Miscellaneous

Dariku Untukmu

D A R I K U

 
Aku adalah pemuja kata, frasa, kalimat dan prosa

Namun aku juga memujimu, yang dianugerahkan Tuhan padaku

Giliranku untuk memberikan sedikit bahagia

Rasa-rasanya, lama aku tak berbagi peluk, tawa dan canda

Aku ingin sekali, kembali ke masa itu, dimana

Impian adalah penyala semangat kita

Narasi masa lampau dan masa kini mungkin berbeda, tapi

Indah saat bersama dahulu, tak mudah terlupa.

.

 

U N T U K M U

 

Angan-angan itu, memang benar,

Nampak jauh serta samar

Gelisah ini tak mungkin pergi

Resah juga tak mudah mati

Akan tetapi, hidup tetap harus dijalani

Ingin dan harap adalah pertanda

Nuranimu sebenarnya masih berkata,

Impian ini adalah bahan bakar hati

Miscellaneous

DERSIK

Jika suatu malam kau tak bisa tidur, maka mungkin penyebabnya adalah aku yang juga tak bisa tidur.

Entah mengapa, aku selalu yakin, aku dan kamu terhubung. Kita adalah satu. Kau itu aku, aku adalah dirimu. Tapi, ketika kuungkapkan hal itu, kau hanya tertawa saja. Menanggapi dengan enteng dan senyum miring, meremehkan kepribadianku yang selalu kau anggap, ‘sensitif dan melankolis’.

“Kita ‘kan manusia yang berbeda, dengan pemikiran yang berbeda. Tidak mungkin ada koneksi-koneksi semacam itu, kecuali…”

“Kecuali apa?” tanyaku dengan penasaran.

“Kecuali kalau kamu… dukun?”

Kemudian kau tertawa terguling-guling menyebalkan dengan mata berair, sementara aku cemberut menyaksikanmu yang tiada henti mengolokku. Usia kita 15 saat itu.

Meski terlihat sangat tidak melankolis, dan seperti berkebalikan denganku, sebenarnya kau jauh berbakat dariku dalam meramu kata. Nilai bahasa yang kau raih, entah Bahasa Indonesia, atau bahasa asing lainnya, selalu lebih unggul. Jika mengikuti lomba menulis cerita pendek atau membaca dan menulis puisi, kau seringkali menang. Prestasimu tak tinggi-tinggi benar, bukan peraih juara nasional atau juara umum. Tapi untuk lomba antarpelajar di kota, kau adalah lawan yang ditakuti. Aku kadang heran, mengapa kau yang terkadang apatis terhadap aku yang perasa, tidak sadar kalau sebenarnya kau itu jauh lebih perasa lagi karena mampu menerjemahkan dunia lewat indahnya kata.

Ayah pernah berkata, kau itu pintar berkata-kata karena kau rajin membaca buku, sementara aku terlalu banyak menonton televisi. Mungkin itu ada benarnya.

Salah satu kenangan yang takkan pernah kulupa adalah saat pertama kalinya kau kenalkan kosakata baru padaku, dalam salah satu perjalanan pulang kita dari sekolah ke rumah. Saat itu, kita masih kelas 3 SMA. Langit yang tadinya cerah mendadak terhapus hujan, seperti tirai air yang menerjang bumi tanpa tanda. Kita berdua berlari kencang menghindari kencangnya angin yang mengangkut titik hujan, menuju ke bawah jembatan. Kita terhenti di salah satu sudut yang masih cukup kering, dan bersandar lelah di birainya. Matahari yang masih bersinar lembut telah semakin merangkak ke sebelah barat, sinarnya yang semakin miring menimbulkan bias cahaya di antara hujan.

“Semoga ada pelangi,” ucapku sambil menadahkan tangan, menyentuh titik-titik hujan yang lolos dari kelompoknya, yang menciprati jembatan menjadi aliran hujan yang lebih kecil.

“Kalau hujan, aku lebih suka petrikor.” Kemudian dia menarik nafas panjang, membaui udara.

Dahiku berkerut, baru mendengar kosakata itu untuk pertama kalinya. “Apa itu?”

