Fahri menatap layar kosong di depannya. Layar yang mulai membuka lebar, saat tirai-tirai di kedua sisi kanan-kirinya bergerak. Masih hitam layar itu, belum lagi memulai drama yang seharusnya ditayangkannya sekian menit ke depan.
“Kamu yakin mau menonton film ini?” Fahri bertanya, sambil perlahan, ia memindahkan sebuah kantung kresek ke pangkuannya, berisi dua botol minuman ditambah sekotak popcorn ukuran sedang yang dibelinya, cukup untuk berdua, ia dan wanita yang kini duduk di samping kanannya.
“Aku terserah.” Riani berkata, tanpa melirik lawan bicaranya. Matanya juga mematung ke layar hitam di depannya. Namun, tak sampai hitungan ketiga, layar itu mulai berisi gambar bergerak, meski belum memutar film yang diharapkan para penontonnya, melainkan thriller mengenai film yang akan diputar entah berapa waktu selanjutnya.
Fahri merengut, meski ia tahu, wanitanya takkan melihat raut wajah kecewanya. Pasalnya, remang telah menyelimuti studio itu. Seiring dengan adanya iklan yang kini berbaris-baris menunggu giliran sebelum film utama ditayangkan. “Seharusnya kalau kamu nggak suka, kamu bisa bilang dari kemarin.”
Riani menolak untuk menoleh. Ia tidak perlu memandang langsung ke mata pria yang duduk di sebelahnya itu. Ia tak perlu langsung melihat ekspresinya untuk mengetahui bahwa ia kini sedang diprotes. Riani terlalu lama mengenal sosok pria yang tiga tahun menjadi kekasihnya. Dari suaranya saja, Riani sudah tahu. Namun, wanita itu tetap berusaha memegang kontrol emosinya, tak berusaha untuk membalas dengan suara yang sama jengkelnya, sama ketusnya. Terlalu kekanak-kanakan menanggapi hal yang tidak penting seperti ini, pikir Riani.
“Aku sedang duduk menonton, sekarang. Artinya, aku juga mau.”
Jawaban yang dikeluarkan tak membuat Fahri puas. Baginya, itu masih pertanda ketidakrelaan. Fahri tidak suka siapapun merasa terpaksa karena tak enak padanya.
“Kamu selalu punya jawaban ya.” Fahri mengucapkan dengan sadar, dan nada yang tajam. Itu sindiran.
Riani diam, lebih karena lidahnya kelu membeku, entah malas, entah tak berani berucap. Akhirnya, pilihannya selalu sama. Tetap mematung. Tetap berusaha menahan emosi. Meski dadanya serasa dihujam pisau sedingin es. Meski pelupuk matanya mulai mendorong air yang bening ke sudut matanya. Riani dengan cepat memasang kacamata tiga dimensi yang disediakan untuknya, untuk menonton film di depannya, tak lain agar air matanya tak terlihat oleh siapa-siapa. Ia tak mau dicap cengeng, seperti biasanya jika hatinya terasa terluka oleh perilaku kekasihnya yang suka senewen padanya.
Mengapa lelaki begitu mudah menyakitinya? Mengapa pria yang menjadi kekasihnya, tak mudah mengerti jalan pikirannya, seperti Riani yang berusaha mengerti jalan pikiran kekasihnya?
Riani kadang tak mengerti. Tuntutan apa lagi yang selalu membuatnya belum jadi wanita sempurna. Ia telah berusaha sebaik-baiknya. Namun, pria yang mendampinginya, baik yang sekarang, maupun yang sebelumnya, tampaknya lebih mudah menyakitinya daripada menyayanginya.
Riani teringat akan perkataan sahabatnya,”Mau tahu mengapa kamu gampang disakiti? Karena kamu terlalu baik. Nasib orang baik memang begitu, mudah dijahati. Karena orang baik takkan melawan.”
Riani tersenyum kecil, sinis. Mungkin benar. Buktinya, ia terjebak lagi dengan orang yang perilakunya tak jauh beda dengan pria sebelumnya. Yang menuntutnya untuk sempurna. Yang selalu mudah marah jika tak dituruti keinginannya.
