Dalam keheningan malam, aku berjalan menyusuri kota ini. Dengan keadaan setengah tidak sadar dan ditemani hembusan angin malam yang membuat mata ini terasa berat. Masih keadaan yang masih sama, dalam keadaan lelah dan sunyinya malam ku menancapkan gas dan melaju dengan cepat mengejar waktu yang tersisa untuk esok. Tanpa bisa ku kendalikan, motor yang kukendarai tergelincir ketika kuhendak menghentikannya. Dan tak bisa kuhindari lagi kecelakaan itu pun terjadi, tanpa kuketahui sebuah mobil telah berada di hadapanku dan siap untuk menghantamku. Aku hanya bisa menunggu adanya keajaiban yang akan menolongku dari bencana ini.
Di saat itu aku mungkin merasa aku sudah pingsan cukup lama. Ketika aku membuka mata ini kumendapati tubuhku masih terlentang di aspal jalan ini tanpa ada seorang yang menolongku dan juga pengendara mobil yang tak bertanggung jawab. Kumencari sepeda motor yang kukendarai tapi tak kutemukan. Benakku pun berpikir jika motor itu telah diambil oleh orang yang tak berperasaan kepadaku. Terpaksa dengan keadaan pincang dan baju yang berlumuran darah ku melangkahkan kaki menuju hunianku yang terletak 1 km dari tempatku saat ini.
Mendekati tempat tinggalku, kumelihat orang-orang dengan tatapan heran terus memandangku. Aku tak tahu mengapa, mungkin mereka khawatir dan ingin membantuku atau mungkin mereka berpikir mengapa aku masih bisa berjalan, terserah mereka ku tidak ingin tahu. Aku hanya ingin pulang dan membersihkan tubuhku lalu berbaring di kasur untuk menghilangkan penat dan letih yang telah datang menghampiriku dari tadi. Aku ingin mempersiapkan diri untuk memulai hari pertama kuliahku esok.
Pagi ini seperti biasa, hidup sendiri tanpa ada teman untuk bisa berbagi cerita yang kualami di meja makan ini. Hanya ada aku, aku, dan aku seorang diri menikmati pagi yang cerah dengan luka di sebagian tubuh akibat kecelakaan semalam. Mungkin aku harus berjalan lagi menuju kampus karena aku baru sadar motor yang kukendarai semalam telah dibawa lari orang. Untung saja kampus tempatku kuliah tidak berada jauh dari tempat tinggalku. Aku bergegas untuk berangkat dan tidak ingin kehilangan materi yang akan diajarkan oleh dosen.
Aku heran terhadap mahasiswa lain yang tidak menganggap keberadaanku. Mereka menganggap aku seolah hanyalah bayangan. Mereka tidak pernah mempedulikan atau pun menegurku. Biarpun ini hanyalah hari awal, tapi bukan berarti mereka bisa memperlakukanku layaknya aku sebagai benda mati disini. Bahkan teman SMA ku dulu tidak sesekali pun menegurku, dia hanya terus memasang muka muram akibat perselisihan kami semalam, mungkin dia masih tidak ingin bertegur sapa denganku. Tapi bukannya seorang teman harus selalu bisa memahami dan saling mengerti.
Bel tanda istirahat pun dibunyikan dan masih belum ada yang menegurku. Ku langkahkan kaki menuju halaman kampus ini dan duduk di bangku taman. Tiba-tiba pandanganku terjatuh oleh seorang wanita entah siapa aku tak tahu dia. Rambutnya yang pendek sebahu tergerai rapi. Dengan kacamata bergagang cokelatnya, dan tanpa memakai aksesoris apapun di tubuhnya, ia tampak anggun namun sederhana. Ia cantik dengan caranya sendiri.
Sebenarnya aku hendak mendekati wanita itu, mengenalnya lagi lebih dalam. Pasalnya aku memang baru ini melihat gadis itu ada di kampus ini. Padahal aku sudah hampir tiga tahun disini dan baru kali ini aku melihat sosoknya.
Tiba-tiba wanita itu memandangku, ke arahku. Matanya tampak membulat, alisnya terangkat. Mungkin heran melihat badanku yang terluka di beberapa bagian. Aku mengutuk kesialanku. Saat aku bertemu dengan wanita cantik, kenapa aku harus dalam keadaan sial seperti ini?
