum, hah? Kamu ngerasa diangkat jadi nabi?!” Aku mencecarnya lagi.

Agus menunduk, menggumamkan sesuatu yang masih bisa kutangkap. Ia tahu pasti, ia memang salah. Tulisannya kali ini memang sengaja untuk menuai kontroversi. Untunglah, sebelum terbit, rekan Agus melaporkan dulu padaku. Agus sudah sering membawa masalah baru karena tulisan-tulisannya.  “Setidaknya aku melakukan sesuatu,” ucapnya membela diri.

“Jadi menurutmu kami tidak melakukan apa-apa, begitu?” Cepat kusambar kalimatnya itu. “Kamu pikir usaha hukum yang saya dan teman-teman lakukan itu bukan usaha?”

Wajah Agus berubah ekspresinya. Sebelah senyumnya terangkat. Perilakunya benar-benar menjengkelkan. Ia terang-terangan meremehkanku, meremehkan segala upayaku. Aku mengatupkan gigi. Menahan nafsu setan untuk menjambak rambutnya.

Sebagai ganti, kuambil kertas-kertas yang berisi konsep artikelnya yang sejak tadi sudah di mejaku. Dengan melampiaskan seluruh kejengkelan, kurobek-robek kertas-kertas itu. Mesin penghancur kertas di samping mejaku kemudian menerima serpihan kertas dariku dengan senang hati. Mata Agus membulat, rahangnya mengeras. Tapi dia tak berucap meski sepatah kata.

“Saya tahu kamu pasti punya file ini di laptopmu.” Aku berkata. “Tapi sekarang kamu tahu, saya berada di posisi yang bertentangan dengan kamu.”

“Kita di tujuan yang sama,” sahut Agus.

“Tapi tidak dengan caranya,” ujarku cepat. “Tidak dengan tulisan yang memanaskan suasana, apalagi berdasarkan fitnah.”

“Upaya formal tidak akan berhasil, Wan.” kata Agus dengan suara lebih menantangku kali ini. “Kita akan tetap kalah. Seperti tahun-tahun sebelumnya, upaya kita untuk banding kali ini pasti gagal. Kamu lihat siapa lawan kita? Kamu lihat siapa diri kita?”

Aku memandang Agus lebih tajam. “Jika kamu merasa kita di pihak yang benar, untuk apa kita curang? Sapu yang kotor tidak akan bisa dipakai untuk membersihkan, Gus.”

“Kamu naif.” Agus menyahutku dengan dingin. “Mentang-mentang sudah jadi ketua LSM…”

Aku tidak merasa perlu membalas Agus. Aku berdiri dari mejaku, membukakan pintu untuk mengusirnya. Semenjak kami kuliah, semenjak kami menjadi sahabat di himpunan mahasiswa, semenjak kami sama-sama berdemo di jalan, aku tahu bahwa ada yang berbeda dari kami berdua. Agus lebih suka menghalalkan segala cara. Menurutnya itu untuk membalas para orang-orang borjuis yang juga menggunakan cara yang sama kotornya. Kami boleh jadi berasal dari desa yang sama, tapi tidak dengan cara pikir kami.

“Aku wartawan, dan tugasku adalah menulis. Aku akan tetap menulis.” Agus berkata dingin. Ekspresinya mencibirku. “Ingat, kita tidak akan pernah menang. Desa kelahiran kita akan ditenggelamkan, kalah dengan perusahaan tambang itu. Aku akan tertawa melihat kamu menangis.”

Setelah berucap demikian, ia pun segera berlalu. Kupandangi Agus yang telah keluar, pergi dari kantorku dengan langkah panjang. Aku menatap Agus hingga punggungnya tak lagi terlihat. Aku iba terhadap jalan pikirnya yang sudah sedemikian tercemar.

“David pun bisa menang melawan Goliath, Gus.” Aku berbisik pada diriku sendiri sambil memejamkan mata.

Miscellaneous

Mainan Baru Laksmi

Laksmi memelintir ujung bajunya yang lusuh. Digigitnya bibir bawahnya. Kegelisahan merundungnya.

Ia hanya anak kecil yang tak tahu apa-apa. Tadinya. Ia hanya sesosok gadis desa yang tak tahu menahu tentang kehidupan di luar sawah, burung, padi, ular, pematang, orang-orangan, burung-burung, kodok, dapur, lumpur, ikan, dan serangkaian kosakata yang identik dengan pedesaan.

Laksmi hanyalah gadis yang tak tahu-menahu tentang kota dan kosakatanya. Tadinya.

Namun, semua berubah. Kini.

Laksmi kini mengenal sesuatu yang benar-benar baru. Kosakatanya bertambah. Isi kepalanya berubah. Dan baru kali ini, ia rasakan sensasi yang dulunya ia bayangkan pun tak pernah.

