Miscellaneous

Mengenang Kenangan

S__8347653Kenangan itu datang tanpa diundang. Aneh sekali, kadang kita terbawa pada satu masa, satu momen tertentu, tanpa menyengajakan diri ingin mengingat kenangan tersebut. Pencetus kenangan itu bisa apa saja, buku yang dibaca, rasa masakan tertentu, aroma parfum seseorang, kata yang diucapkan orang lain, atau ketika melamun tanpa arah, tiba-tiba datanglah sebuah kenangan spesifik menyergap. Hal yang aku tulis ini juga adalah salah satu kenangan yang tak diminta itu, salah satu serpih masa kecilku yang terbangun setelah membaca sebuah novel. Aku tertarik paksa pada suatu ingatan saat aku duduk di bangku SD. Tulisan ini pun, tanpa sengaja, kembali menyinggung acilku, dan lagi-lagi mengukuhkan posisinya sebagai ibu keduaku.

Peristiwanya sebenarnya tak rumit. Namun, aku harus menarik garis kisahnya ke belakang, mengisahkan awal mula kenapa seorang anak kecil memilih menyendiri di teras belakang yang berhadapan dengan hutan.

Sewaktu aku masih kecil, aku memiliki tempat favorit. Waktu itu, aku masih tinggal di rumah nenekku. Tempat favoritku itu sama sekali tidak istimewa. Hanya sebuah papan panjang, dan diletakkan di sudut rumah seperti sebuah titian namun tidak mengarah kemana-mana. Papan itu terletak di bagian belakang rumah nenekku yang merupakan teras luas yang fungsinya untuk menjemur pakaian. Karena badanku yang kurus dan ringan, aku sama sekali tidak khawatir duduk di sebilah papan itu. Sebagai tempat favorit, aku bisa duduk di situ lama sekali, berjam-jam kadang, hanya untuk merenung, bermain, atau membelai kucing liar yang seringkali datang mengunjungi rumah nenekku. Aku bisa betah duduk di sana karena memang posisi tempat jemuran itu menghadap ke hutan kecil. Banyak pepohonan, kucing liar, capung, serta berbagai macam sudut tersembunyi untuk bermain petak umpet. Bagi anak kecil sepertiku, tempat itu selayaknya surga untuk berpetualang, sebuah dunia dongeng yang jadi nyata.

Walau seringkali jadi tempatku untuk menyendiri, teras jemuran itu sebenarnya bukan hanya ‘milikku’. Tempat itu adalah area terbuka yang luas, bukan hanya ideal untuk menjemur pakaian, namun juga menjadi tempat bermain bersama antara aku, saudaraku, dan sepupu-sepupuku. Tapi memang hanya aku yang senang menghabiskan waktu lama di sana. Terkadang, saat aku pulang sekolah, aku langsung saja duduk di papan itu, bahkan lupa mengganti seragam sekolah terlebih dahulu. Jika ingin sedang menghabiskan waktu di papan favoritku itu, aku akan berkata pada nenek dan gulukku bahwa aku ingin menjenguk kucing. Artinya, aku ingin ke belakang rumah dan duduk saja di sana. Aku menyukai kesendirianku di sana untuk menikmati kesunyian yang jarang kudapatkan. Disana aku bisa berkhayal dan melamun tanpa ada yang memarahi atau mengejekku.

Kalau dipikir-pikir, meski masih muda, aku memang membutuhkan privasi yang kudapat di papan kesayanganku itu. Kala itu, aku masih tinggal bersama dengan anggota keluarga yang lain di rumah nenekku. Maklumlah, pada masa dahulu, orang tua tidak mampu untuk langsung memiliki rumah atau mengontrak rumah, biasanya mereka harus tinggal di rumah mertua, hingga tiba masa mereka bisa membeli rumah sendiri. Aku belum pindah dari rumah nenekku hingga aku masuk SMP, dan selama itu pula, rumah nenekku menjadi semacam ‘tempat penitipan anak’. Sepupu-sepupuku yang umurnya tak jauh beda denganku, pada hari kerja juga dititipkan orang tua masing-masing ke rumah nenekku. Tanpa sepupu-sepupuku pun, jika dijumlah, ketika itu sudah ada 9 orang yang tinggal di satu rumah yang sama! Apalagi, ditambah dengan tiga sepupuku yang ikut dititipkan di rumah tua itu dari siang hingga sore hari. Bisa dibayangkan bagaimana penuhnya rumah nenekku kala itu. Tambahlah rumah itu terasa ramai dan sesak, tidak peduli siang atau malam hari!

