Miscellaneous

DERSIK

Jika suatu malam kau tak bisa tidur, maka mungkin penyebabnya adalah aku yang juga tak bisa tidur.

Entah mengapa, aku selalu yakin, aku dan kamu terhubung. Kita adalah satu. Kau itu aku, aku adalah dirimu. Tapi, ketika kuungkapkan hal itu, kau hanya tertawa saja. Menanggapi dengan enteng dan senyum miring, meremehkan kepribadianku yang selalu kau anggap, ‘sensitif dan melankolis’.

“Kita ‘kan manusia yang berbeda, dengan pemikiran yang berbeda. Tidak mungkin ada koneksi-koneksi semacam itu, kecuali…”

“Kecuali apa?” tanyaku dengan penasaran.

“Kecuali kalau kamu… dukun?”

Kemudian kau tertawa terguling-guling menyebalkan dengan mata berair, sementara aku cemberut menyaksikanmu yang tiada henti mengolokku. Usia kita 15 saat itu.

Meski terlihat sangat tidak melankolis, dan seperti berkebalikan denganku, sebenarnya kau jauh berbakat dariku dalam meramu kata. Nilai bahasa yang kau raih, entah Bahasa Indonesia, atau bahasa asing lainnya, selalu lebih unggul. Jika mengikuti lomba menulis cerita pendek atau membaca dan menulis puisi, kau seringkali menang. Prestasimu tak tinggi-tinggi benar, bukan peraih juara nasional atau juara umum. Tapi untuk lomba antarpelajar di kota, kau adalah lawan yang ditakuti. Aku kadang heran, mengapa kau yang terkadang apatis terhadap aku yang perasa, tidak sadar kalau sebenarnya kau itu jauh lebih perasa lagi karena mampu menerjemahkan dunia lewat indahnya kata.

Ayah pernah berkata, kau itu pintar berkata-kata karena kau rajin membaca buku, sementara aku terlalu banyak menonton televisi. Mungkin itu ada benarnya.

Salah satu kenangan yang takkan pernah kulupa adalah saat pertama kalinya kau kenalkan kosakata baru padaku, dalam salah satu perjalanan pulang kita dari sekolah ke rumah. Saat itu, kita masih kelas 3 SMA. Langit yang tadinya cerah mendadak terhapus hujan, seperti tirai air yang menerjang bumi tanpa tanda. Kita berdua berlari kencang menghindari kencangnya angin yang mengangkut titik hujan, menuju ke bawah jembatan. Kita terhenti di salah satu sudut yang masih cukup kering, dan bersandar lelah di birainya. Matahari yang masih bersinar lembut telah semakin merangkak ke sebelah barat, sinarnya yang semakin miring menimbulkan bias cahaya di antara hujan.

“Semoga ada pelangi,” ucapku sambil menadahkan tangan, menyentuh titik-titik hujan yang lolos dari kelompoknya, yang menciprati jembatan menjadi aliran hujan yang lebih kecil.

“Kalau hujan, aku lebih suka petrikor.” Kemudian dia menarik nafas panjang, membaui udara.

Dahiku berkerut, baru mendengar kosakata itu untuk pertama kalinya. “Apa itu?”

“Itu aroma harum saat hujan menyirami tanah yang kering.”

Aku mengangguk mengerti. Aku juga menyukai aroma tersebut, tapi tidak tahu bahwa wangi tersebut memiliki nama yang sangat indah.

“Terus, ada istilah apa lagi yang bagus?”

Kau meringis. “Kamu cari tau sendiri, lah. Kalau satu-satu harus aku ajarkan, lama-lama aku bisa jadi kamus.”

Lalu kau ulurkan tanganmu, menarik badanku dari birai yang kusandari, dan kemudian mengajakku berjalan kembali karena hujan deras tadi sudah menjadi gerimis.

“Ah, itu, coba kamu lihat!”

Kau mendadak menunjuk langit dengan antusias, memperlihatkan lukisan Tuhan yang berwarna indah. Lengkungnya tidak 180 derajat sempurna, hanya membentuk 90 derajat dan kemudian pudar. “Itu juga disebut bianglala. Pelangi itu bianglala. Kamu ingat-ingat, ya. Itu bonus kosakata dariku.”