Tak pernah ia temukan dalam desanya, apa-apa yang diajarkan kepadanya oleh Om Rambu. Ya, Om Rambu. Om-nya, pamannya, yang baru datang dari kota. Laksmi tak ingat pernah mengenal Om Rambu-nya itu. Om Rambu, konon kata ayah Laksmi, telah merantau sejak Laksmi masih kecil sekali. “Kau baru seperti ini,” kata ayah Laksmi sambil mengangkat tangan setinggi lututnya saja. “Om Rambu sudah mencari kerja di kota sejak lama. Akhirnya dia bisa pulang juga. Sudah kaya rupanya dia.”

Laksmi hanya mengangguk-angguk kecil dan malu saat Om Rambu benar-benar muncul di rumah mereka. Om Rambu mengangkat badan Laksmi yang kurus, sambil berkata,”Wah, sudah besar kau rupanya, Nak. Dulu kau hanya segini.” Dan lagi-lagi batas lutut orang dewasa menjadi ukuran Laksmi saat itu.

Hari ini, Laksmi menunggu di ujung sawah. Di sebuah ‘bekas kali’. Disebut bekas, karena ada kali yang sudah hampir kering airnya. Ada gubuk kecil di dekatnya, yang kini sudah sepi, dan memang tak ada penghuni. Dulu, dulu sekali, kali itu merupakan tempat mandi dan cuci warga. Namun karena airnya yang semakin tahun semakin kering, jadilah warga tak pernah lagi ke sana. Tempat itu pun sunyi, sepi, dan akhirnya sering dijadikan orang-orang tua untuk menakut-nakuti anak mereka yang kecil-kecil. “Jika nakal, dibuang oleh hantu ke bekas kali!”

Laksmi menunggu Om Rambu-nya dengan tak sabar. Dia penasaran, dan ketagihan dengan Om Rambu yang kemarin memperkenalkannya dengan permainan di gubuk itu. Permainan yang membuat Laksmi melayang-layang. Merasakan sesuatu yang tak pernah ia rasakan sebelumnya. Rasa nyaman yang tak bisa Laksmi jelaskan. Sudah hitungan lima hari, Om Rambu menginap di rumah keluarga Laksmi. Kemarin, di hari keempat, Laksmi dikenalkan dengan mainan yang baru. Om Rambu menunjukkan dengan antusias.

“Baunya manis, seperti permen,” ucapnya, meyakinkan. “Tapi tak bisa untuk dimakan.”

Bau semerbak buah strawberry membuat Laksmi penasaran. Benda yang mengeluarkan aroma manis itu berbentuk seperti balon di mata polos Laksmi. Tangan kecil Laksmi bergerak ingin meminjam, tapi tangan Om Rambu menepis. “Cara mainnya bukan seperti itu. Tapi seperti ini.” Kemudian Om Rambu membuka ikat pinggangnya, menunjukkan cara memainkan permainan barunya.

Hari ini, hari kelima. Akhirnya, Om Rambu muncul. Dengan tak sabar menunjukkan balon yang baru, kali ini berwarna kekuningan. Laksmi dibiarkan membuka plastik pembungkusnya. Bau buah pisang menguar di udara. Laksmi mengendus-endus, merasa nyaman dengan aromanya. Begitu wangi, seperti buah yang sesungguhnya.

“Sudah tahu cara mainnya ‘kan, Laksmi?” Om Rambu berkata pelan. Wajah Om Rambu memerah. Matanya liar, mengerling ke badan gadis itu.

Laksmi mengangguk, meski jantungnya berdebar kencang. Ia mulai gelisah saat Om Rambu mulai membuka celana panjangnya. Dia hanya memelintir lagi dan lagi ujung bajunya yang lusuh, tanpa tahu harus berbuat apa dan bagaimana. Laksmi pasrah. Ia biarkan tubuhnya terjamah.

Miscellaneous

ULIN

Ini masalah pribadi, bisiknya padaku.

Aku melihat tangannya yang gelisah, menggenggam dan meremas erat satu sama lain. Saat bicara bibirnya gemetaran, keringat dingin berbulir-bulir terlihat di dahinya. Namun ia nampaknya tak sadar dengan kondisi fisiknya yang nyata-nyata menampakkan suasana hatinya. Pikirannya yang sedang kacau. Entah karena apa.

Aku hanya menaikkan alis, ingin menenangkannya, tapi aku sendiri tak tahu harus berucap atau berlaku seperti apa. Aku takut salah bicara. Bagaimana kalau ia makin gelisah karena merasa dikasihani? Bagaimana kalau ia justru kehilangan keinginan untuk bicara karena salah ucapku? Aku tak mau terjadi apa-apa padanya. Sama sekali tak ingin.

Ulin, nama gadis itu. Ya, nama itu juga terdengar aneh di telingaku pada awalnya. Namun kemudian ia menjelaskan padaku, mengapa ia punya nama tak biasa di tengah kepungan zaman modern dimana nama-nama anak sekarang lebih kebarat-baratan, atau kearab-araban.

