Miscellaneous

Luka

Kamu tahu kamu tidak bisa lagi melangkah mundur, atau membalikkan badan. Yang kamu tahu hanyalah, maju dan meninggalkan semua yang ada di belakang. Kamu tersentak, karena pria yang dulu pernah meninggalkan bekas dalam pada masa lalumu tidak kembali sebagai hantu, tapi mewujud nyata di depanmu.

Tapi kamu tahu…tak ada jalan kembali untuk dirinya, bersama kamu.

Adakah dari dirimu yang salah, karena lebih memilih sendiri tanpa harus melayani siapa-siapa saat ini? Kamu bertanya dalam hati, saat orang-orang di sekitar mulai menyalahkan kamu, atas pilihanmu yang tak bertekuk lutut lagi pada pria masa lalu.

Apakah kamu memang terlalu bodoh, tak bisa melihat bahwa pria yang barusan di depanmu telah berubah menjadi pria yang sepertinya bisa menjanjikan kamu segalanya? Kamu lagi-lagi bertanya dalam hati.

Tapi…apakah arti segalanya itu? Kamu bertanya pada dirimu lagi, kesekian kali.

Kamu dahulu, telah berlutut melakukan hal yang sama padanya. Kamu dahulu, telah terluka terlalu dalam. Meski kamu tahu, kamu bukan pendendam. Hanya saja, kata maaf tidak menjadi alasan seseorang untuk melakukan dua kali kebodohan.

Kamu memejamkan mata, mengendus aroma pepohonan yang terbawa angin, serta dedaunan yang hinggap di rambutmu. Kau menyentuh sang daun yang telah retak, dan sadar bahwa daun yang telah gugur dan mengering pun takkan bisa kembali ke ranting.

Miscellaneous

Mengenang Kenangan

S__8347653Kenangan itu datang tanpa diundang. Aneh sekali, kadang kita terbawa pada satu masa, satu momen tertentu, tanpa menyengajakan diri ingin mengingat kenangan tersebut. Pencetus kenangan itu bisa apa saja, buku yang dibaca, rasa masakan tertentu, aroma parfum seseorang, kata yang diucapkan orang lain, atau ketika melamun tanpa arah, tiba-tiba datanglah sebuah kenangan spesifik menyergap. Hal yang aku tulis ini juga adalah salah satu kenangan yang tak diminta itu, salah satu serpih masa kecilku yang terbangun setelah membaca sebuah novel. Aku tertarik paksa pada suatu ingatan saat aku duduk di bangku SD. Tulisan ini pun, tanpa sengaja, kembali menyinggung acilku, dan lagi-lagi mengukuhkan posisinya sebagai ibu keduaku.

Peristiwanya sebenarnya tak rumit. Namun, aku harus menarik garis kisahnya ke belakang, mengisahkan awal mula kenapa seorang anak kecil memilih menyendiri di teras belakang yang berhadapan dengan hutan.

Sewaktu aku masih kecil, aku memiliki tempat favorit. Waktu itu, aku masih tinggal di rumah nenekku. Tempat favoritku itu sama sekali tidak istimewa. Hanya sebuah papan panjang, dan diletakkan di sudut rumah seperti sebuah titian namun tidak mengarah kemana-mana. Papan itu terletak di bagian belakang rumah nenekku yang merupakan teras luas yang fungsinya untuk menjemur pakaian. Karena badanku yang kurus dan ringan, aku sama sekali tidak khawatir duduk di sebilah papan itu. Sebagai tempat favorit, aku bisa duduk di situ lama sekali, berjam-jam kadang, hanya untuk merenung, bermain, atau membelai kucing liar yang seringkali datang mengunjungi rumah nenekku. Aku bisa betah duduk di sana karena memang posisi tempat jemuran itu menghadap ke hutan kecil. Banyak pepohonan, kucing liar, capung, serta berbagai macam sudut tersembunyi untuk bermain petak umpet. Bagi anak kecil sepertiku, tempat itu selayaknya surga untuk berpetualang, sebuah dunia dongeng yang jadi nyata.

