Kelas menulis tanggal 12 Desember kemarin masuk ke dalam pertemuan yang ke-4. Kali ini saya dan beberapa peserta Kelas Menulis mendapatkan materi-materi baru. Pertama-tama, kami diberikan materi berupa Plot, atau alur cerita.
Di dalam tulisan, plot memang berhubungan dengan berbagai unsur lainnya, seperti karakter, setting, dan sebagainya. Namun, tidak semua tulisan harus menggunakan plot. Ada tulisan yang ber-plot, namun ada juga yang tidak. Untuk tulisan yang bergaya naratif, hampir semua tulisan jenis ini memiliki plot.
Tulisan dengan plot biasanya terdiri dari : Pembuka, konflik, dan resolusi (penyelesaian konflik). Namun bentuknya tidak harus berurutan seperti disebut sebelumnya. Penuturan cerita, apakah alur dibuat berurutan, bolak-balik, flashback, dan sebagainya, ditentukan oleh sang penulis. Penulis bisa secara bebas, menempatkan pembuka, konflik, dan resolusinya di mana saja sesuai kehendaknya. Bisa saja konflik langsung diceritakan di bagian awal misalnya, jika ingin berusaha menggebrak pembaca.
Sementara untuk tulisan yang tidak ber-plot, bisa ditemukan dalam jenis tulisan bernama sketsa. Dalam sketsa, biasanya yang dipaparkan hanya dialog atau potongan peristiwa yang sepintas. Jadi, jika tulisan yang di dalamnya berisi dialog saja, kita bisa asumsikan, cerita itu tidak ber-plot. Walaupun misalnya, dalam dialog karakter-karakternya, ada pembicaraan mengenai masa lalu, masa kini, dan masa depan.
Selain sketsa, static description, atau cerita yang isinya hanya deskripsi mengenai ruangan atau kesan, itu pun bisa tidak ber-plot. Karena memang hanya memberikan gambaran sepintas. Bukan tulisan yang bersifat naratif.
Berikutnya, dalam kelas menulis dijelaskan bahwa menurut Aristotle, 3 poin berikut akan menjadi penting: the beginning, the middle and the end. Tapi harus ada satu poin lagi yang harus dihantarkan oleh penulis dalam cerita. Dimana sebagai penulis sebisa mungkin kita bisa mengajak pembaca merasakan “fear” dan “pity”, artinya kita bisa mengajak pembaca merasakan emosi yang kita coba sampaikan ke pembaca. Setelah dijelaskan, masing-masing dari kami diminta untuk menulis 2 paragraf dengan meletakkan konflik di awal tulisan dan kami juga diminta untuk menuliskan emosi yang kuat.
Materi berikutnya adalah mengenai pembagian jenis cerita oleh Aristotle, yakni tragedy atau tragic, comedy, dan tragedy-comedy.
Ciri dari jenis cerita tragic adalah ada “noble man” atau orang yang sangat berpengaruh atau berkuasa, dan ada momen “falling down”, atau kejatuhan dari noble-man tersebut.
Contohnya, misalnya ada seorang anak raja, di awal kelahirannya, dia mendapatkan banyak kekayaan dan kekuasaan. Namun karena kesalahan dalam memutuskan sesuatu, si anak raja itu jadi kehilangan semuanya. Menderita karena jadi rakyat jelata, dan mati. Kejatuhan anak raja yang berkuasa, membuat cerita tersebut menjadi cerita yang tragic.
Ada sedikit perbedaan dalam memaknai klasifikasi Aristotle dengan pemahaman kita di masa sekarang. Misalnya, istilah ‘tragis’ itu sendiri, di masa kini dimaknai dengan kejadian mengerikan atau mengenaskan. Sementara dalam pembagian yang dibuat oleh Aristotle, tragis atau tidaknya, dilihat dari karakter. Misalnya ketika ada seorang pria biasa yang membawa putra-putrinya menyeberang dan kemudian mereka tewas karena terlindas mobil, belum bisa dikategorikan sebagai cerita tragic, melainkan cerita yang pathetic (menyedihkan). Hal ini dikarenakan tidak ada unsur ‘noble man’ tersebut. Pria tersebut hanya pria biasa, bukan orang yang berkuasa atau semacamnya. Meskipun skenario tabrakannya sangat buruk, karakter yang bukan ‘noble man’ membuat cerita ini tidak bisa disebut tragic.
Untuk comedy sendiri, merupakan kebalikan dari tragedy. Dimana karakternya adalah orang-orang biasa, bukan ‘noble man’. Jadi istilah ‘komedi’ memang sangat bergeser maknanya di masa sekarang, dimana yang dulunya komedi bercerita mengenai kehidupan biasa orang-orang, namun dalam pengertian sekarang, komedi kini identik dengan lawakan.
Tragedy-comedy atau tragicomedy menggabungkan kedua unsur tersebut, yakni tragedy dan comedy. Salah satu contoh cerita dengan tragicomedy adalah Hercules. Meminjam dari Wikipedia, tragicomedy menggambarkan cerita tragic namun mengandung elemen comic, atau cerita serius dengan happy ending.
“…describe either a tragic play which contains enough comic elements to lighten the overall mood or, often, a serious play with a happy ending.”
Istilah Tragicomedy berasal dari penulis drama Romawi, Plautus.
“I will make it a mixture: let it be a tragicomedy. I don’t think it would be appropriate to make it consistently a comedy, when there are kings and gods in it. What do you think? Since a slave also has a part in the play, I’ll make it a tragicomedy.”
Seperti biasa, di akhir kelas menulis, kami diberikan tugas berupa menulis duet dengan tulisan yang bertemakan tragedy-comedy, dan tentu saja jurnal menulis untuk pertemuan hari itu.
Itulah keseluruhan materi yang disampaikan pada pertemuan ke-4 lalu. Sampai jumpa dalam jurnal Kelas Menulis ‘Poetica’ untuk pertemuan berikutnya.