Miscellaneous

Luka

Kamu tahu kamu tidak bisa lagi melangkah mundur, atau membalikkan badan. Yang kamu tahu hanyalah, maju dan meninggalkan semua yang ada di belakang. Kamu tersentak, karena pria yang dulu pernah meninggalkan bekas dalam pada masa lalumu tidak kembali sebagai hantu, tapi mewujud nyata di depanmu.

Tapi kamu tahu…tak ada jalan kembali untuk dirinya, bersama kamu.

Adakah dari dirimu yang salah, karena lebih memilih sendiri tanpa harus melayani siapa-siapa saat ini? Kamu bertanya dalam hati, saat orang-orang di sekitar mulai menyalahkan kamu, atas pilihanmu yang tak bertekuk lutut lagi pada pria masa lalu.

Apakah kamu memang terlalu bodoh, tak bisa melihat bahwa pria yang barusan di depanmu telah berubah menjadi pria yang sepertinya bisa menjanjikan kamu segalanya? Kamu lagi-lagi bertanya dalam hati.

Tapi…apakah arti segalanya itu? Kamu bertanya pada dirimu lagi, kesekian kali.

Kamu dahulu, telah berlutut melakukan hal yang sama padanya. Kamu dahulu, telah terluka terlalu dalam. Meski kamu tahu, kamu bukan pendendam. Hanya saja, kata maaf tidak menjadi alasan seseorang untuk melakukan dua kali kebodohan.

Kamu memejamkan mata, mengendus aroma pepohonan yang terbawa angin, serta dedaunan yang hinggap di rambutmu. Kau menyentuh sang daun yang telah retak, dan sadar bahwa daun yang telah gugur dan mengering pun takkan bisa kembali ke ranting.

Miscellaneous

Tanpa ‘Bagaimana Jika’

Aku tahu kita tak pernah benar-benar berpisah, saat tanganku dan tanganmu akhirnya terlepas, kulit kita akhirnya tak lagi bersentuhan, dan mata kita akhirnya tak lagi saling pandang.

Aku juga tahu bahwa sesungguhnya hanya jiwa ini yang tetap tinggal–ia tak pernah benar-benar pergi. Yang melekat padaku tinggal raga yang berwujud seperti cangkang, namun di dalamnya kosong, karena separuhnya telah terbawa pergi memelukmu saat langkah kakimu menapak menjauh. Isi pikiran ini pun khianat pada tuannya karena tak pernah benar-benar memikirkan apa yang seharusnya dikerjakan, namun malah memikirkan dirimu yang kini di pelupuk lautan.

Lucu ketika memikirkan bahwa sebenarnya pikiran milikku dan milikmu tidak pernah benar-benar milikku dan milikmu. Aku tidak punya kontrol atasnya, itu nyatanya. Aku rasa aku terlalu banyak menonton drama dan membaca kisah romansa. Makanya khayal dan imajinasiku merembes, liar, tak terkendali. Aku membayangkan bahwa kita saling memikirkan satu sama lain, seperti kabel yang saling terhubung satu sama lain. Meskipun sisi hitam dalam diriku membisikkan kalimat nakal seperti, mungkin saja hanya aku yang memikirkanmu, tapi kamu tidak begitu padaku.

Aku dahulu pernah berkhayal, bagaimana jika, suatu hari jarak tak pernah ada? Secara raga kita hanya jauh sedepa? Waktu dan tempat benar-benar dipersilakan untuk kita? Apakah suatu hari, kita akan sadar, bahwa kita nyaman cukup dengan telepati kita saja? Atau akankah kita sadar suatu hari, memang bersama selamanya adalah jalan kita?

