Miscellaneous

Luka

Kamu tahu kamu tidak bisa lagi melangkah mundur, atau membalikkan badan. Yang kamu tahu hanyalah, maju dan meninggalkan semua yang ada di belakang. Kamu tersentak, karena pria yang dulu pernah meninggalkan bekas dalam pada masa lalumu tidak kembali sebagai hantu, tapi mewujud nyata di depanmu.

Tapi kamu tahu…tak ada jalan kembali untuk dirinya, bersama kamu.

Adakah dari dirimu yang salah, karena lebih memilih sendiri tanpa harus melayani siapa-siapa saat ini? Kamu bertanya dalam hati, saat orang-orang di sekitar mulai menyalahkan kamu, atas pilihanmu yang tak bertekuk lutut lagi pada pria masa lalu.

Apakah kamu memang terlalu bodoh, tak bisa melihat bahwa pria yang barusan di depanmu telah berubah menjadi pria yang sepertinya bisa menjanjikan kamu segalanya? Kamu lagi-lagi bertanya dalam hati.

Tapi…apakah arti segalanya itu? Kamu bertanya pada dirimu lagi, kesekian kali.

Kamu dahulu, telah berlutut melakukan hal yang sama padanya. Kamu dahulu, telah terluka terlalu dalam. Meski kamu tahu, kamu bukan pendendam. Hanya saja, kata maaf tidak menjadi alasan seseorang untuk melakukan dua kali kebodohan.

Kamu memejamkan mata, mengendus aroma pepohonan yang terbawa angin, serta dedaunan yang hinggap di rambutmu. Kau menyentuh sang daun yang telah retak, dan sadar bahwa daun yang telah gugur dan mengering pun takkan bisa kembali ke ranting.

Miscellaneous

Petualangan Kotak Kayu

Aku memegang kotak kayu kecil di genggamanku itu dengan rasa penasaran. Rasanya ingin sekali membuka, dan mengintip isinya, sedikit saja. Tapi tak bisa. Harga diriku melarangku untuk melakukan itu.

Jika tidak karena wanita itu yang menitipkannya padaku, mungkin aku takkan memegang kotak ini. Tapi, takdir saat itu mempertemukanku dengannya.

Wanita paruh baya yang tak kuketahui namanya itu tak sengaja tertangkap oleh mataku sedang menangis di sudut tenda pengungsi. Meski malam sudah pekat, kesunyian tak mampu membenam suara sesenggukan sang wanita yang halus dan tertangkap telingaku.

Sudah tugasku untuk memenuhi keperluan pengungsi di lapangan, sehingga aku langsung saja mendekati wanita itu perlahan, dan menanyakan apa yang terjadi padanya, atau apakah dia memerlukan sesuatu. Namun wanita itu menggeleng dan tak bisa menahan air matanya.

“Jika memang ada masalah, kau bisa menceritakannya padaku,” kataku saat itu. Tidak bermaksud berbasa-basi, namun aku memang ingin sekali membantu wanita itu, apapun masalahnya.

Wanita itu memandangku, mungkin dalam hatinya dia sedang menilai apakah aku mampu. Tak lama, ia beranjak dari tempat tidur, dan mengambil tasnya. Ia kemudian mengeluarkan sebuah kotak kayu kecil yang ukurannya cukup untu digenggam satu tangan. Kemudian ia menyerahkannya padaku.

“Bisakah kamu menyerahkannya pada seseorang?” Ia bertanya.
“Kepada siapa?”
“Anakku.” Wanita itu menjawab.
Setelah itu, sang wanita mulai menceritakan kejadian yang dialaminya sesaat sebelum ia ditempatkan di pengungsian ini.
“Saat ada kabar bahwa pasukan pemberontak mengepung desa kami, aku dan anakku terpisah ketika tentara berhelm biru memaksa kami mengungsi. Aku langsung diarahkan untuk masuk ke sebuah truk. Mungkin anakku masuk ke truk yang lain, aku tak tahu. Aku sudah mencoba mencari dia di pengungsian ini, tapi sudah 3 hari di sini, aku tak melihatnya sekali pun. Aku tak tahu kemana harus mencarinya, dan tak tahu bagaimana menghubunginya.” Setelah berkata begitu, wanita itu pun menangis lagi.
“Lalu, apa yang bisa saya bantu?” tanyaku, meski aku tahu bantuan macam apa yang akan ia minta.
“Bisakah kamu menemukan anakku? Dan serahkan ini padanya?”
Seakan ada kekuatan magis yang menuntunku, aku hanya mengangguk setuju.

Dan keesokan paginya, aku terbangun dan langsung mengambil kotak yang kini ada di samping tempat tidurku. Dan di sinilah aku, merenung atas apa yang kulakukan semalam. Barulah aku menyadari, betapa gegabah dan cerobohnya aku, langsung menyetujui untuk menjadi kurir bagi wanita itu.