Papan itu, adalah tempat aku mencurahkan suka dan duka. Lucunya, di antara banyak hal yang aku lakukan di papan itu, entah kenapa hanya kenangan ini yang tertinggal padaku–sebagian begitu samar, sementara sebagian yang lain sangat jelas.

Aku ingat menangis di sana diam-diam, hanya karena masalah yang sepele. Penyebabnya bermula saat aku akan pergi les bahasa inggris di sore hari yang panas. Entah kenapa, aku lupa alasannya, tapi yang jelas aku terlambat datang. Aku tahu, pada hari itu, aku sebenarnya tidak boleh terlambat. Hari sebelumnya, guru les-ku berkata bahwa tempat les akan dipindah ke tempat yang baru, jadi ia meminta agar kami semua berkumpul dan berangkat bersama di jam yang ditentukan ke tempat baru itu. Meski sudah kukayuh sepedaku dengan cepat, namun aku ternyata tetap ditinggal oleh guru dan teman-temanku. Saat aku sampai, tempat lesku sudah kosong melompong. Teman-teman dan guruku sudah berangkat ke tempat baru yang aku juga tidak tahu dimana. Waktu itu, belum ada handphone untuk menghubungi teman-temanku. Perasaanku hancur saat itu. Aku kecewa. Aku merasa disisihkan, dan ditinggalkan, meski hal itu terjadi karena keterlambatanku sendiri.

Dengan perasaan hampa, kukayuh sepedaku kembali ke arah rumah nenekku. Aku kembali pulang dan langsung menuju tempat pribadiku, sang papan titian. Aku duduk di sana, diam dalam waktu yang cukup lama, dan akhirnya, tangisku pecah.
Saat itu matahari memang sudah mulai menurun, orangtua dan acilku sudah pulang ke rumah dari kantor masing-masing. Yang aku tidak sangka, ketika sedang menangis itu, aku ditemukan oleh seseorang–di bagian ini, aku mendadak tak bisa mengingat, siapa yang sedang menemukanku. Entah ibuku atau acilku. Tapi yang jelas, aku ditanya kenapa menangis sebegitu rupa. Aku pun langsung menjawab, “Aku ditinggal…” Kemudian aku bercerita mengenai kekecewaanku di tempat les itu.

Kembali aku lupa, entah ibuku atau acilku–atau mungkin keduanya, membawaku ke waduk untuk menghiburku. Di Waduk itu ada sepeda air berbentuk angsa, dan aku diajak menaikinya hingga magrib menjelang. Bagi anak kecil sepertiku, saat itu alasan untuk kecewa bisa begitu sepele, tapi alasan untuk bahagia juga bisa sama sepelenya. Aku pun kembali ceria dan melupakan apa yang terjadi setelah aku diajak jalan-jalan sore itu.

Saat mengingat kenangan itu, aku langsung merasakan, betapa aku sangat disayang. Aku pun tersadar betapa posisi almarhumah acilku begitu kuat, bahkan bisa membuatku bingung apakah dalam masa kecilku, ibuku atau acilku yang lebih banyak berperan. Dalam satu kenangan yang sama pun, wajah mereka terasa bercampur atau tertukar. Untuk hal yang menyenangkan seperti mendapat peringkat pertama, atau untuk hal yang menakutkanku seperti saat aku tidak sengaja terluka, aku ingat bahwa aku selalu mendapat dua ‘porsi’ pujian dan omelan. Satu dari acilku, satu dari ibuku. Ketika menulis ini pun, aku merasa tidak sanggup mengetik kata ‘almarhumah’ di depan kata acilku. Bukan karena aku tidak ikhlas karena kepergiannya, bukan itu. Namun aku hanya merasa acilku begitu hidup, seakan ia tidak pernah pergi kemanapun.

Ada senyum dan sedih menyelinap saat kenangan mengenai masa kecil itu muncul pada diriku. Keunikan dari sebuah kenangan adalah, kadang-kadang, kenangan itu tidak pilih-pilih. Kita tidak bisa memilih kenangan mana yang tinggal atau hilang. Kadang, kejadian itu bisa sangat sepele. Kita melihat punggung orang tua kita, es krim kita jatuh, atau pertengkaran kecil dengan saudara. Bisa jadi, kejadian itu memang sangat berkesan, acara ulang tahun kita, hari kelulusan, rekreasi ke luar kota bersama teman. Tapi tetap saja, memori itu tetap tidak memilih kapan datang dan perginya. Kadang hari itu adalah hari yang sangat penting, hingga kita bertekad tidak melupakannya, tapi suatu hari di masa yang akan datang kita tetap lupa. Ada memori yang tidak sengaja terlupa, tapi tetap datang di saat kita tidak menginginkannya.