“Aku dari suku Dayak Kenyah,” ucapnya dulu.

Seorang gadis lugu, dari kampung di pedalaman Kalimantan. Sungguh menarik. Itulah yang pertama terlintas di pikiranku saat pertama mengenal Ulin.

Bahkan jika aku tak mempunyai istri dan tiga anak, mungkin Ulin sudah kuperistri juga. Kecantikannya khas gadis Dayak Kenyah: kulit putih, mata sipit, ramput panjang hitam lurus, dengan bibir tipis merah muda yang menggoda lelaki sepertiku. Sempat kumengira ia Cina, melihat dari kulit putih pucatnya dan mata sipitnya yang hampir tak berkelopak. Namun belakangan barulah aku tahu, bahwa konon katanya nenek moyang beberapa suku Dayak memanglah berasal dari Cina.

Ulin, bahkan di tengah kegelisahan yang melandanya, masih terlihat cantik rupawan. Namun, aku berusaha keras tak menunjukkan kekagumanku, pun naluri laki-laki yang tergelitik melihat gadis yang sedang rapuh ini.

Ulin tak jua langsung bicara. Ekspresi gelisahnya berubah. Aku sadar bahwa ia sedang menahan air matanya agar tidak tumpah.

“Sebenarnya…ada apa?” Akhirnya kuberanikan diri bertanya.

“Saya…saya bingung. Harus mengadu pada siapa…” kata Ulin, setelah mengambil jeda sekian detik. “Masalah saya sangat…sulit.”

Aku memandang Ulin, jauh melewati fisiknya, mencoba membaca pikirannya.

“Ada masalah dengan majikanmu?” tanyaku perlahan.

Ulin mengangguk, diam.

Aku tersentak. Selintas pemikiran merasuk begitu saja. Bisa kuterka penyebab Ulin begitu gelisah. Begitu ketakutan.

“Sudah berapa bulan?” tanyaku, langsung.

Giliran Ulin yang tersentak. Ia tak menyangka aku akan langsung pada inti permasalahan. Ia menundukkan wajah, seakan dengan begitu ia bisa menyembunyikan aibnya yang baru saja kubongkar. “Tiga bulan,” bisiknya, nyaris tak terdengar.

“Kamu mau aku bantu untuk menggugurkan?” tanyaku lagi, kini tanpa basa-basi.

Sunyi. Ulin tak menjawab. Ia masih menunduk, namun tangannya mengelus perutnya yang dalam enam bulan kedepan akan berwujud menjadi anak manusia jika tak digugurkan segera.

“Apa kamu mau memeliharanya?” Aku terus bertanya. Aku merasa sedikit bersalah, terlalu mendesak Ulin. Namun Ulin takkan bicara kalau terus-menerus ditunggu.

“Itulah, Mas. Saya…tak tega membunuhnya. Dia tak berdosa. Tapi…kalau harus menambah satu tanggungan lagi, apalagi seorang bayi, saya rasa…saya tak sanggup…”

Dilema. Itulah yang dirasakan Ulin sekarang. Belum genap 20 tahun umurnya, dan masalah yang harus ditanggungnya begitu pelik. Namun bagaimanapun, aku turut bertanggung jawab dalam kehidupan yang Ulin jalani saat ini.

“Keluargamu di kampung sudah tahu tentang ini?”

Ulin menggeleng. “Saya belum berani mengabari. Saya juga bingung, karena saya harus terus mengirim uang untuk mereka. Karena keadaan ini, saya sudah kehilangan pekerjaan. Kalau saya tak mengirim uang, mereka pasti bingung, mereka pasti bertanya-tanya…”

“Berarti majikanmu sudah memecatmu?”

Anggukan kuterima dari Ulin, membuatku berang.

“Dasar majikan brengsek. Tak tahu diuntung. Tak bertanggung jawab.” Aku berucap tanpa sadar. Namun kemudian sebuah pikiran muncul, apa yang membuatku marah? Rasa simpati pada Ulin? Atau justru iri pada sang majikan yang sudah lebih dulu menggarap tubuh Ulin, padahal aku lebih dulu mengenal gadis ini? Entahlah. Segera kusingkirkan pikiran anehku, dan kembali fokus pada masalah Ulin. Hanya satu solusi yang bisa kutawarkan pada gadis itu, entah dia mau menerimanya atau tidak.

“Begini, Lin. Saranku hanya satu, aborsi.”

Ulin mengangkat wajah, memandangku seakan aku manusia kejam, karena mengatakan hal tersebut dengan nada dingin. Namun, aku sudah menangani puluhan kasus seperti Ulin. Tak ada jalan lain yang lebih masuk akal daripada ini.

