Miscellaneous

Dariku Untukmu

D A R I K U

 
Aku adalah pemuja kata, frasa, kalimat dan prosa

Namun aku juga memujimu, yang dianugerahkan Tuhan padaku

Giliranku untuk memberikan sedikit bahagia

Rasa-rasanya, lama aku tak berbagi peluk, tawa dan canda

Aku ingin sekali, kembali ke masa itu, dimana

Impian adalah penyala semangat kita

Narasi masa lampau dan masa kini mungkin berbeda, tapi

Indah saat bersama dahulu, tak mudah terlupa.

.

 

U N T U K M U

 

Angan-angan itu, memang benar,

Nampak jauh serta samar

Gelisah ini tak mungkin pergi

Resah juga tak mudah mati

Akan tetapi, hidup tetap harus dijalani

Ingin dan harap adalah pertanda

Nuranimu sebenarnya masih berkata,

Impian ini adalah bahan bakar hati

Miscellaneous

Buta

“Mau sampai kapan?” tanya Isna pada Firsa yang kini sedang menangis tersedu di hadapannya.

Firsa hanya terpekur, tak mampu menjawab sepatah katapun. Air matanya masih deras menghambur di wajahnya. Sementara bekas darah di bibir gadis manis itu masih belum mengering. Warna biru kemerahan di pipi kanannya pun masih tampak jelas. Gadis itu baru saja habis dianiaya.

Isna hanya bisa menggelengkan kepala melihat Firsa, sahabatnya itu. Isna menyodorkan sekotak tisu pada Firsa, membiarkan Firsa menangis sejadi-jadinya. Isna memandangi Firsa, dengan pandangan paling prihatin yang ia punya. Ia tak habis pikir, bagaimana mungkin Firsa kuat menghadapi ini semua. Bagaimana mungkin Firsa mau saja terus memaafkan Indra, pacarnya yang ringan tangan itu.

“Kamu mau sampai kapan seperti ini? Dianiaya terus seperti ini?” Isna mengulangi pertanyaannya, kali ini dengan nada yang lebih tegas.

“Tapi…Indra sudah berjanji…Ini yang terakhir kali…Ia, ia tak akan lagi melakukan ini…” Firsa menjawab sambil terisak. Kata-katanya berkejaran dengan air matanya yang mendesak untuk keluar.

“Firsa, sadarlah! Ini sudah ketiga kalinya kamu datang ke kosku dengan wajah biru seperti itu!” sambar Isna. “Indra tak mungkin berubah!”

“Dia…cuma khilaf, Na. Dia sudah berjanji… Dia bahkan meminta maaf padaku sambil bersujud padaku. Aku tak tega melihatnya seperti itu…”

“Seharusnya dia yang tak tega melihatmu seperti ini.” Isna menyahut sambil menghela nafas panjang.

Isna menggeleng-gelengkan kepala, melihat tingkah Firsa yang lagi-lagi membela Indra. Padahal Indra baru saja mendaratkan bogem mentah ke wajah gadis itu hanya karena alasan sepele–Firsa pergi keluar tanpa seizin Indra.

“Firsa, Indra tak akan berubah semudah itu. Kamu camkan kata-kataku. Kamu akan datang padaku lagi, cepat atau lambat. Kamu akan menangis lagi, dan aku akan miris melihat wajahmu yang kembali ditampar atau dipukul oleh pacarmu yang sinting itu. Apa kamu mau dipukuli lagi seperti ini?” Isna berkata.

“Tapi…aku sayang dia, Na. Dia…juga sayang padaku…”

“Ini tanda sayang?” Isna mengambil cermin, menunjukkan pada Firsa, wajahnya sendiri yang kini tampak berantakan, karena air mata, darah, dan bekas pukulan yang merobek bibir dan membuat pipinya biru. “Bagiku, ini bukan tanda sayang, Sa.”

Isna mendekati Firsa, mengelus bahu sahabatnya itu. “Kuatlah, Sa. Jangan jadi wanita lemah. Putuskan pacarmu. Tinggalkan saja dia.”

“Isna, entahlah, aku bingung.” Firsa menjawab seraya menghapus air mata di wajahnya. “Jujur, selama setahun ini, aku bahagia bersama Indra. Hanya satu masalahnya, Indra begitu posesif, juga ringan tangan. Aku selama ini mau bertahan, karena Indra sebenarnya sosok pacar yang sempurna, kecuali emosinya yang meledak-ledak itu. Aku menganggap hal itu sebagai kekurangan Indra. Na, bukankah kita harus mampu menerima pasangan kita apa adanya? Lengkap dengan kelebihan dan kekurangannya?” Firsa berkata sambil memandangi Isna dengan pandangan melebar, meminta pembenaran dari perkataannya barusan.

“Kalau begitu kamu sudah terbutakan selama ini. Itu adalah konsep yang tak seharusnya kamu pegang begitu saja. Kamu harus tahu, dan harus bisa membedakan, yang mana kekurangan, yang mana kesalahan.” Isna berkata.

“Aku akan mencontohkan padamu. Misalnya, kamu mengalami alergi sehabis makan makanan laut, nah, itu memang kekurangan yang ada padamu. Atau berkaca pada diriku sendiri, aku sendiri cukup ceroboh dan pelupa, dan ya, itu memang kekuranganku.” Isna melanjutkan. “Hal-hal seperti itu, bersifat alamiah dan sulit diubah, namun itu memang kekurangan kita sebagai manusia, yang menandakan kita memang makhluk yang tak sempurna. Makanya istilah untuk kecacatan adalah kekurangan fisik, bukan kesalahan fisik.”

Firsa diam, tak menjawab sepatah kata pun, ia mendengarkan kata-kata Isna.

“Kamu harus mengerti, bahwa apa yang Indra lakukan kepadamu, itu bukan kekurangan, Sa. Tapi itu kesalahan. Suka ringan tangan dan berperilaku sadis seperti ini bahkan bisa kukategorikan bukan hanya sebagai kesalahan semata, tapi ini kejahatan. Dan kejahatan yang Indra lakukan kepadamu, bukan suatu kekurangan yang harusnya kamu terima. Kamu justru harus tegas untuk meninggalkan Indra. Aku bukannya menakutimu, tapi suatu hari, aku khawatir, Indra bukan hanya akan memukulmu. Mungkin suatu hari, ia bisa saja…menyakitimu lebih dari ini. Ia bisa menganiaya kamu, lebih mengerikan dari ini.” Isna kembali berkata, dengan suara yang sedikit bergetar. “Dan aku tak mau ini terjadi lagi padamu, Sa.”

Firsa tertunduk, kepalanya mengangguk kecil. “Sebenarnya…Aku juga tak mau diperlakukan seperti ini terus…”

“Jangan mau diperlakukan seperti ini terus,” kata Isna sambil menggenggam tangan Firsa. ”Kamu tak sendirian. Tegarlah. Kamu akan menemukan pria yang lebih baik dari Indra. Aku yakin itu.”

Firsa menggumam, menyetujui ucapan Isna. Isna memeluknya, memberikan kekuatan pada Firsa. Dalam hati Isna berdoa, semoga Firsa bisa segera berpisah dari Indra, pacarnya yang sadis itu.