Aku mengangguk-angguk, mendongakkan kepala menatap pelangi sambil mengingat namanya yang lain itu. Tanpa mungkin kau sadari, aku benar-benar mencatatnya dalam ingatanku, aku tak pernah lupa dengan dua kata ajaib yang kau bagikan kala itu. Petrikor. Bianglala.

*

Malam ini aku sulit tidur, gelisah melandaku. Aku teringat pada sosokmu.

Mungkinkah saat ini kau juga tak bisa tidur, sama sepertiku? Hatiku perih, sensasi ngilu terasa di dadaku. Mataku hendak meluncurkan kristal air itu.

Aku masih sangat merindukanmu.

Sambil mengusap mata yang telah kabur dengan air mata, aku segera mendekati laptopku. Beginilah ritualku, jika rindu padamu tak terperi. Aku akan menulis email untukmu. Tanpa yakin dan tahu pasti, apakah emailku pernah kau baca atau tidak. Satu pun belum pernah kau balas, semenjak kau menghilang 5 tahun belakangan setelah memutuskan menikah muda tanpa restu.

Aku segera mengetik kosakata yang aku temui tadi pagi.

Dersik : desir angin

Sama seperti kau yang menghilang dalam angin, aku membatin.

Lalu kuketik ‘Kirim’.

Cukup begitu isi pesanku. Aku tidak mau lagi repot-repot berbasa basi di dalam email, menanyakan kabar, memberitahukan keadaanku dan keluarga padamu seperti yang kulakukan saat awal-awal kepergian mendadakmu. Ratusan email sudah seperti itu, akhirnya aku menyerah. Aku hanya mengirim kosakata, persis seperti pesanmu saat itu, menyuruhku mencari kosakata sebanyak-banyaknya. Mungkin, aku tak berhenti mencari kosakata karena kosakata itulah satu-satunya yang menghubungkanku denganmu.

Saat merindu, kukirim satu demi satu padamu.

Aku kembali kepada tempat tidurku, memandang langit-langit yang noda-nodanya kukhayalkan sebagai bentuk wajahmu.

Kak…Apakah kau merasakan kerinduanku?

Bagaimanapun, kau saudara kembarku, kita adalah satu, dan akan selalu seperti itu.

Kubayangkan kau di waktu yang sama, di tempat berbeda, belum tertidur. Kau sedang membayangkan wajahku, wajah adikmu, setelah menatap kata ‘dersik’ yang baru datang dariku. Kuharap kau begitu.

*

Tulisan ini saya persembahkan pada Anna Rahman, sang penyumbang kosakata. 

Miscellaneous

Tanpa ‘Bagaimana Jika’

Aku tahu kita tak pernah benar-benar berpisah, saat tanganku dan tanganmu akhirnya terlepas, kulit kita akhirnya tak lagi bersentuhan, dan mata kita akhirnya tak lagi saling pandang.

Aku juga tahu bahwa sesungguhnya hanya jiwa ini yang tetap tinggal–ia tak pernah benar-benar pergi. Yang melekat padaku tinggal raga yang berwujud seperti cangkang, namun di dalamnya kosong, karena separuhnya telah terbawa pergi memelukmu saat langkah kakimu menapak menjauh. Isi pikiran ini pun khianat pada tuannya karena tak pernah benar-benar memikirkan apa yang seharusnya dikerjakan, namun malah memikirkan dirimu yang kini di pelupuk lautan.

Lucu ketika memikirkan bahwa sebenarnya pikiran milikku dan milikmu tidak pernah benar-benar milikku dan milikmu. Aku tidak punya kontrol atasnya, itu nyatanya. Aku rasa aku terlalu banyak menonton drama dan membaca kisah romansa. Makanya khayal dan imajinasiku merembes, liar, tak terkendali. Aku membayangkan bahwa kita saling memikirkan satu sama lain, seperti kabel yang saling terhubung satu sama lain. Meskipun sisi hitam dalam diriku membisikkan kalimat nakal seperti, mungkin saja hanya aku yang memikirkanmu, tapi kamu tidak begitu padaku.