Pesan teks darimu yang kemudian masuk berkali-kali saat aku mengkhayal kan itu dan ini membuat imajiku gugur seperti hujan deras yang buyar. Kamu, toh, tetap ada, tetap bersama, memikirkanku juga, dan masih meyakinkanku untuk berjalan berdua. Ada kekhawatiran yang melesat lari, kesedihan yang mendadak pergi, dan kelegaan aneh yang menghangatkan. Senyum seperti kau pakukan di bibirku dan tak bisa surut. Mungkin harus kunikmati saja kasih sayangmu saat ini, tanpa banyak bertanya ‘bagaimana jika’. Karena pada akhirnya, ucapan ‘selamat pagi’ darimu saja sudah cukup meruntuhkan semua ketakutan dan menyinarkan harapan bahkan di hari yang paling berhujan.

Miscellaneous

Mungkin Nanti

Perairan luas nan biru jernih di mataku. Di sini dingin namun perasaanku hangat. Sosok Samuel di sampingku-lah penyebab anomali ini.

Aku harus menekankan terlebih dahulu bahwa kami bukan kekasih. Pria di sampingku ini yang sering dipanggil Sam, adalah laki-laki pendiam berusia 30-an dengan wajah tirus bermata tajam bagai elang. Dia bukan tipe pria yang menarik bagi setiap wanita, bahkan banyak temanku yang mengatakan dia terlalu dingin. “Dia itu mungkin gay, Bi.” Tris, kawan karibku di kantor mewanti-wanti saat akhirnya kuungkapkan aku mungkin jatuh cinta pada sosok Sam, yang bekerja di kantor bawah. “Bukankah kau pernah bilang kita tidak bisa memilih kepada siapa kita jatuh cinta? ” Aku berdalih. Tris angkat bahu, tidak mampu melawan kata-katanya sendiri.”Iya, sih.” Kemudian sambil memandangku dengan iba ia bertanya,”Lalu perasaanmu mau kau apakan?”
“Aku tak akan melakukan hal gila, kok!” ucapku sambil tertawa-tawa,”aku cuma akan mulai dengan hal yang simpel saja dulu.  Aku ingin kenalan dan berteman.  Kalau memang jodoh, pasti tak akan kemana.” Aku mengucapkan kata-kataku dengan optimis.
Padahal, aku memang belum berteman dengannya secara resmi. Aku dan dia hanya saling bertemu dalam rapat atau pertemuan antar kantor.  Aku bahkan tidak yakin dia ingat bahwa aku ada.

“Itu baru namanya semangat.” Tris menepuk punggungku, menyemangati.
Lalu Tris mengungkapkan bahwa kantor kami akan mengadakan darmawisata akhir tahun.  Dan biasanya seluruh karyawan disarankan untuk ikut.  “Kamu bisa mulai dari sana, Bi.” Tris menyuruhku untuk memanfaatkan momen darmawisata selama 5 hari itu untuk bisa berkenalan dan lebih dekat dengan Sam. Aku mengangguk-angguk menyetujui.

Tapi begitulah, melakukan selalu tak semudah mengucapkan. Ternyata aku terlalu kikuk, grogi, dan takut. Mengajak seorang pria berkenalan ternyata tidak mudah. Lagipula, Sam selalu bersama teman-temannya. Begitupun aku. Alhasil aku dihantui kegagalan karena hingga kami di bandara dan naik pesawat untuk pulang, aku masih tidak berani mendekat, menyapa, dan berbasa-basi.
Hingga sebuah kesempatan emas dihadapkan padaku, aku ternyata duduk di samping Sam di pesawat, yang belakangan aku ketahui, adalah hasil dari upaya Tris. Sebagai pengumpul tiket kami, ia sengaja memasangkan aku dengan Sam duduk bersebelahan.
Setelah itu barulah interaksi terjadi di antara kami.