Walau seringkali jadi tempatku untuk menyendiri, teras jemuran itu sebenarnya bukan hanya ‘milikku’. Tempat itu adalah area terbuka yang luas, bukan hanya ideal untuk menjemur pakaian, namun juga menjadi tempat bermain bersama antara aku, saudaraku, dan sepupu-sepupuku. Tapi memang hanya aku yang senang menghabiskan waktu lama di sana. Terkadang, saat aku pulang sekolah, aku langsung saja duduk di papan itu, bahkan lupa mengganti seragam sekolah terlebih dahulu. Jika ingin sedang menghabiskan waktu di papan favoritku itu, aku akan berkata pada nenek dan gulukku bahwa aku ingin menjenguk kucing. Artinya, aku ingin ke belakang rumah dan duduk saja di sana. Aku menyukai kesendirianku di sana untuk menikmati kesunyian yang jarang kudapatkan. Disana aku bisa berkhayal dan melamun tanpa ada yang memarahi atau mengejekku.

Kalau dipikir-pikir, meski masih muda, aku memang membutuhkan privasi yang kudapat di papan kesayanganku itu. Kala itu, aku masih tinggal bersama dengan anggota keluarga yang lain di rumah nenekku. Maklumlah, pada masa dahulu, orang tua tidak mampu untuk langsung memiliki rumah atau mengontrak rumah, biasanya mereka harus tinggal di rumah mertua, hingga tiba masa mereka bisa membeli rumah sendiri. Aku belum pindah dari rumah nenekku hingga aku masuk SMP, dan selama itu pula, rumah nenekku menjadi semacam ‘tempat penitipan anak’. Sepupu-sepupuku yang umurnya tak jauh beda denganku, pada hari kerja juga dititipkan orang tua masing-masing ke rumah nenekku. Tanpa sepupu-sepupuku pun, jika dijumlah, ketika itu sudah ada 9 orang yang tinggal di satu rumah yang sama! Apalagi, ditambah dengan tiga sepupuku yang ikut dititipkan di rumah tua itu dari siang hingga sore hari. Bisa dibayangkan bagaimana penuhnya rumah nenekku kala itu. Tambahlah rumah itu terasa ramai dan sesak, tidak peduli siang atau malam hari!

Papan itu, adalah tempat aku mencurahkan suka dan duka. Lucunya, di antara banyak hal yang aku lakukan di papan itu, entah kenapa hanya kenangan ini yang tertinggal padaku–sebagian begitu samar, sementara sebagian yang lain sangat jelas.

Aku ingat menangis di sana diam-diam, hanya karena masalah yang sepele. Penyebabnya bermula saat aku akan pergi les bahasa inggris di sore hari yang panas. Entah kenapa, aku lupa alasannya, tapi yang jelas aku terlambat datang. Aku tahu, pada hari itu, aku sebenarnya tidak boleh terlambat. Hari sebelumnya, guru les-ku berkata bahwa tempat les akan dipindah ke tempat yang baru, jadi ia meminta agar kami semua berkumpul dan berangkat bersama di jam yang ditentukan ke tempat baru itu. Meski sudah kukayuh sepedaku dengan cepat, namun aku ternyata tetap ditinggal oleh guru dan teman-temanku. Saat aku sampai, tempat lesku sudah kosong melompong. Teman-teman dan guruku sudah berangkat ke tempat baru yang aku juga tidak tahu dimana. Waktu itu, belum ada handphone untuk menghubungi teman-temanku. Perasaanku hancur saat itu. Aku kecewa. Aku merasa disisihkan, dan ditinggalkan, meski hal itu terjadi karena keterlambatanku sendiri.

Dengan perasaan hampa, kukayuh sepedaku kembali ke arah rumah nenekku. Aku kembali pulang dan langsung menuju tempat pribadiku, sang papan titian. Aku duduk di sana, diam dalam waktu yang cukup lama, dan akhirnya, tangisku pecah.
Saat itu matahari memang sudah mulai menurun, orangtua dan acilku sudah pulang ke rumah dari kantor masing-masing. Yang aku tidak sangka, ketika sedang menangis itu, aku ditemukan oleh seseorang–di bagian ini, aku mendadak tak bisa mengingat, siapa yang sedang menemukanku. Entah ibuku atau acilku. Tapi yang jelas, aku ditanya kenapa menangis sebegitu rupa. Aku pun langsung menjawab, “Aku ditinggal…” Kemudian aku bercerita mengenai kekecewaanku di tempat les itu.