Ia terus saja memandangiku sehingga aku pun akhirnya memberanikan diri untuk senyum padanya. Ia tidak membalas senyumku, ia langsung saja mendatangiku. Aku kaget saat wanita itu tiba-tiba sudah berada di sampingku.
“Apa yang kamu lakukan di sini?” Ia bertanya dengan suara setengah berbisik. Matanya menatapku dengan heran.
“Aku…ya, ini kan, kampus. Aku datang untuk belajar,” jawabku.
“Belajar?” tanyanya lagi, masih dengan nada heran. “Kamu…yakin?” Ia menambahkan.
“Ya pastilah. Memang untuk apa lagi?” Aku menimpali cepat, dengan sedikit nada jengkel. Bukankah ini adalah suatu hal yang sudah jelas, kenapa gadis ini ngotot menanyakan tujuanku datang ke kampus? Gadis yang aneh, pikirku.
Gadis itu kemudian menepuk dahinya, kemudian menggelengkan kepala dengan putus asa. “Baiklah, mungkin…ya, nanti sajalah…hmm, pelan-pelan nanti akan kujelaskan.” Ia berkata kemudian. Aku hanya mengangkat bahu. Kebingungan.
“Aku Sendy. Siapa namamu?” tanyanya.
“Adan.” Lalu kuulurkan tanganku, membalas salam perkenalannya.
“Kamu, habis kecelakaan?” tanya Sendy. Wajahnya nampak prihatin, mungkin karena melihat berbagai variasi luka-luka yang ada di sekujur tubuhku.
Aku mengangguk. “Semalam. Tapi nggak ada tulang yang patah kok. Paling luka-luka dan ya, memar.” Aku mencoba tersenyum.
“Coba ceritakan padaku tentang kejadian semalam.”
Mulutku pun langsung mengalirkan cerita tentang apa yang terjadi pada malam sebelumnya. Pertengkaran dengan sahabatku. Perjalanan pulang saat aku akhirnya menabrak mobil. Aku yang ditinggal lari oleh penabrakku. Motorku yang tak bisa kutemukan lagi. Semua kesialan yang terjadi kuceritakan pada Sendy. Setelah selesai, aku baru sadar bahwa aku begitu lancar berbicara pada Sendy, orang yang baru kukenal beberapa menit.
Dia mengangguk. Kemudian ia bertanya lagi padaku. “Boleh tahu, sebenarnya kenapa kamu dan sahabat kamu bertengkar?”
“Aku dan Arin? Ah, aku juga nggak terlalu paham, Sen. Kejadiannya cepat sekali. Aku datang ke rumahnya, karena dia ulang tahun kemarin. Awalnya Arin baik-baik saja, dan aku bisa bilang ia senang dengan kedatanganku. Aku mengeluarkan kado yang sudah kusiapkan, dan ya, kami ngobrol, seperti hari biasa. Setelah itulah kurasakan emosinya perlahan berubah. Ia seperti bukan Arin yang biasa aku kenal. Dan, entah mungkin di bagian pembicaraan yang mana, dia akhirnya marah padaku. Mungkin ada kata-kataku yang salah, entahlah. Aku juga nggak tahu, kenapa ia jadi mudah tersinggung akhir-akhir ini. Padahal kami sudah berteman sejak SMA.”
“Lalu?”
“Ya, puncaknya, dia mengusirku dari rumahnya. Ia mendorongku pergi sambil menangis. Aku nggak paham apa yang ada di pikirannya. Bicaranya juga nggak jelas. Arin membuatku bingung.” Aku menghembuskan nafas panjang. “Tadi pagi, ia acuh tak acuh. Mungkin dia sudah benci padaku. Padahal aku nggak tahu apa salahku. Kami nggak pernah bertengkar sehebat ini sebelumnya.” Aku merasakan ngilu di dadaku mengingat Arin yang kini berbalik membenciku. Pasalnya, ia adalah sahabat terdekatku selama tiga tahun ini.