*
“Kamu diam-diam menguntitku, kan?” Pertanyaan Sam yang sangat ringkas, padat, akurat, segera mengembalikanku dari lamunan kilas balik tadi. Aku merasa malu sekali, namun mengelak juga percuma. “Kok tahu?” tanyaku dengan nada khas pelawak, sambil menghilangkan nada grogi.
“Pasti tahu. Kamu juga tahu kan perasaan seperti dada yang tergelitik kalau ada yang memandangi kita?” Aku terkekeh. “Aku ingin berteman denganmu, Sam.”
“Sekarang sudah.” Sam menjawab tulus.
“Ah ya, sekarang sudah.” Aku membeo.
“Aku hanya berharap kamu melakukannya lebih cepat, Bi.”
Kemurungan melandaku setelah kalimat Sam itu.”Kamu benar, dan waktu tidak bisa diulang.”
“Sam, tapi bukankah lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali?” lanjutku.
Sam menatapku dengan mata tajamnya. Namun terkandung kesedihan yang begitu polos dan murni di dalam matanya. “Sudah waktunya.” Wujudnya seakan memudar setelah ia berkata seperti itu.”Aku telah ditemukan Bi, aku bisa merasakannya.”
Aku bisa melihat wujudnya yang seakan Semakin lama semakin transparan. Seakan ia akan lenyap dan kemudian menghilang. Aku tak sanggup berkata apa pun.”Sangat menyenangkan mengobrol bersamamu, Bi. Kuharap, kita masih punya banyak waktu…dan tidak dalam keadaan seperti ini…seperti kehidupan pada umumnya, kau tahu.” Suara Sam sedikit bergetar, entah karena emosinya, atau karena eksistensinya yang semakin lenyap.
“Mungkin di waktu yang lain. Kesempatan lain.” Ada yang mencekat sehingga suaraku berubah menjadi bisikan lemah, “Dunia lain.” Aku mengungkapkan kata-kata terakhirku, dan dengan segera sosok Sam lenyap. Aku sempat melihat senyum tipisnya sebelum lautan seakan menelannya.
Aku bisa merasakan wujudku juga semakin memudar, berada dalam keadaan ada dan tiada. Aku duduk di sebelah Sam di pesawat. Jika orang-orang menemukan jasad Sam, maka mereka akan menemukan jasadku juga, badan harfiah kami yang terikat kuat dengan sabuk pengaman, namun teronggok di dasar lautan. Aku bisa merasakan jasmaniku diangkat perlahan, seiring dengan wujud keberadaanku yang pelan-pelan menipis, dan akhirnya lenyap–meninggalkan laut biru dan hijau yang menjadi pemandanganku dan Sam, entah untuk berapa lama dalam dimensi waktu manusia hidup.

Aku berharap aku akan menyusul Sam.

Miscellaneous

Percaya Saja

Ken terbangun di tengah malam, karena mendengar suara isak tangis yang terdengar lemah di sampingnya. Refleks, pria itu membalikkan badan, melihat sosok istrinya yang rupanya mengigau dalam tidurnya. Sepertinya istrinya sedang mengalami mimpi yang sangat buruk.

“Tih, bangun…” Ken mengguncang lembut bahu Ratih, agar Ratih segera terbangun dan sadar. Mereka baru saja menikah tiga bulan ini, dan meski Ken telah mengetahui bahwa Ratih seringkali bermimpi buruk semenjak pacaran tiga tahun lalu, namun tetap saja Ken merasa tak nyaman melihat istrinya itu ketakutan atas hal yang tak terlihat. Ekspresi Ratih tampak sangat sedih, dan erangan-erangan tak jelas keluar dari mulutnya.

Ratih terbangun, langsung terduduk dan terisak-isak mendekap suaminya. Ken memeluk Ratih sejenak, menenangkan hati wanita itu. Kemudian Ken menyuruh Ratih untuk duduk tenang sementara ia mengambilkan air putih untuk istrinya. Tak begitu lama, keadaan Ratih pun mulai pulih. Nafasnya yang tadinya cepat mulai melambat. Ia mulai menguasai perasaannya sendiri.

“Mimpi buruk?” tanya Ken kemudian.
Ratih mengangguk.
“Ceritakanlah,” desak Ken.
Ratih pun mulai menceritakan mimpinya. Sebenarnya mimpinya merupakan tipikal kejadian yang tentunya dihindari pasangan dalam rumah tangga, yakni perselingkuhan. Ratih melihat Ken yang bercumbu dan bermesraan dengan wanita lain, dan Ken yang akhirnya memilih wanita itu daripada Ratih. Hal-hal tersebut-lah yang membuat Ratih terisak-isak. Ia yang sangat mencintai Ken. Ia yang sangat tidak ingin kehilangan Ken. Ia yang rapuh bila Ken tidak ada. Ketiadaan Ken dalam hidupnya, adalah ketakutan terbesarnya.