Kembali aku lupa, entah ibuku atau acilku–atau mungkin keduanya, membawaku ke waduk untuk menghiburku. Di Waduk itu ada sepeda air berbentuk angsa, dan aku diajak menaikinya hingga magrib menjelang. Bagi anak kecil sepertiku, saat itu alasan untuk kecewa bisa begitu sepele, tapi alasan untuk bahagia juga bisa sama sepelenya. Aku pun kembali ceria dan melupakan apa yang terjadi setelah aku diajak jalan-jalan sore itu.

Saat mengingat kenangan itu, aku langsung merasakan, betapa aku sangat disayang. Aku pun tersadar betapa posisi almarhumah acilku begitu kuat, bahkan bisa membuatku bingung apakah dalam masa kecilku, ibuku atau acilku yang lebih banyak berperan. Dalam satu kenangan yang sama pun, wajah mereka terasa bercampur atau tertukar. Untuk hal yang menyenangkan seperti mendapat peringkat pertama, atau untuk hal yang menakutkanku seperti saat aku tidak sengaja terluka, aku ingat bahwa aku selalu mendapat dua ‘porsi’ pujian dan omelan. Satu dari acilku, satu dari ibuku. Ketika menulis ini pun, aku merasa tidak sanggup mengetik kata ‘almarhumah’ di depan kata acilku. Bukan karena aku tidak ikhlas karena kepergiannya, bukan itu. Namun aku hanya merasa acilku begitu hidup, seakan ia tidak pernah pergi kemanapun.

Ada senyum dan sedih menyelinap saat kenangan mengenai masa kecil itu muncul pada diriku. Keunikan dari sebuah kenangan adalah, kadang-kadang, kenangan itu tidak pilih-pilih. Kita tidak bisa memilih kenangan mana yang tinggal atau hilang. Kadang, kejadian itu bisa sangat sepele. Kita melihat punggung orang tua kita, es krim kita jatuh, atau pertengkaran kecil dengan saudara. Bisa jadi, kejadian itu memang sangat berkesan, acara ulang tahun kita, hari kelulusan, rekreasi ke luar kota bersama teman. Tapi tetap saja, memori itu tetap tidak memilih kapan datang dan perginya. Kadang hari itu adalah hari yang sangat penting, hingga kita bertekad tidak melupakannya, tapi suatu hari di masa yang akan datang kita tetap lupa. Ada memori yang tidak sengaja terlupa, tapi tetap datang di saat kita tidak menginginkannya.

Tapi jika kau tak sengaja teringat, segera tuliskan, karena kenangan itu belum tentu datang mengetuk pintu ingatan untuk kedua kalinya.

Keterangan:

Guluk : tante, namun secara khusus untuk tante yang merupakan anak kedua. Anak pertama disebut julak, anak kedua disebut guluk, anak ketiga dan seterusnya dipanggil acil.

Sketsa milik penulis.

Miscellaneous

Sudut Pandang – 2

Kau tahu, ada saat-saat dimana hal yang kecil menyadarkanmu, seperti membangunkanmu dari hal yang tadinya kau pahami di satu sisi, kini bisa kau lihat di sisi yang lain. Hal-hal sepele yang mungkin bagi orang lain adalah hal yang remeh-temeh dan biasa, tapi bagimu saat itu, merupakan hal yang bisa menyebabkan pemikiranmu, bahkan hidupmu, berubah. Momen seperti itu ada, tiap harinya, di sekitar kita, tapi tak bisa kita lihat setiap saat. Kita hanya melihatnya di saat kita mau membuka mata untuk melihatnya.

Nada panggil handphone-ku membuatku was-was. Aku memberikan ringtone ‘kring-kring’ klasik yang sederhana untuk satu orang saja. Lebih karena nada panggil itu mudah didengar dan menarik perhatian daripada lagu-lagu apapun.

Alasannya, tak lain supaya jika dia yang menelepon, nada panggil ini yang berdering, dan aku lebih cepat meresponnya.

Aku mengangkatnya, dengan sedikit gemetar. Kali ini, apa lagi yang mau dia lakukan? Pikirku.

Suara tangisan pecah di ujung sana, seakan suara ‘halo’ dariku adalah momen yang ditunggu-tunggunya untuk menumpahkan air matanya.

“Tunggu di sana. Jangan kemana-mana.” Aku mengultimatum. Lebih baik langsung menemuinya saat ini juga. Bercakap di telepon dengan suara tangisannya, dia takkan bisa bercerita juga.

