Wanita itu tak mampu menjelaskan, rasa kebas yang kini tengah menghujamnya. Akhirnya lelaki-nya telah menjatuhkan pilihan. Telah menetapkan kepastian. Vonis yang mengubah hidup lelaki itu, wanita itu, serta mungkin masa depan yang tak lagi berisi iming-iming dan impian keduanya. Semua janji menghilang bagaikan angin, hanya terasa di permukaan kulit, kemudian pergi mengembus dalam sekejap. Sama seperti yang dipikirkan sekarang oleh wanita itu. Semua hal yang ia bangun, satu per satu, usaha per usaha, langkah per langkah, hanya terasa bagai hembusan angin. Begitu menyejukkan, menyegarkan, namun berlalu sangat, sangat, cepat. Kemudian tak meninggalkan apa-apa, kecuali bekas dalam ingatan, bahwa di masa lalu, semua yang dilaluinya bersama lelaki itu pernah ada.
Wanita itu tak lagi menangis. Setetes pun air matanya tak jatuh. Wanita itu berusaha untuk terlihat normal, yakni menangis di kala sedih. Tapi untuk apa? batin wanita itu. Ia kehilangan alasan untuk menangis, karena ia memang tak merasa sedih. Entah mengapa.
Padahal lelaki itu adalah bagian dari hidupnya, beberapa kurun waktu lalu. Hitungan kebersamaan keduanya bukan hanya harian, mingguan, maupun bulanan, namun jauh, jauh, jauh dari itu. Yang dilaluinya bersama lelaki itu pun tak hanya sekedar kata. Keduanya pernah, berbagi semuanya. Apa saja.
Wanita itu terbawa kembali dalam seretan masa lalunya. Entah apa yang membuatnya jatuh sekeras-kerasnya pada cinta lelaki itu. Sepertinya cinta benar-benar buta, memilihnya dan lelaki itu, padahal sejak awal dia tahu, ada yang salah. Ada yang seharusnya tak dilakukan. Ada yang seharusnya tak dibenarkan. Hubungannya dengan lelaki itu melanggar begitu banyak perasaan. Mengorbankan begitu banyak tangisan. Namun korban utama, tak lain adalah dirinya sendiri.
Wanita itu tak bisa menghindar. Tidak, tidak, sebenarnya ia bisa memilih. Namun, ia terjebak dalam bayang. Ketakutan. Kekhawatiran. Sementara ia butuh kepastian. Padahal tak satu kata atau perbuatan pun dari lelaki itu, yang menunjukkan bahwa ia bisa mengobati ketakutan dan kekhawatiran wanita itu. Namun wanita itu tetap yakin, berpegang pada bayang-bayang semu. Bayangan yang ia ciptakan sendiri dalam pikirannya. Dimana ia telah mencitrakan lelaki itu sebagai sosok akhir, sosok kesempurnaan yang menjadi akhir dari pencariannya.
Kemudian wanita itu sadar, citra dalam kepalanya-lah yang ia cintai. Bukan sosok sebenar lelaki itu. Lelaki itu tak pernah memilihnya. Ya. Pikiran itu mengulang-ulang sendiri dalam otak wanita itu. Lelaki itu memang tak pernah benar-benar memilihnya.
Mungkin itulah sebabnya mengapa wanita itu tak merasakan apa-apa. Mungkin itulah kiranya yang membuatnya kebal terhadap rasa sakit yang seharusnya dirasakannya sekarang, karena telah kehilangan lelaki itu, lelaki yang menjadi sandarannya. Karena ia sebenarnya sudah kehilangan lelaki itu sebelumnya. Ia telah kehilangan lelaki itu–berkali-kali, dengan setiap sakit terpendam yang diakibatkan oleh lelaki itu. Wanita itu hanya tak menyadarinya.
Kini wanita itu terdiam, tak memikirkan apa-apa. Tak berusaha mengenang apa-apa. Atau menyesali kejadian yang sudah-sudah. Ia telah terbebas dari lelaki itu, yang selama ini, telah membelenggunya. Penjara itu terbuka. Wanita itu memejamkan mata, menarik sedalam mungkin nafas dan mengembuskannya keras. Ada yang menjadi lapang. Ada yang semakin tenang. Jauh di dalam hatinya, wanita itu bersyukur atas kehilangannya.