Ken tidak memotong sekali pun cerita istrinya. Ia biarkan saja istrinya menceritakan mimpinya tanpa banyak membantah, agar istrinya bisa sedikit lebih lega. Ia tahu, mimpi buruk yang dialami Ratih, mungkin adalah perwujudan dari alam bawah sadar Ratih selama ini yang terlalu takut kehilangan dirinya. Sementara selama ini Ken sangat setia, tidak pernah terpikir olehnya mencari pengganti Ratih. Ia sudah tahu begitu saja, Ratih adalah pemberentian terakhirnya, tempat ia melabuhkan segala usaha dan kerja kerasnya, tempat ia kembali pulang.

“Aku tidak tahu bagaimana cara meyakinkan orang, karena memang tidak ada caranya,” kata Ken sambil memandang dalam mata istrinya. “Kau justru orang yang paling tahu, yang paling dekat denganku, melihat aku dan keseharianku. Apakah menurutmu aku akan melakukan semua yang ada di mimpimu?”
Ratih menggeleng.
“Tih, jika saja hati itu bisa dibaca seperti membaca buku, atau bisa kau genggam seperti tanganku ini, mungkin kau akan mudah tahu apakah aku sekarang jujur atau tidak, berusaha merayumu atau tidak. Justru karena hati itu tak terlihat, diperlukanlah yang namanya kepercayaan. Tanpa itu, hubungan sekuat apapun pasti hancur, Tih.”
Ratih terdiam. Butir-butir kristal jatuh dari matanya. “Apa aku salah, jika aku merasa takut dan khawatir?”
“Tidak masalah merasa takut, itu manusiawi. Yang menjadi masalah adalah ketika kamu tidak bisa menguasainya dan membiarkan rasa takut itu menguasai dirimu. Apalagi kalau sampai mengganggu hubungan kita, tentu akan jadi masalah besar. Segala sesuatu yang berlebihan itu tidak baik, kamu tahu itu.”
“Aku tidak tahu aku bisa mengendalikan pikiranku atau tidak…”
Serta-merta, Ken menggenggam tangan Ratih, menatap hingga jauh menembus ke dalam hitamnya mata Ratih, membuat Ratih bahkan kikuk karena ditatap seperti itu. “Kamu bisa. Kamu akan baik-baik saja. Dan aku ada di sini. Ulangi.”
“Aku bisa. Aku akan baik-baik saja. Dan, kamu ada di sini.” Seperti sebuah keajaiban, Ratih merasakan hatinya yang lepas dari beban berat yang mengungkungnya selama ini. Pengulangan kata-kata yang positif dari suaminya barusan membuat Ratih merasa lebih kuat dan tegar. “Ya, aku di sini. Masih di sini.” Ken mengecup sekilas dahi istrinya, membuat hati Ratih mengembang. Ratih langsung berucap syukur dalam hati, karena mendapat suami sebaik Ken.
“Tapi sebenarnya kalau kamu mimpi buruk, yang paling kukhawatirkan bukan masalah perasaanmu,” kata Ken, sembari membaringkan badan, siap-siap untuk tidur kembali.
“Oh ya, lalu apa?”
“Yah, soalnya kalau kamu mengigau terus, kamu mengganggu tidur nyenyakku.” Ken bercanda sambil menutupi kepalanya dengan bantal, menghindari serangan cubitan dari istrinya.

Miscellaneous

Janji

Di satu kota yang sama-sama tak pernah kita jejaki
Di bawah langit yang sama-sama belum pernah kita huni
Kita berjanji

Mungkinkah akan datang hari
dimana bintangku dan bintangmu adalah belahan yang sama dari bimasakti
Mungkinkah waktu akan menguji
menghempaskan semua yang aku dan kau pernah tapaki

Semua laksana judi
Kegelisahanku menjadi
Kebahagiaanku terhalangi
Namun panggilanmu selalu,
mampu membuatku menoleh untuk kembali

Karena satu yang tak kuinginkan adalah jatuhnya air matamu.