Ara, sahabatku, saat ini mengalami depresi karena masalah rumah tangganya. Suaminya berubah perangai sesudah menikah, sesuatu yang tak pernah Ara bayangkan sebelumnya. Tabiat suaminya menjadi kasar. Begitu sering Ara merasa tersakiti hatinya oleh tingkah polah suaminya itu. Kelahiran anak mereka sebulan lalu, tak membuat suasana rumah tangga mereka membaik. Pertengkaran justru semakin menjadi karena suami Ara tak mau mengurus anaknya.

Ara dan suaminya, Dian, keduanya adalah sahabatku sejak SMP. Aku mengenal mereka berdua dengan baik, dan tahu persis kisah cinta mereka berdua yang bak sinetron karena keduanya sudah pacaran sejak di SMP.

Dengan begitu, praktis aku menjadi tempat curahan hati Ara.

Aku berkendara dengan cemas dan khawatir tentang Ara. Semenjak melahirkan, ia justru mulai memikirkan hal-hal yang aneh. Ia mulai sering membicarakan kematian, juga bunuh diri. Aku tahu, ia stres dengan tekanan yang ada padanya. Oleh karena itu, aku sedapat mungkin selalu ada di sampingnya, saat pikiran buruknya muncul. Aku hanya berharap ia masih memiliki akal sehat untuk tidak melakukan hal-hal gila.

Dan tak meleset dari dugaanku. Saat sampai di rumahnya, wajahnya tak keruan. Ara tampak kacau. Air matanya meleleh di wajah dan dagunya, dan matanya tampak bengkak. Saat melihatku datang, ia mulai mengeluh dan melolong betapa hidupnya kacau, tidak adil, dan betapa menyedihkan hal yang ia alami. Ia juga mengeluhkan suaminya, dan betapa menyesalnya ia dengan pernikahannya.

“Sudahlah, Ara. Menyesal juga sudah tak berguna.” Aku berkata sambil menggenggam tangannya, saat ia sudah mulai tenang.

“Aku harus bagaimana?” tanya Ara, masih dengan mata sembabnya.

Aku jarang memberinya nasihat, karena yang kutahu, Ara sebenarnya hanya membutuhkan pendengar. Aku sendiri belum berumah tangga, sehingga merasa tak mungkin memberikan nasihat akan hal yang belum aku alami.

Tapi kali ini, Ara harus diselamatkan.

“Aku ingin bercerita dulu.” Aku memulai.”Sebenarnya ini tentang hal yang sangat sederhana. Tapi entah mengapa, memberi kesan begitu dalam padaku.”

“Tadi pagi, aku baru saja membeli susu, yang isinya satu liter. Aku membuka tutupnya, dan mulai membayangkan hal-hal yang bisa aku lakukan dengannya. Aku membayangkan minum susu itu tiga kali sehari hingga beberapa hari ke depan. Aku membayangkan meminum sedikit susunya, dan memakai sisanya untuk membuat kue. Aku juga teringat dengan keponakanku yang datang, dan mungkin akan kubagikan susu itu dengannya. Aku juga teringat dengan minuman bersoda di kulkasku, dan aku mulai membayangkan minum susu bercampur soda buatanku sendiri. Entah mengapa, aku mulai membuat rencana-rencana kecil dengan sekotak susu itu, dan itu membuatku senang.”

“Tapi kemudian, saat aku baru beranjak hendak mengambil gelas, tanganku menyenggol susu kotakku ke lantai. Kamu tahu apa yang terjadi berikutnya. Susu itu tumpah ke lantai,” tuturku. “Aku memaki diriku sendiri, betapa aku ceroboh karena menumpahkannya. Rencana-rencana yang tadi kubuat terasa buyar seketika. Susu yang tumpah cukup banyak. Akhirnya, dengan sedih, aku hanya bisa meminum satu gelas, karena hanya itu yang tersisa di kotak.”

“Saat meminum susu itu, aku masih merasa kesal karena khayalanku yang bagiku indah-indah tadi tak jadi kenyataan. Tapi kemudian aku sadar, semua kekesalanku tak bisa mengembalikan susu yang telah tumpah,” kataku sambil menghela nafas.

