Miscellaneous

Luka

Kamu tahu kamu tidak bisa lagi melangkah mundur, atau membalikkan badan. Yang kamu tahu hanyalah, maju dan meninggalkan semua yang ada di belakang. Kamu tersentak, karena pria yang dulu pernah meninggalkan bekas dalam pada masa lalumu tidak kembali sebagai hantu, tapi mewujud nyata di depanmu.

Tapi kamu tahu…tak ada jalan kembali untuk dirinya, bersama kamu.

Adakah dari dirimu yang salah, karena lebih memilih sendiri tanpa harus melayani siapa-siapa saat ini? Kamu bertanya dalam hati, saat orang-orang di sekitar mulai menyalahkan kamu, atas pilihanmu yang tak bertekuk lutut lagi pada pria masa lalu.

Apakah kamu memang terlalu bodoh, tak bisa melihat bahwa pria yang barusan di depanmu telah berubah menjadi pria yang sepertinya bisa menjanjikan kamu segalanya? Kamu lagi-lagi bertanya dalam hati.

Tapi…apakah arti segalanya itu? Kamu bertanya pada dirimu lagi, kesekian kali.

Kamu dahulu, telah berlutut melakukan hal yang sama padanya. Kamu dahulu, telah terluka terlalu dalam. Meski kamu tahu, kamu bukan pendendam. Hanya saja, kata maaf tidak menjadi alasan seseorang untuk melakukan dua kali kebodohan.

Kamu memejamkan mata, mengendus aroma pepohonan yang terbawa angin, serta dedaunan yang hinggap di rambutmu. Kau menyentuh sang daun yang telah retak, dan sadar bahwa daun yang telah gugur dan mengering pun takkan bisa kembali ke ranting.

Miscellaneous

Yang Hilang

Wanita itu tak mampu menjelaskan, rasa kebas yang kini tengah menghujamnya. Akhirnya lelaki-nya telah menjatuhkan pilihan. Telah menetapkan kepastian. Vonis yang mengubah hidup lelaki itu, wanita itu, serta mungkin masa depan yang tak lagi berisi iming-iming dan impian keduanya. Semua janji menghilang bagaikan angin, hanya terasa di permukaan kulit, kemudian pergi mengembus dalam sekejap. Sama seperti yang dipikirkan sekarang oleh wanita itu. Semua hal yang ia bangun, satu per satu, usaha per usaha, langkah per langkah, hanya terasa bagai hembusan angin. Begitu menyejukkan, menyegarkan, namun berlalu sangat, sangat, cepat. Kemudian tak meninggalkan apa-apa, kecuali bekas dalam ingatan, bahwa di masa lalu, semua yang dilaluinya bersama lelaki itu pernah ada. 

Wanita itu tak lagi menangis. Setetes pun air matanya tak jatuh. Wanita itu berusaha untuk terlihat normal, yakni menangis di kala sedih. Tapi untuk apa? batin wanita itu. Ia kehilangan alasan untuk menangis, karena ia memang tak merasa sedih. Entah mengapa. 

Padahal lelaki itu adalah bagian dari hidupnya, beberapa kurun waktu lalu. Hitungan kebersamaan keduanya bukan hanya harian, mingguan, maupun bulanan, namun jauh, jauh, jauh dari itu. Yang dilaluinya bersama lelaki itu pun tak hanya sekedar kata. Keduanya pernah, berbagi semuanya. Apa saja. 

Wanita itu terbawa kembali dalam seretan masa lalunya. Entah apa yang membuatnya jatuh sekeras-kerasnya pada cinta lelaki itu. Sepertinya cinta benar-benar buta, memilihnya dan lelaki itu, padahal sejak awal dia tahu, ada yang salah. Ada yang seharusnya tak dilakukan. Ada yang seharusnya tak dibenarkan. Hubungannya dengan lelaki itu melanggar begitu banyak perasaan. Mengorbankan begitu banyak tangisan. Namun korban utama, tak lain adalah dirinya sendiri. 

Wanita itu tak bisa menghindar. Tidak, tidak, sebenarnya ia bisa memilih. Namun, ia terjebak dalam bayang. Ketakutan. Kekhawatiran. Sementara ia butuh kepastian. Padahal tak satu kata atau perbuatan pun dari lelaki itu, yang menunjukkan bahwa ia bisa mengobati ketakutan dan kekhawatiran wanita itu. Namun wanita itu tetap yakin, berpegang pada bayang-bayang semu. Bayangan yang ia ciptakan sendiri dalam pikirannya. Dimana ia telah mencitrakan lelaki itu sebagai sosok akhir, sosok kesempurnaan yang menjadi akhir dari pencariannya. 

Kemudian wanita itu sadar, citra dalam kepalanya-lah yang ia cintai. Bukan sosok sebenar lelaki itu. Lelaki itu tak pernah memilihnya. Ya. Pikiran itu mengulang-ulang sendiri dalam otak wanita itu. Lelaki itu memang tak pernah benar-benar memilihnya.