Miscellaneous

Jawaban

Kepada: Engkau.

Perihal : Jawaban.

.

Tulisan ini hadir, karena sebuah pertanyaan yang tak mudah kujawab engkau lontarkan padaku. ‘Bagaimana selama ini engkau melihatku?’ Aku terpaku, kesulitan merangkai kait kata untukmu. Namun, kini kuusahakan memperbaiki jawaban kliseku. Semoga ini mampu memuaskan dahaga keingintahuanmu. 

Aku tak pernah percaya pada kebetulan. Aku yakin bahkan setiap langkah kita telah dituliskan. Begitu pun saat akhirnya aku dan kau menjajaki sebuah pertemuan. Aku, yang sedari mula tak berani menggapai impian, tanpa sadar telah melihatmu sebagai tujuan, bukan lagi sebuah impian.

Pernah kudengar ungkapan, lihat seberapa sakitnya engkau, bila engkau ingin tahu seberapa dalamnya engkau mencintai seseorang. Aku telah tahu, rasanya kehilanganmu beberapa kali. Aku hanya tak mau kehilanganmu meski satu kali lagi. Jangan tanyakan bagaimana waktu itu aku bisa melalui hari.

Mungkin aku bisa memberikanmu kata-kata indah untuk menghangatkan hatimu, atau membuaimu dengan untaian kalimat manis yang memaku senyummu. Namun, untukmu, tak bisa kuberikan semua itu. Sebagai manusia yang punya keterbatasan, tak mungkin kuberikan janji palsu yang melebihi kapasitasku. 

Justru jika aku menjanjikan ‘selamanya’ padamu. Itulah kebohongan.
Atau saat aku memberikanmu kata-kataku, ‘Akan kubahagiakan engkau selalu’. Itu juga kebohongan.
Dan apabila aku mengatakan,’Aku takkan pernah meninggalkanmu.’ Itu pun kebohongan.

Bahkan, untuk menulis puisi padamu saja, ternyata tak bisa sehangat yang aku janjikan.

Namun harus kau renungkan, kekhawatiranku yang berlebihan atasmu berdiri di atas pemikiran panjang. Engkau adalah orang pertama yang membuatku ingin merasionalisasikan segalanya, bukan menggampangkan semua. Engkau membuatku ingin membuat berbagai rencana dalam kepala, rencana yang bukan sekedar kata, tapi ingin diwujudkan dalam nyata. Dan karena engkau sangat berarti, aku tak ingin membuat ‘kita’ menjadi khayalan tinggi.

Engkau bagai sebuah rencana besar yang ingin kupersiapkan dengan penuh perencanaan matang. Ibarat orang yang akan melakukan pementasan, aku ingin lebih banyak latihan. Aku ingin berlatih menghadapi kecewamu. Aku ingin pandai meredam emosimu. Aku ingin cekatan menaikkan semangatmu. Aku ingin lihai mengundang tawamu. Aku ingin terbiasa melebur dalam kehidupanmu. Sehingga, ketika hari yang dinantikan itu tiba, aku tahu aku takkan mengecewakanmu.

Begitulah kira-kira jawabku. Terlampir kasih dan hangat yang semoga dikirim semesta padamu, ketika membaca tulisanku. 

.

Tertanda,

Aku. 

.