“Lin, lihat situasinya. Kamu ingin tetap hidup, ya kan? Masih ingin bekerja untuk menghidupi keluargamu di Indonesia kan? Jadi, gugurkan bayi itu, dan akan kucarikan kamu majikan baru.”

“Tapi, Mas…apa tidak bisa sambil memelihara bayi ini?”

Aku menggeleng tegas. “Aku sudah bertahun-tahun jadi penyalur pembantu rumah tangga. Kecil kemungkinan mendapat majikan yang mau menerima pembantu yang membawa anak.”

“Jadi, gugurkan bayi itu, dan lupakan masalah ini. Atau, kamu mau dideportasi ke Indonesia, hidup di kampung sambil membawa anak yang tak punya bapak? Kamu akan dicemooh, Lin. Hidupmu akan menderita. Atau kamu bisa melanjutkan hidupmu di sini, bekerja, dan mengirim uang ke kampung halaman, seperti tak terjadi apapun.”

“Pilihan ada padamu, Lin.” Aku kali ini mendesak Ulin. Hanya ini bantuan yang bisa kuberikan padanya.

“Besok, ajak aku ke klinik aborsi,” ucap Ulin.

Pilihan telah dijatuhkan. Solusi sudah didapatkan. Tapi mendung masih menggelayut di wajah Ulin. Dan butir-butir kristal air mata itu jatuh perlahan di pangkuannya.

 

 

Miscellaneous

Anak Lelaki yang Tangannya Buntung

Anak lelaki yang tangannya buntung itu mungkin telah lupa apa yang menyebabkan tangan kanannya putus hingga siku. Pasalnya, anak lelaki itu kini sudah tak lagi waras. Akal pikirnya sudah tak berfungsi normal. Mungkin, mungkin karena terpukul saat kehilangan tangan kanannya.

Meski gila, anak lelaki yang mulai beranjak dewasa itu tak diapa-apakan oleh warga kampung di pinggir bendungan kota itu. Tak ada yang mengganggunya. Tapi tak ada pula yang mengurusinya. Anak lelaki itu dibiarkan saja, mungkin, mungkin sebagai perwujudan rasa bersalah para warga. Mungkin juga, sebagai pengingat, semacam monumen hidup, pada warga kampung itu, atas dosa mereka pada si anak.

Telah tiga tahun, si anak lelaki yang tangannya buntung berkeliaran di kampung itu. Meski disebut kampung, tempat si anak lelaki itu bermukim adalah sebuah pemukiman kumuh yang terletak di kota besar. Para warga urban yang pertama-tama datang menancapkan tiang pancang rumah mereka ke sepetak tanah tak bertuan yang letaknya hanya sejengkal dari kali.

Seiring waktu yang terus berjalan, 5 rumah sangat sederhana, berubah menjadi hampir 50 kepala keluarga. Kesemuanya berdiam, beranak pinak, menambah populasi, mempertinggi dan memperlebar rumah mereka masing-masing secara horizontal. Membuat pemukiman baru yang oleh pemerintah disebut perkampungan kumuh. Mengganggu pemandangan kota, mengotori sungai di sekitarnya, seperti sebuah duri dalam daging yang tak penting. Kampung kumuh itu seperti komunitas sendiri yang tak terjamah.

Kembali ke anak lelaki yang tangannya buntung. Anak itu memang bukan anak siapa-siapa. Ia punya seorang ayah tiri yang sering hilang akal karena mabuk. Itu pun, sang ayah tiri sering tak mengurusinya. Ketika bertemu, ayah tiri yang kejam melampiaskan kekecewaannya terhadap hidup pada anaknya itu. Selain sang ayah tiri, tak ada yang mengaku menjadi sanak saudara, atau keluarga. Namun, sebelum tangannya buntung dan kewarasannya pudar, ia telah dimiliki oleh sebuah sindikat.  Anak itu dipekerjakan sebagai pencuri.  Yang ia lakukan tak lain sebagai balas budi karena telah memberikannya penghidupan. Anak itu hanya butuh makan. Makan untuk terus bertahan hidup. Antara tahu dan tidak, mengerti dan tidak, bahwa pencuri adalah perbuatan hina, ia toh tetap harus melakukannya. Hidup memaksanya. Hidup menggilasnya.

Tapi begitulah, perbuatannya mencuri tak selalu mulus dan tak ketahuan. Saat tertangkap tangan mencopet, anak lelaki itu segera ditangkap warga. Anak itu segera dibawa ke rumahnya, ke hadapan ayah tirinya yang murka. Ramai-ramai warga yang menangkapnya dan warga kampungnya berkerumun di rumah kecil itu.