“Itu aroma harum saat hujan menyirami tanah yang kering.”

Aku mengangguk mengerti. Aku juga menyukai aroma tersebut, tapi tidak tahu bahwa wangi tersebut memiliki nama yang sangat indah.

“Terus, ada istilah apa lagi yang bagus?”

Kau meringis. “Kamu cari tau sendiri, lah. Kalau satu-satu harus aku ajarkan, lama-lama aku bisa jadi kamus.”

Lalu kau ulurkan tanganmu, menarik badanku dari birai yang kusandari, dan kemudian mengajakku berjalan kembali karena hujan deras tadi sudah menjadi gerimis.

“Ah, itu, coba kamu lihat!”

Kau mendadak menunjuk langit dengan antusias, memperlihatkan lukisan Tuhan yang berwarna indah. Lengkungnya tidak 180 derajat sempurna, hanya membentuk 90 derajat dan kemudian pudar. “Itu juga disebut bianglala. Pelangi itu bianglala. Kamu ingat-ingat, ya. Itu bonus kosakata dariku.”

Aku mengangguk-angguk, mendongakkan kepala menatap pelangi sambil mengingat namanya yang lain itu. Tanpa mungkin kau sadari, aku benar-benar mencatatnya dalam ingatanku, aku tak pernah lupa dengan dua kata ajaib yang kau bagikan kala itu. Petrikor. Bianglala.

*

Malam ini aku sulit tidur, gelisah melandaku. Aku teringat pada sosokmu.

Mungkinkah saat ini kau juga tak bisa tidur, sama sepertiku? Hatiku perih, sensasi ngilu terasa di dadaku. Mataku hendak meluncurkan kristal air itu.

Aku masih sangat merindukanmu.

Sambil mengusap mata yang telah kabur dengan air mata, aku segera mendekati laptopku. Beginilah ritualku, jika rindu padamu tak terperi. Aku akan menulis email untukmu. Tanpa yakin dan tahu pasti, apakah emailku pernah kau baca atau tidak. Satu pun belum pernah kau balas, semenjak kau menghilang 5 tahun belakangan setelah memutuskan menikah muda tanpa restu.

Aku segera mengetik kosakata yang aku temui tadi pagi.

Dersik : desir angin

Sama seperti kau yang menghilang dalam angin, aku membatin.

Lalu kuketik ‘Kirim’.

Cukup begitu isi pesanku. Aku tidak mau lagi repot-repot berbasa basi di dalam email, menanyakan kabar, memberitahukan keadaanku dan keluarga padamu seperti yang kulakukan saat awal-awal kepergian mendadakmu. Ratusan email sudah seperti itu, akhirnya aku menyerah. Aku hanya mengirim kosakata, persis seperti pesanmu saat itu, menyuruhku mencari kosakata sebanyak-banyaknya. Mungkin, aku tak berhenti mencari kosakata karena kosakata itulah satu-satunya yang menghubungkanku denganmu.

Saat merindu, kukirim satu demi satu padamu.

Aku kembali kepada tempat tidurku, memandang langit-langit yang noda-nodanya kukhayalkan sebagai bentuk wajahmu.

Kak…Apakah kau merasakan kerinduanku?

Bagaimanapun, kau saudara kembarku, kita adalah satu, dan akan selalu seperti itu.

Kubayangkan kau di waktu yang sama, di tempat berbeda, belum tertidur. Kau sedang membayangkan wajahku, wajah adikmu, setelah menatap kata ‘dersik’ yang baru datang dariku. Kuharap kau begitu.

*

Tulisan ini saya persembahkan pada Anna Rahman, sang penyumbang kosakata. 

Miscellaneous

A C I L

Ketika aku ditanya,”Siapa yang meninggal?” Maka akan kujawab,”Acilku.”

“Oohh acilmu yang itu…?” Kalimat selanjutnya akan bervariasi, tapi merujuk pada orang yang sama.

“Acilmu yang mengantar makanan tiap sore pas kamu bimbel SMP?” kata seorang sahabat, teman sebangkuku waktu kelas 3 SMP.
“Acilmu itu yang sering datang dan belanja di warung ibuku?” tanya rekan kerjaku.
“Acilmu yang waktu itu sering antar-jemput waktu kita SD? Aku malah lebih ingat tantemu itu daripada ibumu.” Seorang teman SD-ku berucap ketika tak sengaja dia mengantar makanan katering untuk ibuku.