“Lalu aku mulai berpikir, bahwa susu yang tumpah itu menyadarkanku tentang hidup. Ya, seperti inilah hidup. Kita punya banyak rencana indah. Kita punya banyak impian. Kita punya harapan tentang hal-hal yang kita pikir memberikan kita kebahagiaan. Tapi nyatanya, ada banyak hal yang membuat kita tak bisa meraih rencana kita. Seperti tanganku yang tiba-tiba menyenggol kotak susu itu. Semua itu di luar kuasaku. Aku tak pernah mau menumpahkan susu yang kubeli. Tapi tetap saja hal itu terjadi. Satu-satunya hal yang bisa kulakukan adalah menerimanya. Menerima bahwa aku tidak bisa melaksanakan rencana-rencana kecilku dengan susu itu.”

“Kalau cuma susu yang tumpah, kamu bisa membelinya lagi, kan?” sahut Ara.

“Ya, di situ juga poin pentingnya. Kemudian aku berpikir bahwa memang aku tak bisa mengembalikan keadaan, tak mungkin mengembalikan susu yang tumpah ke tempatnya. Tapi setidaknya, aku bisa memperbaikinya. Aku bisa membeli susu itu lain waktu, dan berjanji untuk lebih hati-hati nanti.”

“Kamu mengerti ‘kan maksudku?” tanyaku pada Ara. “Tumpahnya susu itu memang hal sepele, tapi kamu bisa belajar banyak hal dari sana, Ara. Kamu tidak mungkin terus-menerus menyesali masa lalu, karena kamu takkan pernah bisa kembali. Tapi kamu bisa mulai yah, memperbaiki beberapa hal dalam rumah tanggamu. Selalu ada jalan keluar, Ara.’

“Maaf, aku tadi begitu, meratap seperti itu,” kata Ara, pelan. “Aku menyesal karena terus-menerus bicara tentang mati. Aku seharusnya tak begitu saja mudah menyerah.”

“Jangan pernah lagi berpikir tentang bunuh diri. Lihat, ada Kayla di sana. Ada anakmu. Tanpa ibunya, bagaimana dia bisa bertahan?”

Ara mengangguk, memandangi bayinya yang sedang tertidur lelap di ranjang kecilnya.

“Daripada terus menyesalinya, ayo kita perbaiki keadaan ini, Ara. Kalau kamu memang merasa sudah tak sanggup lagi, aku akan membantumu bicara dengan keluarga besar Dian. Siapa tahu, mereka akan membantu menyelesaikan masalahmu, karena mereka juga mengenal Dian dengan baik. Atau, kalau kamu perlu konseling, aku akan membantu mencarikan.”

“Ya, kurasa aku perlu bantuan orangtua Dian. Semoga mertuaku bisa membantuku.” Ara menyahut. Wajah Ara mulai cerah, ada secercah harap di sana.

Tak lama kemudian, ia berkata,“Terima kasih, ya.” Ara memelukku. Aku bisa merasakan tetesan air mata hangatnya menembus bajuku, kemudian kulitku. Tapi kali ini aku tak marah pada Ara.

Untuk kali ini, kubiarkan saja Ara menangis sesukanya di pundakku.

 

Miscellaneous

Pertemuan

Jika kuhitung dengan jari, mungkin ini pertemuanku yang kali keempat.

Sebenarnya tak jua pantas disebut sebuah pertemuan. Yang benar, aku menatap pria ini dari kejauhan, berharap dia tak menangkap basah mataku yang tak jua lekang dari dirinya. Tentu saja ia tak pernah mengetahui keberadaanku. Tak pernah ada perkenalan. Tak pernah ada pertemuan yang disengajakan.

Aku tak pernah benar-benar merencanakan agar bertemu dengannya. Semua ‘pertemuan’ selalu berdasarkan rencana Tuhan, atau yang sering kita sebut kebetulan. Lagipula, tempat aku bertemu dia, adalah tempat suci. Ya, aku selalu bertemu dia di mesjid.

Pertama kali aku melihatnya, di sebuah mesjid pada saat malam nisfu sya’ban. Aku hanya melihatnya selintas lalu, saat beranjak pulang, seorang pria muda tampan bermata teduh yang berlama-lama di mesjid. Pakaian putih-putih yang dipakainya membuatnya bahkan lebih tampan lagi. Jujur, kekagumanku merebak, karena menemukan pria muda di mesjid, bukan hal yang mudah di zaman seperti sekarang. Tapi kemudian aku melupakan hal tersebut, dan bahkan tak ingat lagi perihal pria yang tak pernah kuketahui identitasnya itu.

