Kau tahu, ada saat-saat dimana hal yang kecil menyadarkanmu, seperti membangunkanmu dari hal yang tadinya kau pahami di satu sisi, kini bisa kau lihat di sisi yang lain. Hal-hal sepele yang mungkin bagi orang lain adalah hal yang remeh-temeh dan biasa, tapi bagimu saat itu, merupakan hal yang bisa menyebabkan pemikiranmu, bahkan hidupmu, berubah. Momen seperti itu ada, tiap harinya, di sekitar kita, tapi tak bisa kita lihat setiap saat. Kita hanya melihatnya di saat kita mau membuka mata untuk melihatnya.
Nada panggil handphone-ku membuatku was-was. Aku memberikan ringtone ‘kring-kring’ klasik yang sederhana untuk satu orang saja. Lebih karena nada panggil itu mudah didengar dan menarik perhatian daripada lagu-lagu apapun.
Alasannya, tak lain supaya jika dia yang menelepon, nada panggil ini yang berdering, dan aku lebih cepat meresponnya.
Aku mengangkatnya, dengan sedikit gemetar. Kali ini, apa lagi yang mau dia lakukan? Pikirku.
Suara tangisan pecah di ujung sana, seakan suara ‘halo’ dariku adalah momen yang ditunggu-tunggunya untuk menumpahkan air matanya.
“Tunggu di sana. Jangan kemana-mana.” Aku mengultimatum. Lebih baik langsung menemuinya saat ini juga. Bercakap di telepon dengan suara tangisannya, dia takkan bisa bercerita juga.
Ara, sahabatku, saat ini mengalami depresi karena masalah rumah tangganya. Suaminya berubah perangai sesudah menikah, sesuatu yang tak pernah Ara bayangkan sebelumnya. Tabiat suaminya menjadi kasar. Begitu sering Ara merasa tersakiti hatinya oleh tingkah polah suaminya itu. Kelahiran anak mereka sebulan lalu, tak membuat suasana rumah tangga mereka membaik. Pertengkaran justru semakin menjadi karena suami Ara tak mau mengurus anaknya.
Ara dan suaminya, Dian, keduanya adalah sahabatku sejak SMP. Aku mengenal mereka berdua dengan baik, dan tahu persis kisah cinta mereka berdua yang bak sinetron karena keduanya sudah pacaran sejak di SMP.
Dengan begitu, praktis aku menjadi tempat curahan hati Ara.
Aku berkendara dengan cemas dan khawatir tentang Ara. Semenjak melahirkan, ia justru mulai memikirkan hal-hal yang aneh. Ia mulai sering membicarakan kematian, juga bunuh diri. Aku tahu, ia stres dengan tekanan yang ada padanya. Oleh karena itu, aku sedapat mungkin selalu ada di sampingnya, saat pikiran buruknya muncul. Aku hanya berharap ia masih memiliki akal sehat untuk tidak melakukan hal-hal gila.
Dan tak meleset dari dugaanku. Saat sampai di rumahnya, wajahnya tak keruan. Ara tampak kacau. Air matanya meleleh di wajah dan dagunya, dan matanya tampak bengkak. Saat melihatku datang, ia mulai mengeluh dan melolong betapa hidupnya kacau, tidak adil, dan betapa menyedihkan hal yang ia alami. Ia juga mengeluhkan suaminya, dan betapa menyesalnya ia dengan pernikahannya.
“Sudahlah, Ara. Menyesal juga sudah tak berguna.” Aku berkata sambil menggenggam tangannya, saat ia sudah mulai tenang.
“Aku harus bagaimana?” tanya Ara, masih dengan mata sembabnya.
Aku jarang memberinya nasihat, karena yang kutahu, Ara sebenarnya hanya membutuhkan pendengar. Aku sendiri belum berumah tangga, sehingga merasa tak mungkin memberikan nasihat akan hal yang belum aku alami.
Tapi kali ini, Ara harus diselamatkan.
“Aku ingin bercerita dulu.” Aku memulai.”Sebenarnya ini tentang hal yang sangat sederhana. Tapi entah mengapa, memberi kesan begitu dalam padaku.”
