Jika suatu malam kau tak bisa tidur, maka mungkin penyebabnya adalah aku yang juga tak bisa tidur.
Entah mengapa, aku selalu yakin, aku dan kamu terhubung. Kita adalah satu. Kau itu aku, aku adalah dirimu. Tapi, ketika kuungkapkan hal itu, kau hanya tertawa saja. Menanggapi dengan enteng dan senyum miring, meremehkan kepribadianku yang selalu kau anggap, ‘sensitif dan melankolis’.
“Kita ‘kan manusia yang berbeda, dengan pemikiran yang berbeda. Tidak mungkin ada koneksi-koneksi semacam itu, kecuali…”
“Kecuali apa?” tanyaku dengan penasaran.
“Kecuali kalau kamu… dukun?”
Kemudian kau tertawa terguling-guling menyebalkan dengan mata berair, sementara aku cemberut menyaksikanmu yang tiada henti mengolokku. Usia kita 15 saat itu.
Meski terlihat sangat tidak melankolis, dan seperti berkebalikan denganku, sebenarnya kau jauh berbakat dariku dalam meramu kata. Nilai bahasa yang kau raih, entah Bahasa Indonesia, atau bahasa asing lainnya, selalu lebih unggul. Jika mengikuti lomba menulis cerita pendek atau membaca dan menulis puisi, kau seringkali menang. Prestasimu tak tinggi-tinggi benar, bukan peraih juara nasional atau juara umum. Tapi untuk lomba antarpelajar di kota, kau adalah lawan yang ditakuti. Aku kadang heran, mengapa kau yang terkadang apatis terhadap aku yang perasa, tidak sadar kalau sebenarnya kau itu jauh lebih perasa lagi karena mampu menerjemahkan dunia lewat indahnya kata.
Ayah pernah berkata, kau itu pintar berkata-kata karena kau rajin membaca buku, sementara aku terlalu banyak menonton televisi. Mungkin itu ada benarnya.
Salah satu kenangan yang takkan pernah kulupa adalah saat pertama kalinya kau kenalkan kosakata baru padaku, dalam salah satu perjalanan pulang kita dari sekolah ke rumah. Saat itu, kita masih kelas 3 SMA. Langit yang tadinya cerah mendadak terhapus hujan, seperti tirai air yang menerjang bumi tanpa tanda. Kita berdua berlari kencang menghindari kencangnya angin yang mengangkut titik hujan, menuju ke bawah jembatan. Kita terhenti di salah satu sudut yang masih cukup kering, dan bersandar lelah di birainya. Matahari yang masih bersinar lembut telah semakin merangkak ke sebelah barat, sinarnya yang semakin miring menimbulkan bias cahaya di antara hujan.
“Semoga ada pelangi,” ucapku sambil menadahkan tangan, menyentuh titik-titik hujan yang lolos dari kelompoknya, yang menciprati jembatan menjadi aliran hujan yang lebih kecil.
“Kalau hujan, aku lebih suka petrikor.” Kemudian dia menarik nafas panjang, membaui udara.
Dahiku berkerut, baru mendengar kosakata itu untuk pertama kalinya. “Apa itu?”
“Itu aroma harum saat hujan menyirami tanah yang kering.”
Aku mengangguk mengerti. Aku juga menyukai aroma tersebut, tapi tidak tahu bahwa wangi tersebut memiliki nama yang sangat indah.
“Terus, ada istilah apa lagi yang bagus?”
Kau meringis. “Kamu cari tau sendiri, lah. Kalau satu-satu harus aku ajarkan, lama-lama aku bisa jadi kamus.”
Lalu kau ulurkan tanganmu, menarik badanku dari birai yang kusandari, dan kemudian mengajakku berjalan kembali karena hujan deras tadi sudah menjadi gerimis.
“Ah, itu, coba kamu lihat!”
Kau mendadak menunjuk langit dengan antusias, memperlihatkan lukisan Tuhan yang berwarna indah. Lengkungnya tidak 180 derajat sempurna, hanya membentuk 90 derajat dan kemudian pudar. “Itu juga disebut bianglala. Pelangi itu bianglala. Kamu ingat-ingat, ya. Itu bonus kosakata dariku.”
Aku mengangguk-angguk, mendongakkan kepala menatap pelangi sambil mengingat namanya yang lain itu. Tanpa mungkin kau sadari, aku benar-benar mencatatnya dalam ingatanku, aku tak pernah lupa dengan dua kata ajaib yang kau bagikan kala itu. Petrikor. Bianglala.
*
Malam ini aku sulit tidur, gelisah melandaku. Aku teringat pada sosokmu.
Mungkinkah saat ini kau juga tak bisa tidur, sama sepertiku? Hatiku perih, sensasi ngilu terasa di dadaku. Mataku hendak meluncurkan kristal air itu.
Aku masih sangat merindukanmu.
Sambil mengusap mata yang telah kabur dengan air mata, aku segera mendekati laptopku. Beginilah ritualku, jika rindu padamu tak terperi. Aku akan menulis email untukmu. Tanpa yakin dan tahu pasti, apakah emailku pernah kau baca atau tidak. Satu pun belum pernah kau balas, semenjak kau menghilang 5 tahun belakangan setelah memutuskan menikah muda tanpa restu.
Aku segera mengetik kosakata yang aku temui tadi pagi.
Dersik : desir angin
Sama seperti kau yang menghilang dalam angin, aku membatin.
Lalu kuketik ‘Kirim’.
Cukup begitu isi pesanku. Aku tidak mau lagi repot-repot berbasa basi di dalam email, menanyakan kabar, memberitahukan keadaanku dan keluarga padamu seperti yang kulakukan saat awal-awal kepergian mendadakmu. Ratusan email sudah seperti itu, akhirnya aku menyerah. Aku hanya mengirim kosakata, persis seperti pesanmu saat itu, menyuruhku mencari kosakata sebanyak-banyaknya. Mungkin, aku tak berhenti mencari kosakata karena kosakata itulah satu-satunya yang menghubungkanku denganmu.
Saat merindu, kukirim satu demi satu padamu.
Aku kembali kepada tempat tidurku, memandang langit-langit yang noda-nodanya kukhayalkan sebagai bentuk wajahmu.
Kak…Apakah kau merasakan kerinduanku?
Bagaimanapun, kau saudara kembarku, kita adalah satu, dan akan selalu seperti itu.
Kubayangkan kau di waktu yang sama, di tempat berbeda, belum tertidur. Kau sedang membayangkan wajahku, wajah adikmu, setelah menatap kata ‘dersik’ yang baru datang dariku. Kuharap kau begitu.
*
Tulisan ini saya persembahkan pada Anna Rahman, sang penyumbang kosakata.