Tapi jika kau tak sengaja teringat, segera tuliskan, karena kenangan itu belum tentu datang mengetuk pintu ingatan untuk kedua kalinya.

Keterangan:

Guluk : tante, namun secara khusus untuk tante yang merupakan anak kedua. Anak pertama disebut julak, anak kedua disebut guluk, anak ketiga dan seterusnya dipanggil acil.

Sketsa milik penulis.

Miscellaneous

Aku Kembali

Tangis di mataku belum juga mereda.

Aku berlari menuju rumah kecil itu, rumah yang sebenarnya selama dua setengah tahun ini menjadi milik kita. Aku tak tahan lagi, menanggung konsekuensi akibat perbuatanku, kebodohanku. Namun, penyesalan takkan disebut penyesalan jika ia terjadi di awal.

Laki-laki itu selama setengah tahun ini benar-benar mengalihkan pandanganku darimu. Ia bukan orang baru dalam hidupku. Aku mengenalnya, jauh sebelum mengenalmu. Tapi aku tak menyangka, kedekatanku dengan laki-laki itu akan menjadi sejauh ini, separah ini. Membuat mataku buta akan apa yang sudah kita jalani bersama.

Aku tak tahan lagi dengan sikap egoisnya. Aku tak kuat menghadapi dia yang keras kepala. Aku tak bisa lagi selalu mengalah. Bahagia yang kurasa hanya di awalnya.

“Kamu boleh melakukan semua yang kau suka, asal tak lupa kewajibanmu.” Itu yang selalu kamu petuahkan padaku. Ya, aku bisa menjadi apa saja yang kusuka. Menjadi siapa saja yang kumau.

“Aku selalu mendukungmu. Aku akan selalu membantumu. You always can count on me.” Kalimatmu itu selalu menguatkanku di saat aku di titik nadir sekalipun. Karena aku tahu, penerimaanmu akan diriku yang tak sempurna, dan dukungan-dukungan positif darimu jualah yang membuatku bisa seperti sekarang ini.

Namun, semua itu sudah kumentahkan, karena silau sesaat.

Aku sedang menghambur padamu. Aku ingin pulang padamu. Semoga belum terlambat.

Miscellaneous

Cinta?

Cinta. Cinta. Cinta.

Rindu. RIndu. Rindu. 

Pacar. Pacar. Pacar.

Kata-kata itu sedang santer terdengar di telingaku. Teman-teman sebayaku, sedang menikmati masa indahnya jatuh cinta. Di umur kami yang masih sangat belia, cinta tampak begitu indah. Memabukkan. 

Namun bagiku, menjerumuskan. 

Apa bagusnya saat kau begitu senang dalam cinta sehingga serasa terbang ke kolong langit, tapi kemudian kau akan dijatuhkan sedalam-dalamnya ke dalam jurang rasa sakit?

Apa bagusnya saat orang yang kaucintai, suatu saat pasti akan jadi orang yang paling menyakiti dirimu nanti?

Apa bagusnya saat mencintai dan menyakiti adalah dua sisi mata uang yang tak mungkin terlepas? 

Apa orang-orang lupa bahwa mencintai seseorang harus siap juga patah hati?

Sayangnya banyak yang melupakan fakta ini. 

Sebutlah aku skeptis. Apatis. Naif. Apapun itu. Seperti seseorang yang tak lagi percaya dengan keberadaan cinta sejati. Nyatanya, yang aku lihat di sekitarku, cinta tak lagi menjadi muara bahagia. Lebih sering membawa celaka pada penderitanya. Bahwa apa yang dikatakan oleh para pujangga dalam puisi-puisi mereka, penulis dalam buku-buku mereka, sutradara dalam film-film mereka, hanya pemujaan dan pemaknaan yang berlebihan terhadap cinta antar manusia. 

Aku tak percaya pada dongeng tentang cinta, karena memang di rumahku, kisah romantisme semacam itu tak pernah ada.