“Dan setelah dari rumah Arin itulah kamu kecelakaan.” Sendy berkata. Aku mengangguk.
“Kurasa aku mulai paham…” gumam Sendy.
“Apa maksudmu?” Aku mulai bingung dengan jalan pikiran wanita yang tak sepenuhnya kupahami. Baik Arin maupun Sendy. Bahasa yang mereka gunakan seperti teka-teki bagiku.
“Tunggu sebentar.” Sendy tiba-tiba berujar. Ia mendadak langsung bangkit dari duduknya. Matanya memandang ke arah kelasku. Sepertinya ada kehebohan di sana. Aku ingin bangkit menyusul Sendy yang sudah berjalan menuju ke sumber keributan itu, tapi dengan isyarat gerakan tangan ia menyuruhku untuk tetap duduk di tempatku. Dan aku hanya bisa mengangkat bahu. Tingkah Sendy membuatku bingung, tapi akhirnya aku menurut juga. Aku hanya menunggu sampai ia kembali menemuiku sepuluh menit kemudian.
Perasaanku tak nyaman saat melihat gadis itu yang kini memandangku dengan wajah muram. “Sebenarnya ada apa, sih?” tanyaku penasaran.
“Hmm, kita ke rumahmu dulu, yuk. Rumahmu dekat sini, kan?” tanya Sendy.
“Ya, tapi kenapa…”
“Percayalah denganku. Nanti aku jelaskan sambil jalan.”
Kami berjalan beriringan menuju rumahku. Di beberapa menit awal, Sendy hanya diam. Ia lebih banyak menundukkan wajah, menghindari bertatap muka denganku. Aku juga malas memaksanya bicara. Aku yakin ia akan menepati janji. Menjelaskan apa yang bisa ia jelaskan padaku.
“Kenapa di sekitar rumahku ramai?” Aku berkata, memecahkan kesunyian di antara kami, saat dalam jarak beberapa meter, aku melihat banyak orang yang berkerumun di rumah kontrakanku.
“Adan…tunggu,” sergah Sendy, yang tiba-tiba berkata sambil membentangkan lengannya di hadapanku, melarangku melangkah lebih jauh. Langkah kami terhenti. Ia menarik nafas panjang sebelum akhirnya mengatakan hal teraneh yang pernah kudengar, “Rumahmu ramai, karena…jasadmu sudah ditemukan.”
Butuh waktu sepersekian menit bagiku untuk mencerna apa yang dikatakan Sendy. “A…Apa? Jasad?”
Sendy mengangguk. “Keributan di kelasmu tadi, karena ada kabar jasadmu ditemukan di pinggir jalan. Beberapa meter dari lokasi kecelakaanmu. Sepertinya kamu berjalan cukup jauh untuk pulang dalam keadaan luka. Tapi kemudian kamu mungkin sudah nggak kuat, sehingga…”
Aku bagaikan dihantam mendengar perkataan Sendy. “Kamu gila, Sen. Dan ini nggak lucu.” Aku tertawa getir. Lelucon macam apa ini?
“Dan aku juga sedang nggak bercanda, Dan.” Sendy berkata dengan nada yang sangat serius, membuatku mulai yakin bahwa apa yang dia katakan itu benar. “Aku sudah tahu, dari pertama kali melihatmu tadi di kampus. Melihat hal-hal seperti ini, memang kemampuanku. Tapi, karena kamu belum sadar bahwa kamu sudah…sudah…meninggal, jadi aku sendiri bingung bagaimana harus menjelaskannya ke kamu.”
Seakan ada tirai yang semakin tersibak, aku teringat dengan teman-teman kampusku yang tak peduli padaku hari ini. Mereka tidak melihatku, karena aku sudah tak terjangkau oleh mereka…berarti Arin pun juga tadi bukannya marah, tapi ia hanya tidak merasakan keberadaanku. Dan aku juga teringat wajah terkejut dan heran Sendy saat pertama kali melihatku di kampus tadi.
Ia memang tidak sedang berbohong.
“Tapi…tapi…kenapa aku masih di sini?” Semua ini mulai terasa tak masuk akal bagiku.