Beberapa warga yang mungkin kekurangan hiburan, mulai menyuruh dan memprovokasi, menghukum anak lelaki itu.
“Kecil-kecil sudah pandai mencuri! Kalau sudah besar nanti, bisa jadi penjahat tengik!”
“Kalau bukan anak kecil, sudah kita hajar ramai-ramai, sampai mati kalau perlu!”
“Dasar pencuri! Orangtuanya tak bisa mendidik anak!”
Dan berbagai hujatan dikeluarkan oleh mulut warga. Tajam. Menyakitkan hati. Terutama bagi ayah tiri si anak lelaki pencuri. Ia sebenarnya tak begitu peduli jika anaknya pencuri ulung sekalipun. Tapi ia tak rela dipermalukan. Ia tak mau dilibatkan. Dan kini ia dituduh tak bisa mendidik anak. Meski tuduhan itu benar adanya.

Wajahnya memerah karena malu, marah, dan karena pengaruh alkohol yang ditenggaknya. Warga menuntut anak lelakinya dihukum. Warga ingin melihat pria kasar itu menghukum anaknya di hadapan mereka. Seakan mereka lupa, bahwa anak itu hanya seorang anak. Mungkin mereka hanya kurang hiburan.

“Tak perlu polisi. Biar kuhukum anak ini dengan tanganku sendiri!” Si ayah tiri akhirnya memutuskan.
Kemudian, anak lelakinya yang kurus dan berbadan kecil dipanggulnya. Anak itu berontak, tapi tak berdaya apa-apa. Warga yang penasaran mengikuti dari belakang ingin mengetahui, hukuman macam apa yang akan dijatuhkan oleh sang ayah tiri.

Langkah-langkah manusia itu berderak, di atas bebatuan. Rel kereta api adalah tujuannya. Lelaki itu menurunkan tubuh anaknya, mencengkeramnya begitu kuat. Anak lelaki itu tak punya celah untuk lari. Sementara dari kejauhan kereta api semakin terlihat. Suaranya terdengar garang, besi berdentang. Tanpa menggunakan kewarasannya, diletakkannya tangan anak lelakinya ke rel kereta api. Itulah, saat eksekusi dijatuhkan pada anak lelaki yang malang itu. Warga hanya menonton. Mungkin mereka hanya kurang hiburan.

Semenjak kehilangan tangan, anak itu terguncang jiwanya. Shock yang hebat melandanya, akibat kejadian yang luar biasa mengerikan itu. Sementara sang ayah tiri yang menjatuhkan hukuman potong tangan, kini harus menerima balasan di balik sel yang dingin. Perbuatannya menganiaya anaknya ditukar dengan kebebasannya. Meski hal itu sesungguhnya tak sepadan. Anak lelaki itu tak akan mendapat tangannya kembali. Sementara, kewarasannya yang hilang juga tak pulih.

Semenjak itu, anak lelaki yang tangannya buntung itu hanya berkeliaran tanpa arah di sekitar kampung. Tak ada warga yang mau mengusik juga mengurusi. Rasa bersalah sebenarnya bersemayam di hati mereka. Namun tak ada yang mengakui. Mereka semua, mendadak menjadi polisi norma yang membenarkan perbuatan mereka, pencuri memang sebaiknya dipotong tangannya.

Ya, mungkin, mungkin mereka hanya kekurangan hiburan semata.

Miscellaneous

Demi Aspirasi

Siang itu panas menyengat. Hari terlampau cerah sehingga tak terlihat awan mengisi langit. Hanya ada langit biru dan matahari yang panasnya menantang. Namun segerombolan manusia itu tetap saja belum beranjak dari tempat mereka selama sejam terakhir. Suasana mencekam karena orang-orang itu bertindak bak hewan buas. Mereka berteriak, mengejar, melecut, berlari, merusak, melindas, siapapun atau apapun. Segerombolan manusia itu tak datang untuk duduk manis belaka.

Tikno sendiri sudah setengah jam ikut berteriak-teriak. Keringat mengucur dari dahinya karena panas matahari yang membakar ditambah lagi dengan aksinya barusan. Namun ia tak patah arang menggerakkan massa. Setidaknya itulah yang sedang ia pikirkan saat sedetik kemudian suara teriakan salah seorang dari kelompoknya berteriak kencang.

“Polisiii!”

Otomatis, mereka semua kocar-kacir. Kumpulan manusia yang kebanyakan laki-laki dewasa itu kini lari tunggang-langgang. Berkebalikan sekali dengan wajah garang mereka beberapa menit lalu.

Karena sedang berada di atas mobil yang sedang terguling, Tikno tak serta-merta bisa kabur begitu saja. Ia serta dua orang temannya yang juga berada di atas mobil, langsung panik. Mereka berebutan untuk kabur. Malangnya, menuruni badan mobil tak bisa dilakukannya dengan gesit–dan akhirnya ia menjadi sasaran empuk pentungan polisi.

“Saya tak tahu apa-apa!” Tikno berteriak berdalih, meskipun ia tahu ia takkan dipercaya.

“Mengaku sajalah!” Petugas berseragam itu berteriak sambil segera menyeret Tikno masuk ke dalam mobil.