Rumah. Seharusnya menjadi tempat pertama merasakan kasih, sayang, dan cinta. Namun, lima belas tahun aku hidup di rumah itu, aku tak melihat cinta selayaknya cinta dalam roman. Papa dan mamaku, pasangan suami-istri yang seharusnya hidup dalam kebahagiaan, nyatanya tak benar-benar hidup bahagia. Jangankan untuk hidup bahagia selamanya, hingga 17 tahun pernikahan ini pun, mama sudah menderita. Aku semakin pesimis. Bahkan cinta yang saling memiliki saja bisa setragis ini. Bagaimana mungkin cinta yang tak saling memiliki bisa bertahan? Ataukah justru karena cinta sudah memiliki, kemudian Papa merasa berhak untuk menunjukkan tabiat aslinya yang sewenang-wenang pada Mama? Entahlah.

 

Hari ini aku pulang sekolah dengan hati gundah, melihat Mama yang sedang menunggui warung di depan rumah kami.  Warung sederhana yang keluarga kami punya untuk menyambung hidup kami. Mama sedang mengipasi dirinya dengan selembar kardus, karena panas matahari menyengat begitu terik siang ini. Ah. Mama selalu bekerja keras demi keluarga ini. Entah dimana Papa, aku tak melihat batang hidungnya. Tiga adikku, yang masih kecil-kecil, bermain di depan televisi. Aku baru hendak melepaskan tas, saat kudengar suara mobil singgah di depan warung kami. Dari percakapan yang selintas kudengar, ternyata orang itu ingin membeli bensin eceran yang memang kami jual, mungkin untuk mengisi tangki bensin mobilnya yang kosong. Mama melayani pembeli itu, dan aku segera melangkah masuk kamar untuk mengganti seragam sekolah dan makan siang. 

Semua serasa begitu normal, hingga suapan terakhir makan siangku dikejutkan oleh suara Papa. “Dasar goblok!”

Begitu keras sampai adik-adikku yang sedang bermain tak lagi tertarik pada mainannya. Begitu keras hingga aku tak berselera memasukkan suapan terakhirku dan langsung menghambur keluar bersama adik-adikku ke warung depan. 

Di situlah kami melihat Papa dan Mama di depan warung kami. Papa sedang memarahi Mama. Wajah Papa tampak begitu jengkel. “Dasar istri goblok! Goblok kok, dipelihara!” 

Kedua wajah orangtua kami memerah. Namun keduanya disebabkan oleh hal yang berbeda. Papa karena marah. Mama karena malu. Jelas Mama malu karena baru saja direndahkan dan diremehkan seperti itu di depan anak-anaknya. Padahal penyebabnya sepele. Mama lupa menutup jerigen-jerigen bensin yang digunakannya setelah mengisi bensin mobil tadi. Hanya karena hal seperti itu, Papa tega menyakiti perasaan Mama. Mama hanya tertunduk dan meminta maaf. Aku bisa melihat genangan kecil air mata di pelupuk mata Mama. Tapi Mama bersikeras menahannya. Jika menangis, Papa akan lebih senang menganiaya Mama. Papa hanya akan tambah menghina Mama. 

Seakan pemandangan memuakkan itu belum cukup, aku terkejut saat adik-adikku malah menyoraki Mama,”Mama goblok! Mama goblok!” Seakan melecehkan Mama adalah hal yang biasa. Wajar karena Papa memang tak pernah menunjukkan rasa hormat pada Mama. Adik-adikku hanya meniru tingkah Papa. Tertukik senyum di wajah Papa, terlihat semakin arogan, merasa mendapat dukungan. 

Aku muak. Terhadap diriku yang tak bisa berbuat apa-apa. Terhadap adik-adikku yang tak lagi menghormati ibu yang melahirkan mereka. Terhadap Mama yang telah lama diam dan mengalah dilecehkan seperti itu. Terlebih terhadap Papa, yang tak lagi menunjukkan rasa kasih dan sayangnya terhadap Mama? Aku jadi bertanya, dimana cinta? 

Aku masuk ke dalam rumah, mengajak adik-adikku sembari mengomeli mereka karena mengolok-ngolok Mama. Aku tak berani membela Mama. Bukan karena takut pada Papa, tapi lebih karena aku mengkhawatirkan Mama. Mama akan lebih dihujat lagi oleh Papa. Dan aku tak mau itu terjadi. 

Dan aku hanya bisa merasakan mataku yang panas. Air mataku tumpah.