Namun lebih banyak lagi orang yang terdiam, tahu betapa Acil adalah sosok yang sangat berharga, sehingga momen-momen di atas hanya sekeping kenangan yang belum menjadi representasi kebaikan dirinya. Momen-momen di atas, hanya bagi mereka yang sedikit mengenal Acilku, dan itu sudah cukup menunjukkan bahwa Acil memang luar biasa. Momen-momen yang direkam oleh teman, keluarga, dan terutama bagiku yang hidup bersamanya, tidak bisa rampung dalam satu kalimat tanya.

Acil meninggal di hari ketiga bulan lalu. Pemilihan hari yang sangat baik. Tanggal merah, dimana semua orang libur, sehingga semua orang bisa hadir dan mengurus pemakamannya dengan layak. Beliau tidak meninggal di rumah sakit–karena selama sakit, ia tidak dirawat di rumah sakit–melainkan di kamarnya sendiri di pagi hari setelah shalat subuh di hari Jum’at. Kepergiannya terasa sangat mendadak, karena sebenarnya beliau berangsur sembuh dan bahkan bisa kemana-mana dengan roda dua sendirian.

“Sama sekali tidak mau merepotkan orang lain.” Semua orang sepakat. Selama ini, lebih banyak kami yang merepotkan Acil.

Acilku, kakak ibuku, beberapa bulan sebelum wafat divonis terkena penyakit hati. Ia memang jarang ke dokter, jarang mau memeriksa kesehatan, jarang berolahraga, jarang menjaga makanan, namun punya aktivitas sangat tinggi. Hingga pensiun, ia masih sibuk–sibuk mengurus orang lain dan keluarga. Ia memang tidak menikah dan tidak punya anak. ‘Kebebasan’ itu ia gunakan untuk menolong orang lain semampunya.

Ketika tahu ia akhirnya meninggal karena penyakit hati, dalam hatiku terlintas ucapan yang masih terngiang-ngiang hingga kini: She literally gives her heart. Ia memang memberikan hatinya. Dari urusan kancing lepas, pulsa habis, urusan surat-surat, membeli makanan, membayar tagihan, mengurus rumah, dan seterusnya, semua ditangani oleh Acil. Bukan hanya rumahku, rumah yang seringkali menjadi markas keduanya, tapi juga keluarga kami yang lain atau teman-teman kantor. Meskipun pensiun, ia masih masuk kantor setiap hari supaya bisa membuatkan teh untuk teman satu ruangan kantornya. Bahkan hingga di titik akhir hidupnya, ia tidak merepotkan orang lain. Sehari sebelum meninggal, Acil pergi berkendara, membayar listrik rumah dan mengisi tabung gas, juga mengambil pensiunnya di kantor meskipun ia tergopoh-gopoh dan harus minta bantuan satpam agar bisa naik tangga. Ia bahkan sempat membersihkan rumah, dan meminta saudaranya untuk memotongkan kukunya. Ketika ditemukan meninggal di hari berikutnya, ia hanya seperti orang yang tertidur, namun tak kunjung bangun.

Hal yang membuatku sedih adalah kenyataan bahwa aku memang tidak bisa melewatkan waktu bersamanya di hari-hari terakhirnya. Hampir semua orang membicarakan tentang momen terakhir mereka bertemu dengan Acil. Dan aku tidak bisa membalas karena momen terakhirku bersamanya adalah lebaran tahun silam. Aku tidak sempat bersamanya selama dia sakit, karena perantauanku. Sesuatu yang antara kusesali dan tidak.

Aku memang berduka karena tidak melihatnya, menjenguknya, dan membantunya saat ia sakit selama beberapa bulan terakhir. Kepergiannya hanya bisa aku ratapi sendiri, jauh dari keluarga. Aku hanyalah manusia biasa yang tidak tahu kapan takdir akan menjemputku dan keluargaku. Jika aku tahu, tentu aku akan pulang sebelum tanggal kematiannya, bukan merencanakan pulang 20 hari setelahnya. Tapi aku tidak tahu, dan tidak akan pernah bisa tahu.