“Tadi pagi, aku baru saja membeli susu, yang isinya satu liter. Aku membuka tutupnya, dan mulai membayangkan hal-hal yang bisa aku lakukan dengannya. Aku membayangkan minum susu itu tiga kali sehari hingga beberapa hari ke depan. Aku membayangkan meminum sedikit susunya, dan memakai sisanya untuk membuat kue. Aku juga teringat dengan keponakanku yang datang, dan mungkin akan kubagikan susu itu dengannya. Aku juga teringat dengan minuman bersoda di kulkasku, dan aku mulai membayangkan minum susu bercampur soda buatanku sendiri. Entah mengapa, aku mulai membuat rencana-rencana kecil dengan sekotak susu itu, dan itu membuatku senang.”
“Tapi kemudian, saat aku baru beranjak hendak mengambil gelas, tanganku menyenggol susu kotakku ke lantai. Kamu tahu apa yang terjadi berikutnya. Susu itu tumpah ke lantai,” tuturku. “Aku memaki diriku sendiri, betapa aku ceroboh karena menumpahkannya. Rencana-rencana yang tadi kubuat terasa buyar seketika. Susu yang tumpah cukup banyak. Akhirnya, dengan sedih, aku hanya bisa meminum satu gelas, karena hanya itu yang tersisa di kotak.”
“Saat meminum susu itu, aku masih merasa kesal karena khayalanku yang bagiku indah-indah tadi tak jadi kenyataan. Tapi kemudian aku sadar, semua kekesalanku tak bisa mengembalikan susu yang telah tumpah,” kataku sambil menghela nafas.
“Lalu aku mulai berpikir, bahwa susu yang tumpah itu menyadarkanku tentang hidup. Ya, seperti inilah hidup. Kita punya banyak rencana indah. Kita punya banyak impian. Kita punya harapan tentang hal-hal yang kita pikir memberikan kita kebahagiaan. Tapi nyatanya, ada banyak hal yang membuat kita tak bisa meraih rencana kita. Seperti tanganku yang tiba-tiba menyenggol kotak susu itu. Semua itu di luar kuasaku. Aku tak pernah mau menumpahkan susu yang kubeli. Tapi tetap saja hal itu terjadi. Satu-satunya hal yang bisa kulakukan adalah menerimanya. Menerima bahwa aku tidak bisa melaksanakan rencana-rencana kecilku dengan susu itu.”
“Kalau cuma susu yang tumpah, kamu bisa membelinya lagi, kan?” sahut Ara.
“Ya, di situ juga poin pentingnya. Kemudian aku berpikir bahwa memang aku tak bisa mengembalikan keadaan, tak mungkin mengembalikan susu yang tumpah ke tempatnya. Tapi setidaknya, aku bisa memperbaikinya. Aku bisa membeli susu itu lain waktu, dan berjanji untuk lebih hati-hati nanti.”
“Kamu mengerti ‘kan maksudku?” tanyaku pada Ara. “Tumpahnya susu itu memang hal sepele, tapi kamu bisa belajar banyak hal dari sana, Ara. Kamu tidak mungkin terus-menerus menyesali masa lalu, karena kamu takkan pernah bisa kembali. Tapi kamu bisa mulai yah, memperbaiki beberapa hal dalam rumah tanggamu. Selalu ada jalan keluar, Ara.’
“Maaf, aku tadi begitu, meratap seperti itu,” kata Ara, pelan. “Aku menyesal karena terus-menerus bicara tentang mati. Aku seharusnya tak begitu saja mudah menyerah.”
“Jangan pernah lagi berpikir tentang bunuh diri. Lihat, ada Kayla di sana. Ada anakmu. Tanpa ibunya, bagaimana dia bisa bertahan?”
Ara mengangguk, memandangi bayinya yang sedang tertidur lelap di ranjang kecilnya.
“Daripada terus menyesalinya, ayo kita perbaiki keadaan ini, Ara. Kalau kamu memang merasa sudah tak sanggup lagi, aku akan membantumu bicara dengan keluarga besar Dian. Siapa tahu, mereka akan membantu menyelesaikan masalahmu, karena mereka juga mengenal Dian dengan baik. Atau, kalau kamu perlu konseling, aku akan membantu mencarikan.”
“Ya, kurasa aku perlu bantuan orangtua Dian. Semoga mertuaku bisa membantuku.” Ara menyahut. Wajah Ara mulai cerah, ada secercah harap di sana.
Tak lama kemudian, ia berkata,“Terima kasih, ya.” Ara memelukku. Aku bisa merasakan tetesan air mata hangatnya menembus bajuku, kemudian kulitku. Tapi kali ini aku tak marah pada Ara.
Untuk kali ini, kubiarkan saja Ara menangis sesukanya di pundakku.