Tikno berontak, masih berteriak kencang bahwa ia tak bersalah, bahwa ia tak tahu-menahu dengan apa yang terjadi. Namun para petugas tak percaya pada Tikno, bahkan badan kurus Tikno dilemparkan begitu saja ke mobil. Tikno pasrah pada nasib.

Sesampainya di kantor polisi, Tikno dan beberapa orang lainnya yang berhasil ditangkap kini diperiksa. Mereka semua duduk berjongkok di halaman kantor polisi, sambil didata identitasnya. Genap dua puluh orang yang berhasil diciduk. Sungguh suatu tangkapan besar. Sementara si lugu Tikno, ketakutan setengah mati. Lututnya gemetaran, tubuhnya serasa kaku sekali, tak bisa digerakkan. Seumur hidupnya tak pernah ia berhadapan apalagi berurusan dengan polisi di markasnya. Tikno melirik ke arah kamera yang kini sedang merekam wajah-wajah ‘penjahat’, termasuk dirinya. Tikno merasa dirinya benar-benar bernasib sial.

Gilirannya tiba. Tikno menunduk. Ketegangan menyelimutinya. Bayangan akan dipukul, ditendang, dan dipaksa mengaku seperti film-film yang ditontonnya menghantui benaknya.

“Nama?” tanya polisi yang sebenarnya masih terbilang muda dan tampan, tak seperti bayangan Tikno dengan badan gendut nan tambun serta berkumis tebal. Melihat polisi yang menginterogasinya tak seperti polisi dalam bayangannya, ketakutan Tikno berkurang sedikit demi sedikit. Ia merasa lebih santai, lebih rileks. Otot-ototnya yang tegang mengendur.

“Tikno, Pak.” Ia menjawab. Kelegaan terasa melingkupi suara Tikno. Ia hanya ditanya, bukan disiksa seperti imajinasinya.

Belum polisi itu bertanya lagi, Tikno sudah langsung berbicara panjang, meluncurkan kata-kata yang sedari tadi ditahannya. Ia tak kuat lagi menahannya. “Saya baru pertama kali, Pak. Ikut begini, yang seperti ini. Saya ndak tahu kalau bakal begini jadinya. Kalau saya tahu saya berurusan dengan polisi, saya nggak akan mau ikut, Pak.”

“Maksudnya, bapak bukan anggota organisasi?” tanya sang polisi.

Tikno mengangguk. Bahkan organisasi apa yang dimaksud, ia tak paham.

“Saya ini cuma pengangguran, Pak. Saya nggak ngerti apa-apa. Saya tadinya ditawari saja, Pak, itu pun baru tadi pagi. Kata Agus, tetangga saya, ada kerjaan gampang. Tinggal ikut turun ke jalan saja. Nanti dikasih amplop, begitu.”

“Kalau begitu, kenapa tadi Bapak ikut rusuh?”

“Karena semuanya rusuh, Pak. Saya cuma ikut-ikutan.” Tikno menjawab lugu. “Saya takut, kalau saya diam saja, saya batal dibayar. Jadi saya ikut arus saja.”

“Jadi, Bapak nggak tahu sebenarnya tadi demo itu untuk apa?”

Tikno menggeleng.

“Saya nggak perlu tahu, Pak. Yang penting saya dapat duitnya. Saya sudah ikut turun ke jalan. Beres.” Tikno kemudian menggapai kantong celananya, dan mengeluarkan amplop putih yang sudah terlipat-lipat. Tikno menunjukkan uang satu lembar lima puluh ribu rupiah yang ada dalam amplop tersebut. “Ini, Pak, buktinya. Bayarannya.”

Si polisi menggelengkan kepala karena miris.

Suara pintu terbuka dan seorang polisi lain memasuki ruangan. “Gimana?” tanya seorang polisi yang tiba-tiba masuk tersebut.

“Sudah beberapa orang yang ditanya. Rata-rata mereka semua dikerahkan. Mereka sendiri nggak ngerti demo itu mau menyampaikan aspirasi apa.” Si polisi muda menjawab.

“Pantas, tadi aku lihat ibu-ibu juga ikut ketangkap. Rasanya aneh ada ibu-ibu mau ikut demo anarkis begitu.”

“Mereka dibayar soalnya.” Si polisi muda menyahut datar sambil melirik Tikno yang langsung menunduk malu.

“Zaman sudah edan. Mau menyampaikan aspirasi pun juga pakai sogokan.”

Si polisi muda menggumam dan mengangguk-angguk mengiyakan. Tikno hanya bungkam. Rasanya ia seperti telanjang di hadapan semua orang. Ia merasa menanggung malu yang amat sangat, rasa malu seorang penjahat yang tertangkap basah, yang tak pernah ia rasakan sebelumnya.

Dipikirannya ia takkan pernah mau lagi diminta bantuan seperti ini lagi. Ia kapok. Sekapok-kapoknya.