Orang lain boleh berebut memiliki kenangan terakhir bersamanya, tapi aku punya kenangan seumur hidup bersamanya. Bertahun-tahun aku tinggal serumah dengannya. Sewaktu kecil, selama aku tidur di sebelahnya. Tangannya-lah yang menyuapiku makan. Pinggangnya yang aku pegang ketika ia menjemputku pulang sekolah.

Ia sudah seperti ibuku sendiri. Kisah hidupku, akan selalu membawa acil di dalamnya, dan aku bangga hidup dalam kebaikan hati dari seseorang seperti dirinya.

Kadang, ia tak terasa seperti sudah tiada. Ia seakan masih ada, berjalan di dalam rumah, duduk di kursi di sampingku, berbicara bersamaku. Ia berada dimana-mana dan terasa tidak pernah pergi kemana-mana. Hanya makam dengan nisan bertuliskan namanya yang menjadi monumen penegas bahwa ia memang sudah lebih dahulu pergi.

Samar-samar, kerinduan yang melingkupi hatiku saat mengucapkan doa di atas kuburnya membuat rasa berduka ini muncul ke permukaan. Hujan deras yang mendadak muncul tadi pagi mengaburkan titik air mata yang diam-diam mengalir saat ibuku membacakan do’a ziarah kubur. Namun, kusadari kepergian yang terasa begitu cepat ini bukanlah akhir dari segalanya. Suatu saat nanti, aku akan bertemu lagi dengan acilku, karena kematian bagi makhluk yang bernyawa adalah pasti. Sampai jumpa, Acilku. Terima kasih karena telah mengajarkanku untuk hidup dengan sebaik-baiknya. Semua orang kini sibuk mengenangmu karena kebaikanmu. Aku bangga, sangat bangga.

*Acil merupakan bahasa Banjar yang berarti tante.

Miscellaneous

Do’a Sebelum TIdur

Berkali-kali pesan singkat ingin kukirimkan untukmu, namun kutahu pasti akan mengganggu tidurmu. 

Mungkin engkau telah berlayar ke pulau-pulau impian terlebih dahulu, merebahkan pikiran dan badanmu yang penat karena apa-apa yang menimpamu hari ini. Maka aku takkan tega membuatmu terjaga, sementara yang engkau perlukan saat ini mungkin hanya melupakan segala sesuatunya sementara, malam ini saja. 

Kubisikkan dalam doa sebelum tidurku, bertambah panjanglah pintaku, supaya saat engkau terbangun di hari berikutnya, kau lebih daripada sekedar baik-baik saja. Engkau bahagia. Ya, bahagia. Seperti itu saja pintaku yang sederhana. Aku tak mendoa yang besar-besar. Tidak, tidak malam ini, karena aku takut dengan pintaku yang terlalu egois padaNya. Khusus malam ini, kupinta saja supaya kabut dalam pikiranmu menguap, dan beban di dadamu lenyap.

Aku seketika ingin mengaminkan doaku sendiri. Ketika tiba-tiba sekelibat pikiran malang melintang. Dan…aku pun tergelitik, untuk menambahkan satu kalimat lagi. mungkin… aku akan pinta sedikit lebih banyak lagi.

.
‘Tuhan, selipkan kerinduan akan aku di hatinya, buatlah aku menjadi yang pertama di hati dan pikirannya saat ia telah terjaga.’ 

Aku tersenyum kecil dengan tambahan doaku sendiri. ‘Sayang, aku menyusulmu dalam mimpi.’

Tulisan Kolaborasi

PENANTIAN

Jarak mengajariku, bahwa kasih sayang sejati benar-benar bisa
menyentuh hati.

Jarak membantuku, kuatkan langkahku agar aku tak kemana-mana darimu.

Mengapa jarak harus menjadi ragu, antara kamu dan aku?

Mengapa jarak harus dianggap sebagai batu, yang menyandungi kamu dan aku?

Kau tahu. Aku pun tahu. Waktuku bersamamu beribu ragu merayu.

