Jurnal Menulis

Belajar Sambil Menulis

Meskipun sering menulis, namun saya sendiri jarang (sepertinya tak pernah) mengungkapkan pikiran saya tentang dunia ini. Jadi, kali ini saya ingin sedikit bercerita.

Saya tak bisa berbagi semacam ilmu atau tips menulis, karena memang saya tak mumpuni untuk itu. Saya memang punya minat terhadap bahasa, tapi saya bukan murid dari kelas Sastra. Benar-benar aktif dalam dunia menulis pun baru tahun ini, meskipun sejak saya masih kecil, saya suka menulis.

Memang betul, siapa saja bisa menulis. Namun, tidak semua orang bisa menulis dengan baik. Dan meskipun bisa menulis dengan baik, tak semua orang mengerti apa yang mereka tuliskan. Jadi, tak semua penulis bisa menulis dengan baik dan mengerti betul apa yang ia tulis. Saya sendiri, harus mengakui bahwa saya adalah salah satu contohnya. Saya tak paham kesusastraan. Saya tak mengerti betul apakah yang saya tuliskan itu prosa, sajak, puisi, atau sejenisnya. Yang saya tahu hanya menuliskan apa yang di ada di pikiran. Begitu saja. Jika saya ditanya tentang macam-macam puisi misalnya, saya pasti akan melongo. Tak paham.

Padahal akan lebih baik jika kita membekali diri kita dengan ‘ilmunya’. Mengetahui lebih jauh lagi tentang sesuatu yang kita sukai. Tentu akan berbeda, ketika kita menulis dengan memiliki pengetahuan tentang itu, dan saat menulis dengan tidak mengetahui apa yang kita tulis.

Jika kita mau mendalami ilmu ini, kita akan mengetahui lebih jauh mengenai ilmu sastra yang bisa jadi  baru kita dengar. Dengan itu, kita bisa sedikit menantang diri kita, untuk menulis dengan ilmu yang baru kita ketahui tersebut. Misalnya, jika kita belajar tentang rima, kita bisa menantang diri kita untuk menulis dengan rima. Atau, jika kita baru mempelajari tentang sudut pandang orang pertama, kedua, dan ketiga, kita bisa berlatih dengan menulis menggunakan tiga sudut pandang itu. Hal tersebut akan membuat kita keluar dari zona nyaman kita, yang (mungkin) telah terbiasa menulis dengan gaya yang sama dan itu-itu saja. Secara tak langsung, kita mengeksplorasi diri kita yang belum pernah kita jangkau sebelumnya. Jika kita berhasil menaklukkan tantangan baru itu, selain ilmu bertambah, kepuasan batin yang didapat juga tak terkatakan. Kita akan terkejut melihat hasil tulisan yang tak pernah kita coba sebelumnya.

Dengan mendalami ilmu sastra, saya yakin apresiasi kita terhadap karya orang lain pun akan ikut berubah. Saya rasa pemikirannya akan berbeda, saat kita mengomentari karya orang lain dengan ilmu atau tidak. Tentu akan lebih bijak jika kita bisa mengapresiasi karya orang lain dengan pemahaman tentang karya orang itu, misalnya, apa bentuknya, bagaimana isinya, jenis tulisannya, dan sebagainya. Bukan hanya mengomentari atau menghakimi karya orang lain bagus atau tidak, namun dengan asal bicara, padahal kita tak mengerti apa-apa.

Dalam hal mengapresiasi karya, saya sendiri juga percaya, bahwa tak ada karya yang gagal, begitupun tak ada karya yang sempurna. Tidak ada nilai yang mutlak atau absolut. Jika sebuah karya kemudian ditemukan kekurangan-kekurangannya, tetap saja tak membuat karya itu jelek atau tidak bagus. Karena bagus atau tidak juga relatif. Setiap orang punya pandangan masing-masing.

Apalagi jika menyangkut masalah ‘gaya’, setiap penulis punya gayanya sendiri-sendiri. Dalam menulis dan menyukai karya orang lain pun, kita secara tak sadar berpatokan pada gaya kita masing-masing. Jika saya ditanya tentang ‘gaya’ saya sendiri, saya jujur tak menyukai cerita yang murni percintaan atau asmara, apalagi yang bergaya teenlit. Saya menyukai cerita cinta, jika ada hal-hal yang lebih kompleks termuat di dalamnya, misalnya isu ras, budaya, atau agama. Oleh karena itu, jika kalian membaca tulisan saya, unsur sosial atau kemanusiaan dan hal-hal semacam itu lebih menonjol. Karena memang tema-tema itu adalah favorit saya, yang selalu mencuri perhatian saya. Saya memang lebih menyukai karya dengan tema yang ‘berbeda’, bahasa yang ‘formal’, pengemasan yang menarik, dan kadang-kadang dengan ‘twist’ yang mengejutkan. Dalam menulis dialog pun misalnya, saya menghindari dialog dengan ‘lo’ dan ‘gue’ di dalamnya. Tapi bukan berarti yang saya tidak sukai, berarti tidak bagus, bukan? Itu semua perkara gaya. Masalah selera yang tak bisa dipaksakan.

Jadi, sebagai seorang yang amatir dan tanpa bermaksud menggurui, marilah kita menulis, sambil belajar ilmu sastra. Terutama bagi yang masih awam ilmu kesusastraan tapi suka menulis, seperti saya ini. Bukankah ada peribahasa yang mengatakan ‘tak kenal maka tak sayang’? Agar kita tak sekedar suka, tapi juga mengenalnya lebih dalam, sehingga kita juga bisa lebih mencintai dunia menulis ini.  Ayo kita (belajar) menulis! 😉

Tinggalkan komentar