Miscellaneous

Wajah-wajah

#1

Tuk, tuk, tuk!

Derap langkah kaki yang kukenal baik menggema. Suara sepatu high heels mahal miliknya menimbulkan bunyi khas di lantai keramik rumahnya. Baru pulang istriku itu dari tempat kerjanya. Aku tadinya sedang tersenyum-senyum, menonton film kesukaanku, tapi senyumku terhapus seketika karena kehadirannya. Gairahku tak lagi hidup. 

Wajah mana yang akan kutampakkan? Aku berpikir cepat. Ah, ini dia, pikirku lega, setelah beberapa detik pencarian singkat. Ada wajah memelas yang bisa kugunakan sejenak. Sebenarnya aku sangat ingin menggunakan raut wajah gembira, tapi dari langkahnya saja aku tahu istriku itu sedang tak nyaman perasaannya. Matilah aku jika ia mengira aku gembira di saat ia menderita. 

Wajah memelasku berhasil membuat ia acuh tak acuh. Ia segera masuk kamarnya. Satu hari lagi tanpa pertengkaran, pikirku senang, sambil melepas raut memelasku. Aku pun melanjutkan menonton film kesayanganku. Kali ini aku kembali tersenyum-senyum. Ini wajah asliku.

 

#2

Setelah sekian lama. Aku dan pimpinanku akhirnya bertemu muka. Rupanya tenagaku dibutuhkan juga. Sumpah, aku sebenarnya tak menyukainya. Bahkan jika bisa kukatakan, aku sangat membencinya. Manusia yang suka berbuat seenak jidatnya, dan suka menindas anak buah. Kerja lambat sedikit, maka akan ada upah yang terpangkas. Terkikislah uang hasil jerih payah yang memang sudah terbatas. 

Tapi, aku tak mau melakukan hal bodoh seperti itu. Hidup tetap perlu makan, dan makan perlu uang. Uang bisa dihasilkan dari pekerjaan. Dan aku tidak mau menyia-nyiakan pekerjaanku. Betul, ada nilai yang harus dijunjung. Ada idealisme yang seharusnya kita pegang. Tapi aku hanya bisa perjuangkan nilai-nilai hidupku kalau pikiran tenang.

Kalau saja istriku tak banyak keluhan. Kalau saja upahku mampu menambal mulutnya, selalu begitu pikirku berulang-ulang.

Jadi kuputuskan menggunakan wajah yang paling cocok untuk mengamankan pekerjaanku. Wajah penjilat. Bosku hanya perlu sedikit pujian, perlu sedikit dorongan, dan dengan sedikit kata-kata manis, maka ia akan baik padaku dan hidupku juga akan baik-baik saja. Maka sambil berjalan menuju ruangannya, kupasang wajah penjilatku.

 

#3

“Aku dipecat,” kata seorang teman, bernama Amran. Ia datang padaku dengan wajah sangat sendu. Secara otomatis, aku segera mencari wajah yang paling menunjukkan rasa berduka mendalam. Wajah prihatin, dan sekaligus peduli. Kugabungkan mereka berdua dan kupakai di wajahku. Ah, aku tampak meyakinkan. Mungkin aku aktor yang baik.

“Ada yang melaporkan perbuatanku minggu lalu.” Amran melanjutkan ceritanya. Aku mengangguk-angguk dengan wajah topeng kepalsuanku. Sementara wajah asli di balik yang palsu tersenyum lebar sekali. Karena aku lah yang sebenarnya mengadukan Amran pada pimpinan. Yaitu perbuatannya memotong uang kas untuk membiayai rumah sakit sang anak, meski ia berjanji akan mengembalikan dalam waktu secepatnya sebelum bos mengecek. Mengetahui itu, aku tak tinggal diam. Kesempatan menaikkan jabatan tak boleh dilepaskan. Menyingkirkan Amran, dan mendapat tempat menggantikannya. Begitu mudahnya. Begitu indahnya.

“Mungkin ada pekerja lain yang mengadukanmu.” Aku berkata dengan nada seserius mungkin. 

“Tapi, siapa?” 

“Entahlah.” Aku berkata sambil mengangkat bahu. Senyum meyakinkan dan menguatkan kupancarkan pada Amran. Ah, ekspresi duka cita tadi itu juga bukan wajah sungguhan.

 

#4

Aku tak seperti ini sejak dimula. Sejak gagal menjadi orang yang menampakkan kejujuran, antara hati, pikiran, dan wajah, aku tahu ada yang salah. 

Aku sedikit banyak terpikirkan pada suatu kenyataan pahit. Kini tak ada satu pun yang bisa dipercaya. Dan betapa hal itu tak mudah. Bagaimana akan menjalani kehidupan jika tak ada satu orang pun yang menaruh percayanya? Di saat berbuat baik dan jahat pun akan sama, karena semua bernilai curiga sejak di dalam pikiran?