Aku dahulu pernah berkhayal, bagaimana jika, suatu hari jarak tak pernah ada? Secara raga kita hanya jauh sedepa? Waktu dan tempat benar-benar dipersilakan untuk kita? Apakah suatu hari, kita akan sadar, bahwa kita nyaman cukup dengan telepati kita saja? Atau akankah kita sadar suatu hari, memang bersama selamanya adalah jalan kita?

Pesan teks darimu yang kemudian masuk berkali-kali saat aku mengkhayal kan itu dan ini membuat imajiku gugur seperti hujan deras yang buyar. Kamu, toh, tetap ada, tetap bersama, memikirkanku juga, dan masih meyakinkanku untuk berjalan berdua. Ada kekhawatiran yang melesat lari, kesedihan yang mendadak pergi, dan kelegaan aneh yang menghangatkan. Senyum seperti kau pakukan di bibirku dan tak bisa surut. Mungkin harus kunikmati saja kasih sayangmu saat ini, tanpa banyak bertanya ‘bagaimana jika’. Karena pada akhirnya, ucapan ‘selamat pagi’ darimu saja sudah cukup meruntuhkan semua ketakutan dan menyinarkan harapan bahkan di hari yang paling berhujan.

Miscellaneous

A C I L

Ketika aku ditanya,”Siapa yang meninggal?” Maka akan kujawab,”Acilku.”

“Oohh acilmu yang itu…?” Kalimat selanjutnya akan bervariasi, tapi merujuk pada orang yang sama.

“Acilmu yang mengantar makanan tiap sore pas kamu bimbel SMP?” kata seorang sahabat, teman sebangkuku waktu kelas 3 SMP.
“Acilmu itu yang sering datang dan belanja di warung ibuku?” tanya rekan kerjaku.
“Acilmu yang waktu itu sering antar-jemput waktu kita SD? Aku malah lebih ingat tantemu itu daripada ibumu.” Seorang teman SD-ku berucap ketika tak sengaja dia mengantar makanan katering untuk ibuku.

Namun lebih banyak lagi orang yang terdiam, tahu betapa Acil adalah sosok yang sangat berharga, sehingga momen-momen di atas hanya sekeping kenangan yang belum menjadi representasi kebaikan dirinya. Momen-momen di atas, hanya bagi mereka yang sedikit mengenal Acilku, dan itu sudah cukup menunjukkan bahwa Acil memang luar biasa. Momen-momen yang direkam oleh teman, keluarga, dan terutama bagiku yang hidup bersamanya, tidak bisa rampung dalam satu kalimat tanya.

Acil meninggal di hari ketiga bulan lalu. Pemilihan hari yang sangat baik. Tanggal merah, dimana semua orang libur, sehingga semua orang bisa hadir dan mengurus pemakamannya dengan layak. Beliau tidak meninggal di rumah sakit–karena selama sakit, ia tidak dirawat di rumah sakit–melainkan di kamarnya sendiri di pagi hari setelah shalat subuh di hari Jum’at. Kepergiannya terasa sangat mendadak, karena sebenarnya beliau berangsur sembuh dan bahkan bisa kemana-mana dengan roda dua sendirian.

“Sama sekali tidak mau merepotkan orang lain.” Semua orang sepakat. Selama ini, lebih banyak kami yang merepotkan Acil.

Acilku, kakak ibuku, beberapa bulan sebelum wafat divonis terkena penyakit hati. Ia memang jarang ke dokter, jarang mau memeriksa kesehatan, jarang berolahraga, jarang menjaga makanan, namun punya aktivitas sangat tinggi. Hingga pensiun, ia masih sibuk–sibuk mengurus orang lain dan keluarga. Ia memang tidak menikah dan tidak punya anak. ‘Kebebasan’ itu ia gunakan untuk menolong orang lain semampunya.