Kau tahu. Aku pun tahu. Waktumu bersamaku, bagaikan setetes embun yang menggoda hasratku.

Walaupun jarak terbentang luas di hadapanku.

Beribu ragu menggoda jiwa yang layu.

Satu yang kuingat darimu, tirakatmu padaku membuatku terus hidup dalam duniamu.

Menunggumu, dalam sapaan lembut hela nafasmu.

Menunggumu, tak ingin kuhitung berapa lamanya.

Menantikan hadirmu, kunikmati bagaikan penghapus dahaga.

Merindukanmu, adalah sahabat imaji yang selalu terngiang-ngiang di dalam kepala.

Penantianku tak pernah padam meski harus meraba dalam gelap. Pelita yang kuharap dalam diriku telah kutinggalkan padamu. Membiarkanku sendiri tenggelam dalam aliran rindu. Aku yang tak pernah mau tahu perhitungan waktu.

Terkadang perih yang kurasa, telah terabaikan. Kubiarkan tetap berada walaupun menyiksa. Menunggumu memang membuatku melupakan segalanya. Seakan waktu akan selalu ada.

Waktu telah mengajarkanku untuk menerima semua.

Waktu telah membimbingku untuk setia.

Kubelajar dari jarak dan waktu yang telah kubungkus sempurna di hatiku.

Kubelajar darimu, dari waktumu dan penantianku.

Takkan kuberhenti merengkuh bayangmu terlebih dahulu, hingga tiba waktuku menggenggammu dalam kedua tanganku.

Untuk masa penantianku, kubiarkan gambarmu bersemayam dalam dadaku, yang bisa kujenguk sesekali saat aku meragu, yang bisa kusapa kembali saat mengingatmu.

Selama masa menunggu, maka selalu kusertakan engkau dalam setiap doaku, menyematkan namamu di penghujung malamku, berharap Yang Maha Kuasa memberi restu, suatu hari akan datang hari menyatukan rindu.

Selama itu pun aku kan selalu menghapus ragu. Takkan kubiarkan terus mengganggu. Biarlah aku menunggu, dan biarkan ku terus merindu.

Kan kujaga rinduku, sampai kau berlabuh, melabuhkan hatimu di peraduan malamku.

Kuharap kau pun begitu, tetap bertahan dengan rindumu. Menggenggam erat rasaku dan terus mampu menenangkan jiwaku di saat badai menyerbu.

Kini kau tahu. Tinggal waktu yang akan menunggu. Menunggu hatimu dan hatiku disatukan oleh satu lingkaran utuh.

Lingkaran utuh, yang akan menghapus ragu dan pilu. Karena penantian panjangku dan rindu hatimu, telah melebur menjadi satu.

.

Tulisan Kolaborasi Jusmalia Oktaviani dan Stanty Aufia

Miscellaneous

“Selamat malam.”

Selamat malam, untuk dirimu yang mungkin sedang meramu kata, atau justru telah merajut mimpi maya.

Aku selalu ingin, menjadi apapun yang kamu minta. Aku tak pernah merasa terpaksa karenanya. Karena semua yang kamu usahakan, pada akhirnya ikut membawaku ke suatu tingkat yang aku tak pernah sangka akan kucapai sebelumnya. Tanpa pernah kusadari, kau membuatku mengejar impianku, sekaligus menggapai bayangmu. Aku tahu, inilah saatnya, aku terlepas dari genggaman masa lalu yang kokoh itu. Kini, yang terbayang padaku, hanya aku dan kamu, bersama-sama. 

Sesaat aku menelisik hatiku dalam-dalam, mencari segenggam keberanian dan malah menemukan selaksa ketakutan. Namun bahkan di saat kita tak saling memandang, aku tahu ada kepercayaan terhadapku yang kamu pancarkan dalam setiap pesan-pesanmu. Dan hatiku yang terpaut, tak mampu lagi berkata takut. Hasratku melangkah di sampingmu, menjadi mimpi yang menggairahkan, terlalu menggairahkan untuk tidak terwujudkan. 