Aku hanya memutuskan, lebih baik aku menjadi jahat sekalian.

Sekarang ini. Tak pernah benar-benar wajah dan hatiku sama rupanya. Dan kusadari, semakin lama, semakin hari, aku semakin terbiasa, dan aku pun semakin ahli. Bahkan aku pun mulai kebingungan yang mana wajah asli milikku sendiri. Mungkin ia sudah tertukar dengan wajah-wajahku yang lain?

Miscellaneous

Salah Kaprah

Telah biasa dan menjadi fenomena. Berlomba-lomba. Berbondong-bondong. Berkerumun, mengelilingi sesuatu yang merupakan benda mati. Kompak berperilaku satu, dan lisan yang tak henti-hentinya berucap kalimat berbagai macam. Entah apa yang ada di pikiran.

Sudah biasa. Berkeliling bersama melingkari si mati. Tangan terangkat, mata memejam, kerutan dahi menggambarkan kesungguhan. Seribu satu tujuannya. Tak jua ada yang memberikan alasan yang lain selain demi kepentingan yang mengirimkan doa. Kata ‘mendapat keberkahan’ menjadi alasan. Namun di baliknya ada satu suara satu rasa : ingin tercapai segala keinginan.

Ada harap yang dipanjatkan, ada minta yang dihajatkan. Namun kepada siapa dia diajukan. Jika kemudian harap cemas disampaikan pada dia, sosok yang telah hijrah di dunia berbeda. Itulah yang lalu menjadi salah serta diamini semuanya. Diyakini kepadanya-lah bisa mendapatkan semua yang diinginkan. Padahal justru ia sendiri perlu doa dari yang di dunia. Siapa yang tahu ia mungkin sedang disiksa malaikat di dalam sana, dan berharap agar diringankan kesakitannya.

Masih bergerombol, mengantri giliran. Memenuhi rumah yang kecil. Rumah yang kelak jadi masa depan semua. Sesuatu yang dianjurkan menjadi salah kaprah saat niatnya diselewengkan. Menyesakkan hati nurani ketika penyembahan kepada selain Dia terjadi tak disadari. Tak memberi manfaat, melainkan mudarat. Tapi tak akan terlihat salah ketika semua orang tak menganggapnya menyimpang arah.

Telah biasa dan menjadi fenomena. Bersama-sama, maka keliru tak terasa. Maka ketika tindakan kekeliruan menjadi panutan, tak heran jika tak hilang dari bagian kehidupan. Rasanya tak terlambat jika kemudian ada hal-hal yang perlu diluruskan. Agar tak latah terus-menerus salah.

Miscellaneous

Pencarian Keadilan

Saya cukup lelah mencari keadilan. Dan saya tiba-tiba tumbang oleh hal-hal jahat yang selama ini saya jauhi. Ya, saya tumbang dan kalah dari kejahatan itu.

Telah lama saya mencari keadilan. Tapi pada akhirnya saya lagi-lagi tak sanggup melawan kejahatan keji yang ternyata jauh lebih kuat daripada saya. Apakah saya mesti menyerah saja?

Telah berlembar-lembar surat saya kirimkan pada para pejabat, wakil rakyat, menteri, bahkan Presiden. Tapi keadilan yang saya cari ternyata menghilang ditelan bumi. Haruskah saya diam dan lari?

Saya sadar saya tak jua suci. Saya bisa masuk jeruji karena saya mencuri. Tapi perut saya dan anak saya harus diisi.

Ah, ternyata bukan hanya saya yang merana, meratapi ketidakadilan yang saya rasa. Ada seorang ayah yang anaknya ditabrak lari oknum polisi, sampai kini sang penabrak tak jua mendapatkan sanksi. Ada seorang suami yang  baru kehilangan anak-istri karena kecelakaan maut, namun belum kering air mata menyelimut, ternyata ia yang malah dituntut.

Ah, saya mengelus dada. Sesak saat saya harus melihat tawa para terdakwa di dalam televisi sana, yang menangis tersedu-sedu di balik kerudung dan setelan necisnya. Kemudian mereka menebarkan senyum dan tawa, karena hukuman yang diberikan ternyata masih lebih berat hukuman yang saya terima. Padahal mereka juga sama, mencuri seperti saya. Kalau tahu begini, saya lebih baik mencuri lebih banyak lagi. Mungkin hukuman saya bisa lebih ringan dari ini.

Saya tak tahu bagaimana saya harus mengeluhkan ketimpangan keadilan ini. Di saat yang nyata-nyata bersalah disebut konspirasi, kriminalisasi, dan diskriminasi. Sementara yang tak bersalah langsung begitu saja dihakimi. Benar-benar tak jelas. Benar-benar tak terlihat. Keadilan yang saya cari ternyata masih mengendap di tempat yang gelap.