Ketika tahu ia akhirnya meninggal karena penyakit hati, dalam hatiku terlintas ucapan yang masih terngiang-ngiang hingga kini: She literally gives her heart. Ia memang memberikan hatinya. Dari urusan kancing lepas, pulsa habis, urusan surat-surat, membeli makanan, membayar tagihan, mengurus rumah, dan seterusnya, semua ditangani oleh Acil. Bukan hanya rumahku, rumah yang seringkali menjadi markas keduanya, tapi juga keluarga kami yang lain atau teman-teman kantor. Meskipun pensiun, ia masih masuk kantor setiap hari supaya bisa membuatkan teh untuk teman satu ruangan kantornya. Bahkan hingga di titik akhir hidupnya, ia tidak merepotkan orang lain. Sehari sebelum meninggal, Acil pergi berkendara, membayar listrik rumah dan mengisi tabung gas, juga mengambil pensiunnya di kantor meskipun ia tergopoh-gopoh dan harus minta bantuan satpam agar bisa naik tangga. Ia bahkan sempat membersihkan rumah, dan meminta saudaranya untuk memotongkan kukunya. Ketika ditemukan meninggal di hari berikutnya, ia hanya seperti orang yang tertidur, namun tak kunjung bangun.

Hal yang membuatku sedih adalah kenyataan bahwa aku memang tidak bisa melewatkan waktu bersamanya di hari-hari terakhirnya. Hampir semua orang membicarakan tentang momen terakhir mereka bertemu dengan Acil. Dan aku tidak bisa membalas karena momen terakhirku bersamanya adalah lebaran tahun silam. Aku tidak sempat bersamanya selama dia sakit, karena perantauanku. Sesuatu yang antara kusesali dan tidak.

Aku memang berduka karena tidak melihatnya, menjenguknya, dan membantunya saat ia sakit selama beberapa bulan terakhir. Kepergiannya hanya bisa aku ratapi sendiri, jauh dari keluarga. Aku hanyalah manusia biasa yang tidak tahu kapan takdir akan menjemputku dan keluargaku. Jika aku tahu, tentu aku akan pulang sebelum tanggal kematiannya, bukan merencanakan pulang 20 hari setelahnya. Tapi aku tidak tahu, dan tidak akan pernah bisa tahu.

Orang lain boleh berebut memiliki kenangan terakhir bersamanya, tapi aku punya kenangan seumur hidup bersamanya. Bertahun-tahun aku tinggal serumah dengannya. Sewaktu kecil, selama aku tidur di sebelahnya. Tangannya-lah yang menyuapiku makan. Pinggangnya yang aku pegang ketika ia menjemputku pulang sekolah.

Ia sudah seperti ibuku sendiri. Kisah hidupku, akan selalu membawa acil di dalamnya, dan aku bangga hidup dalam kebaikan hati dari seseorang seperti dirinya.

Kadang, ia tak terasa seperti sudah tiada. Ia seakan masih ada, berjalan di dalam rumah, duduk di kursi di sampingku, berbicara bersamaku. Ia berada dimana-mana dan terasa tidak pernah pergi kemana-mana. Hanya makam dengan nisan bertuliskan namanya yang menjadi monumen penegas bahwa ia memang sudah lebih dahulu pergi.

Samar-samar, kerinduan yang melingkupi hatiku saat mengucapkan doa di atas kuburnya membuat rasa berduka ini muncul ke permukaan. Hujan deras yang mendadak muncul tadi pagi mengaburkan titik air mata yang diam-diam mengalir saat ibuku membacakan do’a ziarah kubur. Namun, kusadari kepergian yang terasa begitu cepat ini bukanlah akhir dari segalanya. Suatu saat nanti, aku akan bertemu lagi dengan acilku, karena kematian bagi makhluk yang bernyawa adalah pasti. Sampai jumpa, Acilku. Terima kasih karena telah mengajarkanku untuk hidup dengan sebaik-baiknya. Semua orang kini sibuk mengenangmu karena kebaikanmu. Aku bangga, sangat bangga.

*Acil merupakan bahasa Banjar yang berarti tante.

Miscellaneous

Mungkin Nanti

Perairan luas nan biru jernih di mataku. Di sini dingin namun perasaanku hangat. Sosok Samuel di sampingku-lah penyebab anomali ini.