Sementara itu, Fahri sendiri juga memilih diam. Tak mau berkata sepatah kata pun lagi. Ia biasa menghukum kekasihnya seperti itu. Didiamkan sampai yang bersangkutan meminta maaf padanya. Ia tak mau didikte wanita, atau mudah kasihan atau iba pada wajah memelas mereka. Ia suka wanita yang tegas, yang jelas dalam berkeinginan dan berkehendak. Wanita yang kemudian hanya mengikuti mau seorang pria saja, adalah wanita yang sungguh membosankan baginya. Dan bertahun menjalani hubungan monoton yang selalu diiringi drama air mata setiap pertengkaran ia dan kekasihnya, membuat Fahri merasa dingin. Jenuh. Bosan. Tak berhasrat.
Film telah diputar lima menit lamanya. Ruangan studio itu telah gelap sepenuhnya. Bisik-bisik penonton sepi, semua terpaku pada layar, asyik menonton.
Akan tetap ada insan-insan yang tak memperhatikan apa yang diputar di hadapan mereka. Mereka adalah yang sibuk menonton apa yang di otak mereka, alih-alih menghayati film luar negeri buatan Amerika dengan segala kecanggihannya.
Riani masih sibuk dengan pikirannya.
Fahri yang juga sibuk dengan marahnya.
Masing-masing tak mau saling memandang kekasihnya. Atau memegang tangan dengan mesra seperti biasanya. Masing-masing sibuk dengan keluhan di dalam kepala. Merasa binasa dengan hubungan yang dijalani setengah hati. Tapi tak ada yang mau berkata benci atau mengakui bahwa salah satu pihak sakit hati.
Namun, sepertinya, hari ini semesta membuat anak-anak muda itu berpikir lebih keras dari biasanya, meraba perasaan mereka lebih dalam dari seharusnya, mendefinisikan ulang hubungan keduanya melebihi biasanya.
Film itu berjalan seru, namun begitulah, sebagian penontonnya tak antusias karena memang tak menonton sungguh-sungguh. Bahkan hingga film yang berdurasi satu setengah jam itu berakhir, hingga lampu ruangan itu mendadak menyala, pasangan kekasih yang sedang bertengkar tak jua mengakhiri perselisihan mereka.
Kini suasana terang benderang dengan cahaya lampu kuning menerangi ruangan studio. Riani langsung bangkit, begitu mendadak, tanpa bicara. Ia langsung saja meninggalkan Rengga, kekasihnya yang sedari tadi marah padanya. Rengga, tampak terkejut, namun tak bisa berkata apa-apa, saat Riani mendadak pergi, tak seperti biasanya. Karena biasanya, dengan kesabarannya, Riani akan memohon Rengga untuk berhenti marah, dan ia dengan besar hati akan meminta maaf, meski bukan Riani yang melakukan kesalahan. Rengga terhenyak di kursinya, tak mampu berdiri meski pengunjung yang lain satu demi satu telah berbondong-bondong menuju pintu keluar. Ia menjadi satu-satunya orang yang duduk di barisan paling atas.
Sementara Fahri, yang duduk di kursi C, ketiga dari atas, membiarkan saja Diandra, pacarnya, meninggalkan kursi terlebih dahulu. Fahri malas mengejar Diandra, wanita yang selama ini mendampinginya beberapa tahun lamanya. Fahri tak merasa berkewajiban lagi menghibur wanita itu, wanita yang tak tahu kehendaknya sendiri. Mungkin ini yang terbaik untuk dia, dan untukku juga, pikir Fahri. Dia benar-benar jenuh dan gerah dengan hubungannya.
Kedua pria itu, Fahri dan Rengga, menjadi penonton terakhir yang meninggalkan kursi mereka. Hingga sampai di pintu keluar, keduanya masih sibuk dengan pikirannya. Memikirkan wanita mereka masing-masing yang berbeda, namun dengan pertengkaran yang baru saja mereka lalui di tempat yang sama dan waktu yang sama.
.