Miscellaneous

Yang Hilang

Wanita itu tak mampu menjelaskan, rasa kebas yang kini tengah menghujamnya. Akhirnya lelaki-nya telah menjatuhkan pilihan. Telah menetapkan kepastian. Vonis yang mengubah hidup lelaki itu, wanita itu, serta mungkin masa depan yang tak lagi berisi iming-iming dan impian keduanya. Semua janji menghilang bagaikan angin, hanya terasa di permukaan kulit, kemudian pergi mengembus dalam sekejap. Sama seperti yang dipikirkan sekarang oleh wanita itu. Semua hal yang ia bangun, satu per satu, usaha per usaha, langkah per langkah, hanya terasa bagai hembusan angin. Begitu menyejukkan, menyegarkan, namun berlalu sangat, sangat, cepat. Kemudian tak meninggalkan apa-apa, kecuali bekas dalam ingatan, bahwa di masa lalu, semua yang dilaluinya bersama lelaki itu pernah ada. 

Wanita itu tak lagi menangis. Setetes pun air matanya tak jatuh. Wanita itu berusaha untuk terlihat normal, yakni menangis di kala sedih. Tapi untuk apa? batin wanita itu. Ia kehilangan alasan untuk menangis, karena ia memang tak merasa sedih. Entah mengapa. 

Padahal lelaki itu adalah bagian dari hidupnya, beberapa kurun waktu lalu. Hitungan kebersamaan keduanya bukan hanya harian, mingguan, maupun bulanan, namun jauh, jauh, jauh dari itu. Yang dilaluinya bersama lelaki itu pun tak hanya sekedar kata. Keduanya pernah, berbagi semuanya. Apa saja. 

Wanita itu terbawa kembali dalam seretan masa lalunya. Entah apa yang membuatnya jatuh sekeras-kerasnya pada cinta lelaki itu. Sepertinya cinta benar-benar buta, memilihnya dan lelaki itu, padahal sejak awal dia tahu, ada yang salah. Ada yang seharusnya tak dilakukan. Ada yang seharusnya tak dibenarkan. Hubungannya dengan lelaki itu melanggar begitu banyak perasaan. Mengorbankan begitu banyak tangisan. Namun korban utama, tak lain adalah dirinya sendiri. 

Wanita itu tak bisa menghindar. Tidak, tidak, sebenarnya ia bisa memilih. Namun, ia terjebak dalam bayang. Ketakutan. Kekhawatiran. Sementara ia butuh kepastian. Padahal tak satu kata atau perbuatan pun dari lelaki itu, yang menunjukkan bahwa ia bisa mengobati ketakutan dan kekhawatiran wanita itu. Namun wanita itu tetap yakin, berpegang pada bayang-bayang semu. Bayangan yang ia ciptakan sendiri dalam pikirannya. Dimana ia telah mencitrakan lelaki itu sebagai sosok akhir, sosok kesempurnaan yang menjadi akhir dari pencariannya. 

Kemudian wanita itu sadar, citra dalam kepalanya-lah yang ia cintai. Bukan sosok sebenar lelaki itu. Lelaki itu tak pernah memilihnya. Ya. Pikiran itu mengulang-ulang sendiri dalam otak wanita itu. Lelaki itu memang tak pernah benar-benar memilihnya.

Mungkin itulah sebabnya mengapa wanita itu tak merasakan apa-apa. Mungkin itulah kiranya yang membuatnya kebal terhadap rasa sakit yang seharusnya dirasakannya sekarang, karena telah kehilangan lelaki itu, lelaki yang menjadi sandarannya. Karena ia sebenarnya sudah kehilangan lelaki itu sebelumnya. Ia telah kehilangan lelaki itu–berkali-kali, dengan setiap sakit terpendam yang diakibatkan oleh lelaki itu. Wanita itu hanya tak menyadarinya.

Kini wanita itu terdiam, tak memikirkan apa-apa. Tak berusaha mengenang apa-apa. Atau menyesali kejadian yang sudah-sudah. Ia telah terbebas dari lelaki itu, yang selama ini, telah membelenggunya. Penjara itu terbuka. Wanita itu memejamkan mata, menarik sedalam mungkin nafas dan mengembuskannya keras. Ada yang menjadi lapang. Ada yang semakin tenang. Jauh di dalam hatinya, wanita itu bersyukur atas kehilangannya. 