Aku harus menekankan terlebih dahulu bahwa kami bukan kekasih. Pria di sampingku ini yang sering dipanggil Sam, adalah laki-laki pendiam berusia 30-an dengan wajah tirus bermata tajam bagai elang. Dia bukan tipe pria yang menarik bagi setiap wanita, bahkan banyak temanku yang mengatakan dia terlalu dingin. “Dia itu mungkin gay, Bi.” Tris, kawan karibku di kantor mewanti-wanti saat akhirnya kuungkapkan aku mungkin jatuh cinta pada sosok Sam, yang bekerja di kantor bawah. “Bukankah kau pernah bilang kita tidak bisa memilih kepada siapa kita jatuh cinta? ” Aku berdalih. Tris angkat bahu, tidak mampu melawan kata-katanya sendiri.”Iya, sih.” Kemudian sambil memandangku dengan iba ia bertanya,”Lalu perasaanmu mau kau apakan?”
“Aku tak akan melakukan hal gila, kok!” ucapku sambil tertawa-tawa,”aku cuma akan mulai dengan hal yang simpel saja dulu.  Aku ingin kenalan dan berteman.  Kalau memang jodoh, pasti tak akan kemana.” Aku mengucapkan kata-kataku dengan optimis.
Padahal, aku memang belum berteman dengannya secara resmi. Aku dan dia hanya saling bertemu dalam rapat atau pertemuan antar kantor.  Aku bahkan tidak yakin dia ingat bahwa aku ada.

“Itu baru namanya semangat.” Tris menepuk punggungku, menyemangati.
Lalu Tris mengungkapkan bahwa kantor kami akan mengadakan darmawisata akhir tahun.  Dan biasanya seluruh karyawan disarankan untuk ikut.  “Kamu bisa mulai dari sana, Bi.” Tris menyuruhku untuk memanfaatkan momen darmawisata selama 5 hari itu untuk bisa berkenalan dan lebih dekat dengan Sam. Aku mengangguk-angguk menyetujui.

Tapi begitulah, melakukan selalu tak semudah mengucapkan. Ternyata aku terlalu kikuk, grogi, dan takut. Mengajak seorang pria berkenalan ternyata tidak mudah. Lagipula, Sam selalu bersama teman-temannya. Begitupun aku. Alhasil aku dihantui kegagalan karena hingga kami di bandara dan naik pesawat untuk pulang, aku masih tidak berani mendekat, menyapa, dan berbasa-basi.
Hingga sebuah kesempatan emas dihadapkan padaku, aku ternyata duduk di samping Sam di pesawat, yang belakangan aku ketahui, adalah hasil dari upaya Tris. Sebagai pengumpul tiket kami, ia sengaja memasangkan aku dengan Sam duduk bersebelahan.
Setelah itu barulah interaksi terjadi di antara kami.