Mungkin itulah sebabnya mengapa wanita itu tak merasakan apa-apa. Mungkin itulah kiranya yang membuatnya kebal terhadap rasa sakit yang seharusnya dirasakannya sekarang, karena telah kehilangan lelaki itu, lelaki yang menjadi sandarannya. Karena ia sebenarnya sudah kehilangan lelaki itu sebelumnya. Ia telah kehilangan lelaki itu–berkali-kali, dengan setiap sakit terpendam yang diakibatkan oleh lelaki itu. Wanita itu hanya tak menyadarinya.

Kini wanita itu terdiam, tak memikirkan apa-apa. Tak berusaha mengenang apa-apa. Atau menyesali kejadian yang sudah-sudah. Ia telah terbebas dari lelaki itu, yang selama ini, telah membelenggunya. Penjara itu terbuka. Wanita itu memejamkan mata, menarik sedalam mungkin nafas dan mengembuskannya keras. Ada yang menjadi lapang. Ada yang semakin tenang. Jauh di dalam hatinya, wanita itu bersyukur atas kehilangannya. 

Miscellaneous

Mimpi-mimpi

Aku selalu kagum padamu, wanita bermata cerah yang selalu menceritakan mimpi-mimpi. Mimpi itu tak pernah muluk, namun selalu mampu membuatku tersenyum, membuatku yakin bahwa hidup itu begitu mulia untuk dikeluhkan dan terlalu banyak ditangisi.

Satu hari saat matahari sedang terik, kamu malah menggenggam tanganku dan membawaku berjalan di taman belakang. Aku tak suka kepanasan. Tapi kamu berkata,”Jangan cengeng. Kamu nggak rasakan? Ini bukan panas, ini hangat. Hangat!”

Aku tersenyum simpul. Caramu memandang dunia memang berbeda. Kemudian kamu berputar-putar dan meliuk-liukkan badan seperti balerina. “Aku sedang menari. Suatu hari, aku akan menari di hadapanmu, juga ratusan bahkan ribuan penonton lainnya.”

“Oh ya? Bagaimana caranya?” tanyaku, pesimis.

“Kalau kita percaya, pasti bisa. Kamu nggak percaya?” Kamu menatapku dengan dahi yang berkerut-kerut, seakan aku baru saja mengatakan sesuatu yang jahat.

“Sebelum kenal kamu, aku nggak pernah percaya mimpi.” Aku berkata jujur.

“Sekarang kamu harus percaya. Apalagi yang membuat hidup kita semakin berwarna dan bahagia? Tanpa mimpi, hidup kita kelabu. Seperti kamu, sebelum bertemu denganku.” Kamu menggodaku, kemudian tertawa keras. Kamu kembali berputar-putar, menari dengan simfoni yang kamu ciptakan dalam kepalamu sendiri. Mulutmu berkicau riang, tak peduli dengan sekitar.

Gerakanmu terlihat limbung dan aneh, mungkin karena kakimu yang tinggal sebelah termakan sel-sel kanker yang liar. Kaki palsumu tak menopangmu dengan baik. “Kamu penari yang buruk,” kataku sambil tertawa, mengejek.

Kamu tertawa, mendekatiku yang duduk di kursi roda. “Kanker tulang dan penari, memang tak boleh dikombinasikan.”

“Kanker tulang dan penulis, boleh dikombinasikan?” tanyaku.

“Setidaknya kamu masih punya jemarimu.”

“Semoga mereka masih tetap utuh dan tak termakan kanker kita yang bandel ini.” Aku berkata sambil menertawakan nasib aneh yang mempertemukan kami.

“Aku sepertinya harus mengaminkannya.” Kamu tertawa lebar. Seakan tak ada beban.

Kami berdua beriringan kemudian. Aku dan kursi rodaku, kamu dengan kaki palsumu.

Kamu mungkin bukan orang yang paling manis di dunia, bukan yang tercantik sejagad raya, dan mengingat kita berdua sama, bukan orang yang sempurna. Tapi entah mengapa, hidup tampak lebih indah saat bersamamu. Aku terbawa mimpi-mimpimu, juga terjatuh pada cintamu.

Miscellaneous

Pernyataan

“Aku…sayang kamu. Aku menginginkanmu, yang jadi ibu dari anak-anakku kelak. Kamu adalah cita dan cinta, wanita yang ingin aku nikahi. Wanita yang ingin kulihat hingga aku menua.”

Kamu berucap itu di depanku, menggenggam tanganku begitu hangat. Hatiku tak lagi kuat. Aku telah terpikat, jauh, jauh, ke dalam hitamnya matamu yang sedang menatapku lekat.

Tak ada jawab yang bisa kuucap. Aku ingin sekali menganggukkan kepala, lalu menjawab ‘iya’. Tatap penuh cinta kupancarkan lewat mata. Tapi apa yang bisa membuatku berdaya mengatakannya?

Apalagi saat tiba-tiba, sang sutradara berkata “Cut!” Dan kamu bertanya tanpa dosa, ”Bagaimana menurutmu? Aktingku tadi bagus?”

Aku menelan ludah, menelan lagi kumpulan aksara cinta yang sudah di ujung lidah.