Miscellaneous

Serupa Sama

Fahri menatap layar kosong di depannya. Layar yang mulai membuka lebar, saat tirai-tirai di kedua sisi kanan-kirinya bergerak. Masih hitam layar itu, belum lagi memulai drama yang seharusnya ditayangkannya sekian menit ke depan.

“Kamu yakin mau menonton film ini?” Fahri bertanya, sambil perlahan, ia memindahkan sebuah kantung kresek ke pangkuannya, berisi dua botol minuman ditambah sekotak popcorn ukuran sedang yang dibelinya, cukup untuk berdua, ia dan wanita yang kini duduk di samping kanannya.

“Aku terserah.” Riani berkata, tanpa melirik lawan bicaranya. Matanya juga mematung ke layar hitam di depannya. Namun, tak sampai hitungan ketiga, layar itu mulai berisi gambar bergerak, meski belum memutar film yang diharapkan para penontonnya, melainkan thriller mengenai film yang akan diputar entah berapa waktu selanjutnya.

Fahri merengut, meski ia tahu, wanitanya takkan melihat raut wajah kecewanya. Pasalnya, remang telah menyelimuti studio itu. Seiring dengan adanya iklan yang kini berbaris-baris menunggu giliran sebelum film utama ditayangkan. “Seharusnya kalau kamu nggak suka, kamu bisa bilang dari kemarin.”

Riani menolak untuk menoleh. Ia tidak perlu memandang langsung ke mata pria yang duduk di sebelahnya itu. Ia tak perlu langsung melihat ekspresinya untuk mengetahui bahwa ia kini sedang diprotes. Riani terlalu lama mengenal sosok pria yang tiga tahun menjadi kekasihnya. Dari suaranya saja, Riani sudah tahu. Namun, wanita itu tetap berusaha memegang kontrol emosinya, tak berusaha untuk membalas dengan suara yang sama jengkelnya, sama ketusnya. Terlalu kekanak-kanakan menanggapi hal yang tidak penting seperti ini, pikir Riani.

“Aku sedang duduk menonton, sekarang. Artinya, aku juga mau.”

Jawaban yang dikeluarkan tak membuat Fahri puas. Baginya, itu masih pertanda ketidakrelaan. Fahri tidak suka siapapun merasa terpaksa karena tak enak padanya.

“Kamu selalu punya jawaban ya.” Fahri mengucapkan dengan sadar, dan nada yang tajam. Itu sindiran.

Riani diam, lebih karena lidahnya kelu membeku, entah malas, entah tak berani berucap. Akhirnya, pilihannya selalu sama. Tetap mematung. Tetap berusaha menahan emosi. Meski dadanya serasa dihujam pisau sedingin es. Meski pelupuk matanya mulai mendorong air yang bening ke sudut matanya. Riani dengan cepat memasang kacamata tiga dimensi yang disediakan untuknya, untuk menonton film di depannya, tak lain agar air matanya tak terlihat oleh siapa-siapa. Ia tak mau dicap cengeng, seperti biasanya jika hatinya terasa terluka oleh perilaku kekasihnya yang suka senewen padanya.

Mengapa lelaki begitu mudah menyakitinya? Mengapa pria yang menjadi kekasihnya, tak mudah mengerti jalan pikirannya, seperti Riani yang berusaha mengerti jalan pikiran kekasihnya?

Riani kadang tak mengerti. Tuntutan apa lagi yang selalu membuatnya belum jadi wanita sempurna. Ia telah berusaha sebaik-baiknya. Namun, pria yang mendampinginya, baik yang sekarang, maupun yang sebelumnya, tampaknya lebih mudah menyakitinya daripada menyayanginya.

Riani teringat akan perkataan sahabatnya,”Mau tahu mengapa kamu gampang disakiti? Karena kamu terlalu baik. Nasib orang baik memang begitu, mudah dijahati. Karena orang baik takkan melawan.”

Riani tersenyum kecil, sinis. Mungkin benar. Buktinya, ia terjebak lagi dengan orang yang perilakunya tak jauh beda dengan pria sebelumnya. Yang menuntutnya untuk sempurna. Yang selalu mudah marah jika tak dituruti keinginannya.