Di bulan Ramadhan ini, sepulangnya shalat tarawih, aku menemukannya lagi, di parkiran mesjid. Aku benar-benar terkejut, karena aku tak menyangka aku akan melihat dia lagi. Ada semacam rasa rindu yang aneh, tak biasa, menyelimuti hatiku. Seakan aku telah mengenalnya, seperti sosok kawan lama yang tak pernah berjumpa.

Dalam pertemuan kedua dan ketiga, tak ada yang istimewa. Masih di mesjid yang sama, dan lagi-lagi tanpa sengaja. Pertemuan itu hanya satu arah. Jadi, itu merupakan pertemuan bagiku, tapi tidak baginya.

Aneh, semenjak saat itu, secara tak langsung, mataku mulai mencari-cari sosoknya. Entah apa yang melintas di kepalaku, namun yang pasti, keingintahuan yang besar memburuku.

Dan kini, lagi, aku berpapasan dengannya. Pertemuan yang keempat kalinya. Kali ini, aku cukup dekat dengannya. Jarakku kurang dari lima langkah.

Aku tak sengaja melihatnya di gerbang mesjid, tempat dimana pria dan wanita menuju halaman parkir mesjid yang luas. Diam-diam, sambil menundukkan kepala, mataku melirik liar ke arahnya. Jantungku berdegup, lebih karena takut ia akan merasakan seseorang memandanginya, dan kemudian ia akan balas menatapku–hal yang tak kuinginkan terjadi. Meski dibayangi rasa malu, namun tetap kuambil resiko tertangkap basah itu.

Dalam jarak terdekat antara aku dan dia, baru kulihat detail-detail dirinya yang baru ini bisa kutangkap dengan mata. Ia, sang pria bermata teduh, dengan pakaian putih-putihnya, syal merah yang melilit di lehernya, janggut tipis di bibir bawahnya, hidung mancungnya.

Dan detail lain yang membuat darahku berdesir.

Lubang bekas tindikan di telinga kanannya, cukup besar, sehingga dari jarak beberapa meter itu, aku bisa melihat dengan terang. Ditambah, tato permanen di lehernya yang tak tersembunyikan syalnya, saat tak sengaja ia menoleh.

Perasaan yang campur aduk berselimut di dadaku saat melihat hal tersebut. Terlalu naif aku menganggapnya sebagai lelaki dengan iman sempurna tak bercacat. Saat aku melihatnya sedikit lebih dekat kini, gambaran masa lalunya yang buruk berkecamuk.

Namun tak ada sedikit pun, meski setitik, rasa kekagumanku itu hilang. Yang ada, malah bertambah-tambah rasa kagumku. Ia tak lain hanya manusia biasa yang pernah terjun dalam dunia kelam yang tak kuketahui seburuk apa, dan kini ia sedang meraih jalan Tuhan menuju kemenangan. Hanya itu pandanganku terhadapnya. Seperti apapun ia dengan masa lalunya–ia yang sekarang kuketahui, adalah lelaki bermata teduh yang selalui kutemui di mesjid. 

Ia mengingatkanku atas diriku sendiri, yang juga bukan manusia tersuci. Bertumbuh menjadi manusia baru bukanlah hal yang mudah. Berbuat baik itu sebenarnya sungguh mudah. Lebih mudah daripada meninggalkan keburukan itu sendiri. Karena itu, aku kagum dengan orang yang bisa meninggalkan keburukan yang pernah menjadi bagian hidupnya. Dan karena itu pula, aku tak heran dengan orang yang sebenarnya sangat baik, namun masih tenggelam juga dalam dosa-dosanya. Seperti kukatakan sebelumnya, meninggalkan keburukan itu sangat-sangat sulit.

Diam-diam, aku menghaturkan doa untuk ia, pria tak kukenal yang selalu kutemui di mesjid itu. Semoga telah sempurna ibadah yang selalu dilakukannya, dengan masa lalunya yang ia tinggalkan dengan sepenuhnya. Kuharap ia telah meninggalkan keburukan masa lalunya. Jikalau belum, semoga ia diberikan kemudahan untuk itu.

Kini, satu pertanyaan tertinggal. Akankah aku bertemu dengannya lagi? Mungkin saja. Aku menunggu Tuhan mempertemukanku dengannya, entah dimana dan cara yang bagaimana.