“Entahlah, siapa yang tahu, Dan? Mungkin karena kamu belum dimakamkan. Atau mungkin karena ada hal yang harus kamu ketahui terlebih dulu…” Sendy menjelaskan. Matanya menatap pada kerumunan orang-orang di rumahku.
“Kamu mau bilang aku punya urusan yang belum selesai?” tanyaku. Konsep yang sering ada di film-film itu kini terjadi padaku.
Sendy memasang wajah datar. “Kita akan tahu kalau kita ke rumahmu. Ayo.”
Dengan perasaan gugup, aku dan Sendy berjalan pelan menuju rumah kontrakanku. Kami melewati kerumunan orang-orang yang penasaran. Tapi rasa penasaran mereka tak lebih besar daripada yang aku rasakan.
Aku menyeruak dalam kerumunan, dan menemukan kebenaran. Tubuhku ada di sana. Dengan lebam dan luka di berbagai tempat. Bajuku yang masih bersimbah darah belum diganti. Aku tak mampu berpikir apa-apa. Atau bertindak apa-apa. Aku mematung, melihat tubuhku sendiri yang sudah menjadi tubuh tanpa ruh. Sendy menyentuh bahuku, menguatkanku.
Belum hilang kekagetan yang kualami, Arin tiba-tiba masuk ke ruangan. Ia baru saja datang dengan beberapa teman kampusku. Ia terbelalak sejenak melihat tubuhku yang ada di tengah ruangan. Tanpa banyak hitungan, Arin langsung pingsan.
*
Aku keluar dari ruangan tempat Arin dibaringkan. Ia sudah siuman, dan sangat terguncang. Tapi aku lega, ia baik-baik saja. Aku tak tahu berapa lama aku di sana, menunggui Arin hingga sadar dari pingsannya, dan menguping pembicaraannya dengan salah satu teman kampusnya. Aku langsung mendekati Sendy yang memang sengaja menungguku di luar. Sementara kulihat mayatku sudah tidak semengenaskan tadi keadaannya. Setidaknya badanku itu sudah dimandikan dan akan segera digotong ke pemakaman.
Kami mengikuti iring-iringan hingga ke pemakaman dalam diam. Aneh, aku akan menyaksikan pemakamanku sendiri.
“Kamu sudah tahu, kenapa Arin marah padaku.” Aku berkata padanya, saat kami menonton liang lahat untuk ragaku diperbesar.
“Aku juga perempuan,” ujar Sendy. “Sulit mengharapkan persahabatan tulus antarlawan jenis. Salah satunya, atau keduanya, biasanya akan jatuh cinta.”
“Dia memang berharap aku akan menyatakan cinta padanya, sebagai ‘kado’ di hari ulang tahunnya. Makanya… dia sangat kecewa.”
“Yah, sudah bisa kuduga, Dan.”
Tangisan yang bercampur dengan doa-doa kemudian menggaung di udara, membuat kami terdiam sejenak. Aku melihat orang-orang yang kusayangi menangisiku. Orangtua, keluarga, teman. Membuatku sedikit lega bahwa aku pernah punya arti bagi mereka. Kepergianku membuat orang sedih, bukannya senang.
“Menurutmu, kenapa aku baru melihatmu hari ini? Saat aku, yah, sudah mati?”
“Karena memang kamu tak memerlukanku selama kamu hidup, iya kan?” kelakar Sendy.
Aku tertawa. Sementara badanku sudah dimasukkan ke dalam lubang dalam yang serasa tak berdasar. Tanah mulai ditimbunkan di atasnya. Sedikit demi sedikit.
“Katakan pada Arin nanti. Aku mungkin tak bisa membalas perasaannya. Tapi aku sangat bersyukur bisa bertemu dengannya.” Aku berkata pada Sendy. “Dan…terima kasih, Sendy. Senang berkenalan denganmu.”
Sendy memandangku dengan matanya yang sudah berselaput tipis air mata, dan ia mengangguk sambil tersenyum. Pemakamanku sudah selesai. Dan aku bisa merasakan bahwa kini aku tak lagi memiliki wujud yang menopangku. Aku menipis. Dan lenyap.
.
Tulisan Kolaborasi Jusmalia Oktaviani dan Fadel Rezky Ramadhan