*
“Kamu diam-diam menguntitku, kan?” Pertanyaan Sam yang sangat ringkas, padat, akurat, segera mengembalikanku dari lamunan kilas balik tadi. Aku merasa malu sekali, namun mengelak juga percuma. “Kok tahu?” tanyaku dengan nada khas pelawak, sambil menghilangkan nada grogi.
“Pasti tahu. Kamu juga tahu kan perasaan seperti dada yang tergelitik kalau ada yang memandangi kita?” Aku terkekeh. “Aku ingin berteman denganmu, Sam.”
“Sekarang sudah.” Sam menjawab tulus.
“Ah ya, sekarang sudah.” Aku membeo.
“Aku hanya berharap kamu melakukannya lebih cepat, Bi.”
Kemurungan melandaku setelah kalimat Sam itu.”Kamu benar, dan waktu tidak bisa diulang.”
“Sam, tapi bukankah lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali?” lanjutku.
Sam menatapku dengan mata tajamnya. Namun terkandung kesedihan yang begitu polos dan murni di dalam matanya. “Sudah waktunya.” Wujudnya seakan memudar setelah ia berkata seperti itu.”Aku telah ditemukan Bi, aku bisa merasakannya.”
Aku bisa melihat wujudnya yang seakan Semakin lama semakin transparan. Seakan ia akan lenyap dan kemudian menghilang. Aku tak sanggup berkata apa pun.”Sangat menyenangkan mengobrol bersamamu, Bi. Kuharap, kita masih punya banyak waktu…dan tidak dalam keadaan seperti ini…seperti kehidupan pada umumnya, kau tahu.” Suara Sam sedikit bergetar, entah karena emosinya, atau karena eksistensinya yang semakin lenyap.
“Mungkin di waktu yang lain. Kesempatan lain.” Ada yang mencekat sehingga suaraku berubah menjadi bisikan lemah, “Dunia lain.” Aku mengungkapkan kata-kata terakhirku, dan dengan segera sosok Sam lenyap. Aku sempat melihat senyum tipisnya sebelum lautan seakan menelannya.
Aku bisa merasakan wujudku juga semakin memudar, berada dalam keadaan ada dan tiada. Aku duduk di sebelah Sam di pesawat. Jika orang-orang menemukan jasad Sam, maka mereka akan menemukan jasadku juga, badan harfiah kami yang terikat kuat dengan sabuk pengaman, namun teronggok di dasar lautan. Aku bisa merasakan jasmaniku diangkat perlahan, seiring dengan wujud keberadaanku yang pelan-pelan menipis, dan akhirnya lenyap–meninggalkan laut biru dan hijau yang menjadi pemandanganku dan Sam, entah untuk berapa lama dalam dimensi waktu manusia hidup.

Aku berharap aku akan menyusul Sam.

Miscellaneous

Tulisan Mengenai Refleksi Tentang Tulisan

Saya sebetulnya mengkhususkan blog ini untuk fiksi dan puisi saja semenjak 2013 lalu, namun kali ini, entah mengapa, ingin menulis sesuatu yang sifatnya sedikit pribadi setelah melihat traffic pada laporan tahunan wordpress.com.

Jika tidak salah, saya menulis 19 posts untuk tahun 2014 ini. Tidak banyak, tapi juga tidak sedikit. Setidaknya, saya bisa memenuhi target untuk menulis sebulan sekali, yang berarti saya sudah menulis lebih dari 12 kali. Itu sudah memuaskan saya. Meski demikian, saya sebenarnya produktif di tulisan lain (penelitian ilmiah untuk call for papers, serta dua blog lain yang dikhususkan untuk celotehan pribadi dan catatan perkuliahan), sehingga angka menulis saya secara umum, jika dikumpulkan, tentu melebihi angka 19 itu tadi.

Meski begitu, blog ini adalah blog pertama dan utama. Blog ‘C’est ma vie’ (dulu bernama C’est la vie) mungkin tidak banyak menawarkan informasi. Namun, blog ini adalah representasi dari apa-apa yang saya gelisahkan, tawarkan, pikirkan, dan lalu berusaha saya ubah ‘se-sastra’ mungkin. Bagi mereka yang aktif menulis, mungkin akan merasakan sensasi ‘kelegaan’ ketika apa-apa yang ingin dituliskan itu akhirnya terwujud dalam satu laman tulisan. Kebanggaan, keharuan, dan yang saya sebut di atas tadi, kelegaan. Oleh karenanya, saya masih tetap menulis, karena sensasi di atas tak bisa diganti dan dibayar dengan apapun.

Dalam dunia per-blog-an, saya bukan blogger yang baik, I definitely admit it. Dengan alasan pribadi, saya tidak pernah lagi membuka kolom ‘Pembaca’, hampir tidak pernah lagi sekedar berkunjung ke blog-blog kawan-kawan penulis yang selama ini–disini unsur tidak enaknya–masih mengunjungi atau menyukai atau mengomentari tulisan saya. Saya harus meminta maaf untuk itu. I do apologize.

Rasanya memang tidak adil, ketika beberapa blogger masih bersedia mengunjungi ‘rumah kecil’ saya, sementara saya tidak melakukan hal yang sebaliknya: saya tidak pernah blogwalking lagi, kecuali di-tag tentunya, atau kadang hanya menjadi pembaca bystander, dimana saya tak lebih hanya menonton, melihat, membaca, tapi tak meninggalkan jejak bahwa saya pernah ada di sana.