Sungguh aku tak peduli, suara-suara mereka yang tak mengetahui. Semua yang ada pada dirimu, adalah mulia. Kamu dengan segala lebih dan kurangmu, justru begitu lengkap sempurna di mataku. Sungguh indah dirimu diciptakanNya. Rasanya terlalu berlebihan saat aku memintamu menemaniku. Rasanya terlalu naif saat aku mengatakan perasaanku yang tumpah ruah untukmu. Rasanya terlalu bodoh hatiku yang menginginkanmu. Tapi, siapa yang sanggup melawan segenap rasa yang diam-diam menghancurkan logika? Sementara, semakin dalam kita, semakin aku menemukan yang tak terduga, bagaimana mungkin aku dan kamu begitu sama?

Jangan biarkan aku menyerah semudah itu. Tetap bersamaku, hangatkan tiap dingin yang menelusup ke dalam dadaku, yang kadang membuatku beku. Sementara aku kadang tak mampu menyembunyikan wajah burukku padamu. Harus kuapakan semua rasa yang tercetus dari khawatir dan curiga? Jika aku sanggup membuangnya, akan kulakukan seperti menyapu noda. 

Dan menjelmalah engkau, untuk saat ini, di dalam mimpi-mimpi saja dahulu. Entah harus menghitung atau tidak, sampai pertemuan berikutnya padamu. Tapi, aku masih disini, menunggu. Dan percayalah padaku. Aku takkan kemana-mana. Tidak, tanpamu. 

Selamat berkelana dalam mimpimu, di sana. 

Ini untuk kamu, yang telah letakkan percaya, sekaligus asa, juga cinta. 

Tulisan Kolaborasi

Kerinduan Enggan Berjeda

Aku takut, akan kerinduan yang tiba-tiba datang menyeruak. Disana aku menemukanmu, berdiri, sendiri, dengan mata memandang nanar kearahku. Aku takut kau hakimi, karena aku bukan seorang yang juga suci. Tapi keinginan untuk menggenggam tanganmu mendorongku mendekatimu. Tapi ketakutanku melebihi batas kerinduanku. Apakah matamu yang sendu itu juga merindukanku? Apakah semua itu hanya perasaanku, yang kembali terpantul di bening matamu?

Sebenar. Aku rindu. Sebutlah begitu sebab nanar langit malam menutup kerinduan yang seharusnya berpulang di dadaku. Tapi ini nyeri. Menatapmu saja di kejauhan. Kini aku nyeri pada padang duri jeri.

Kamu, dan matamu yang sendu, ternyata memang hanya menatap ke arahku. Bahwa saat kutolehkan kepalaku, yang kau pandang bukan aku. Harusnya aku yang menghalanginya, menjadi yang kau lihat pertama. Namun tak begitu nyatanya. Pernahkah kau tanyakan padanya, sapakah dia juga menanggung rasa dan asa yang serupa? Jika kau tanyakan itu padaku, aku akan menganggukkan kepala tanpa ada ragu. Yakini aku.

Luruskan saja arah tatapmu, sepertiku–menatap kerinduan yang seharusnya erat memeluk. Para bintang penghuni langit, hanya satu berkelip memendar pesan. Aku memberi jawab padamu, sebab pasti engkaulah yang kuyakin.

Aku meyakinimu, sepenuhnya, meski kamu tak berlaku sama. Aku memberimu sepenuhnya, mempertaruhkan perasaan yang mungkin takkan bisa kuhilangkan selamanya, untukmu. Maka, kumohon, hai engkau, sang pemilik mata sendu. Tatap aku. Rasakan kerinduanku.

Pun aku. Ini aku miliki selama maumu. Pun aku. Memberi seluruh yang kupunya — kerinduan enggan berjeda.

Dan aku masih menunggu. Tanpa mau mengganggu. Akan kubiarkan hatimu luruh terhadapnya, dan ada saatnya, akan kugantikan dengan asa yang aku punya. Biarlah, sakit merengkuh. Demimu, rinduku menyuluh. Kunantikan perjumpaan dimana kita berpandangan, namun kali ini, bening matamu itu, sungguh milikku.

Tulisan Kolaborasi Jusmalia Oktaviani dan @_bianglala