Sementara itu, Fahri sendiri juga memilih diam. Tak mau berkata sepatah kata pun lagi. Ia biasa menghukum kekasihnya seperti itu. Didiamkan sampai yang bersangkutan meminta maaf padanya. Ia tak mau didikte wanita, atau mudah kasihan atau iba pada wajah memelas mereka. Ia suka wanita yang tegas, yang jelas dalam berkeinginan dan berkehendak. Wanita yang kemudian hanya mengikuti mau seorang pria saja, adalah wanita yang sungguh membosankan baginya. Dan bertahun menjalani hubungan monoton yang selalu diiringi drama air mata setiap pertengkaran ia dan kekasihnya, membuat Fahri merasa dingin. Jenuh. Bosan. Tak berhasrat.

Film telah diputar lima menit lamanya. Ruangan studio itu telah gelap sepenuhnya. Bisik-bisik penonton sepi, semua terpaku pada layar, asyik menonton.

Akan tetap ada insan-insan yang tak memperhatikan apa yang diputar di hadapan mereka. Mereka adalah yang sibuk menonton apa yang di otak mereka, alih-alih menghayati film luar negeri buatan Amerika dengan segala kecanggihannya.

Riani masih sibuk dengan pikirannya.

Fahri yang juga sibuk dengan marahnya.

Masing-masing tak mau saling memandang kekasihnya. Atau memegang tangan dengan mesra seperti biasanya. Masing-masing sibuk dengan keluhan di dalam kepala. Merasa binasa dengan hubungan yang dijalani setengah hati. Tapi tak ada yang mau berkata benci atau mengakui bahwa salah satu pihak sakit hati.

Namun, sepertinya, hari ini semesta membuat anak-anak muda itu berpikir lebih keras dari biasanya, meraba perasaan mereka lebih dalam dari seharusnya, mendefinisikan ulang hubungan keduanya melebihi biasanya.

Film itu berjalan seru, namun begitulah, sebagian penontonnya tak antusias karena memang tak menonton sungguh-sungguh. Bahkan hingga film yang berdurasi satu setengah jam itu berakhir, hingga lampu ruangan itu mendadak menyala, pasangan kekasih yang sedang bertengkar tak jua mengakhiri perselisihan mereka.

Kini suasana terang benderang dengan cahaya lampu kuning menerangi ruangan studio. Riani langsung bangkit, begitu mendadak, tanpa bicara. Ia langsung saja meninggalkan Rengga, kekasihnya yang sedari tadi marah padanya. Rengga, tampak terkejut, namun tak bisa berkata apa-apa, saat Riani mendadak pergi, tak seperti biasanya. Karena biasanya, dengan kesabarannya, Riani akan memohon Rengga untuk berhenti marah, dan ia dengan besar hati akan meminta maaf, meski bukan Riani yang melakukan kesalahan. Rengga terhenyak di kursinya, tak mampu berdiri meski pengunjung yang lain satu demi satu telah berbondong-bondong menuju pintu keluar. Ia menjadi satu-satunya orang yang duduk di barisan paling atas.

Sementara Fahri, yang duduk di kursi C, ketiga dari atas, membiarkan saja Diandra, pacarnya, meninggalkan kursi terlebih dahulu. Fahri malas mengejar Diandra, wanita yang selama ini mendampinginya beberapa tahun lamanya. Fahri tak merasa berkewajiban lagi menghibur wanita itu, wanita yang tak tahu kehendaknya sendiri. Mungkin ini yang terbaik untuk dia, dan untukku juga, pikir Fahri. Dia benar-benar jenuh dan gerah dengan hubungannya.

Kedua pria itu, Fahri dan Rengga, menjadi penonton terakhir yang meninggalkan kursi mereka. Hingga sampai di pintu keluar, keduanya masih sibuk dengan pikirannya. Memikirkan wanita mereka masing-masing yang berbeda, namun dengan pertengkaran yang baru saja mereka lalui di tempat yang sama dan waktu yang sama.

.