Ada hal-hal yang memang membutuhkan penyesuaian. Studi yang masih perlu saya selesaikan mungkin bisa saya kambinghitam-kan untuk menjadi alasan kesibukan saya sehingga tidak lagi blogwalking. Deep down, saya tahu alasan sebenarnya yang mungkin tidak bisa dijelaskan, bahkan dengan kata-kata saya sendiri.

Kini, biarlah saya menjadi penulis yang menulis untuk kepuasan pribadi semata. Biarlah saya tidak dikunjungi, sebagai balasan karena saya sendiri tidak pernah mengunjungi orang lain. Biarlah nama saya terlupakan, dan kepopuleran yang dulu pernah terlintas, tidak lagi menjadi dambaan. Biarlah blog ini menjadi semacam buku catatan pribadi. Saya tidak akan meminta orang untuk datang, karena tulisan yang saya buat juga tidak untuk memuaskan dahaga orang-orang. Biarlah menulis saya kembalikan pada itikat awal, untuk pemulihan dan kesehatan jiwa semata. Writing is damn good for our soul. Dan jika tujuan awal itu tidak tercapai, berarti saya telah bergeser, dan saya tidak ingin melenceng terlalu jauh.

Saya orang yang sangat percaya, berlian dimanapun tetap berlian. Jika tulisan saya memang bagus, atau menginspirasi, atau memang ada orang yang membacanya, orang akan mencari-cari tanpa kita harus gila-gilaan promosi. Well, I am not a good blogger, and not a good saleswoman either.

Blogger yang lain mungkin punya tujuan yang lain mengapa mereka tetap menulis. Kembali, untuk diri saya pribadi, saya melakukan refleksi, bahwa pada akhirnya–apapun medianya, baik lisan atau tulisan–semua yang kita bagikan haruslah membawa manfaat, bukan mudharat. Semoga saya bisa tetap begitu di tahun mendatang.

Selamat meninggalkan tahun 2014. Semoga tahun 2015 membawa kebaikan bagi kita semua.

Miscellaneous

Sepotong Memori

1.

Jalan yang temaram tersaput senja, paru-paru yang menghirup udara berkabut dingin, mata yang memandang hijau kanan-kiri, serta,

punggungmu dan alunan rencana masa depan kita yang terdenting di telingaku hingga kini.

2.

Wajahmu yang menunduk, khawatir menghasut menyelimut raut. Jemari tangan yang saling terpaut. Dalam satu dimensi yang berwarna sama, putih di semua sudutnya. Takut yang terpancar di wajah kita. Air mata yang ditahan tak boleh terjatuh, namun,
Percaya dan doa tetap tak lepas kita sebut. Senyum terentang dan syukur tak pernah tak turut.

3.

Tak pernah ada sepotong kenangan tentang mata yang terpicing, tangan yang terangkat, caci yang disengaja, ego yang sengaja dimenangkan, marah yang diulang-ulang.

Miscellaneous

Never Stop Dreaming

This is a dream, a dream, what we talk about,
It’s not a nightmare, but it’s been haunting you for a long time,
This is a huge dream, so get prepare yourself.
It’s not a fantasy, but it’s even more beautiful than the fairytale I tell.
This is a dream, so enjoy every single thing of it.
You know what we’re going through, but this dream has not reached the end, yet.
You may call it a dream, because it’s too high even we are afraid of it.

Stop dreaming, and you will find you are looking at the ground,
Figuring out why you are living, only to fulfill the family, relatives, and friends’ wishes, but yourself.
Stop dreaming, and you will feel big black hole inside your lungs.
You are choked because you can not meet your desire,
the unconsciousness that wander through your mind,
you have no idea why you are even still breathing, but you are dead inside.

Fear not, fear not, of dreaming…Fear not of living…
Dare to live each day fully, seek the things you adore,
hug the jealousy you feel tightly, step on things you hate and,
drown into it, sincerely,
maybe that is your path, maybe that is your fate.

Life never be designed to be perfect.