Aku menimbang-nimbang posisiku. Dengan hanya berbekal foto selembar, serta nama, aku harus mencari seorang gadis berusia 20 tahun yang kini bisa berada di mana saja.
“Bisa saja dia sudah mati,” pikirku, “Dan pencarian ini mungkin akan sia-sia.”
Belum lagi jika aku harus memikirkan perasaan wanita itu. Bagaimana kalau aku gagal?
Aku menunduk menatap kotak yang kini berhasil meraih segala pusat perhatianku. Wanita itu tak secara eksplisit meminta aku untuk tidak membuka kotak itu. Namun tetap saja aku tak boleh membuka barang pribadi milik orang lain, meski aku penasaran. Kuguncang-guncang kotak itu, berharap mendengar sesuatu yang bisa dijadikan petunjuk. Namun, hanya suara gesekan halus bergaung di dalam kotak itu.
Mendadak, deru mesin yang keras terdengar di luar tenda. Kegiatanku mengamati kotak itu sontak terhenti. Guncangan dari angin yang semakin mengencang membuatku sadar bahwa itu adalah kedatangan helikopter pembawa bantuan logistik. Aku mengamati jam tanganku, mencoba memperkirakan waktu. Seakan mendapat bisikan, segera aku bangkit dan aku masukkan kotak itu ke dalam tas kecil milikku. Mendadak, aku tahu apa yang harus pertama kulakukan saat mendengar suara helikopter itu.
Misi dimulai, batinku.

Aku berpegangan dengan tangan yang berkait cukup ganjil di dalam helikopter. Aku tidak terlalu suka terbang. Helikopter yang kutumpangi dalam misi kemanusiaan di Afrika 3 tahun lalu pernah ditembaki oleh gerakan separatis, dan mau tak mau membuatku sedikit trauma. Setengah jam di udara terasa begitu menyiksaku. Aku tak bisa mengungkapkan kelegaanku saat aku menginjak tanah yang padat. Ryu, seorang anggota organisasi non-pemerintah menyambutku dengan tergelak. Kami telah berteman beberapa tahun terakhir, karena kesamaan kami dalam bidang kemanusiaan, namun kami tak bisa selalu berjumpa. Ia selalu bahagia melihat wajahku yang pucat pasi kala harus terbang.
“Tidak jetlag kan?” Ryu menepuk punggungku. Bahasa inggrisnya masih diwarnai aksen jepang yang kental.
“Ha-ha. Lucu sekali, Ryu.” Aku menyahut dengan tawa yang dibuat-buat.
“Aku diberitahu oleh pilot bahwa kamu ikut penerbangan ke sini. Tapi, kalau boleh tahu, untuk apa?” Ryu bertanya setelah mempersilakanku beristirahat sejenak.
“Aku mencari seseorang.” Lalu kuserahkan selembar foto yang dititipkan wanita itu.
Ryu menatap foto yang kuberi dengan saksama. Alisnya bertaut. “Menurutmu, gadis ini ada di pengungsian sini?”
Aku mengangkat bahu. “Aku hanya berusaha mencari di pengungsian lain, yang terdekat. Desa asal wanita dan anak perempuannya itu tak jauh dari sini, jadi aku yakin pasukan perdamaian yang membantu mengungsikan akan menempatkan pengungsi di tempatku, atau tempatmu. Wanita itu yakin tak melihat sosok anaknya di pengungsian tempatku bekerja. Jadi mungkin saja, dan aku berharap, gadis itu di sini, di pengungsian yang kau monitori.”
Ryu menggeleng, perlahan.
“”Entahlah. Kau tahu sendiri, jumlah pengungsi yang harus diurus. Aku tak mungkin hafal wajah mereka satu-satu. Mungkin ada, mungkin tidak.”
“Tapi kau boleh berkeliling di pengungsian ini tentunya. Mungkin kau akan menemukan wanita yang kau cari itu.” Ryu berkata seraya mengembalikan foto itu. “Kau boleh berlama-lama di pengungsian ini, smapai menemukan wanita ini.
“Terima kasih, Ryu.”
“Semoga beruntung, kawan,” ucapnya. “Hah, perang memang kejam ya, bahkan bagi mereka yang tidak terlibat. Orang-orang sipil harus terampas kehidupan normalnya. Ibu dan anak pun jadi terpisah.” Setelah berkata seperti itu, Ryu pun berlalu. Dalam hati, aku meng-iya-kan ucapannya itu. Aku tak bisa menemukan bantahan untuk itu.

Entah sudah berapa lama aku berjalan, mencoba mengelilingi pengungsian ini. Namun, menemukan satu di antara hampir seribu orang, berbekal selembar foto saja, juga bukan pekerjaan mudah. Pengungsian ini memang besar, lebih besar dari tempatku bekerja. Dan mengingat manusia juga bukan benda mati, gadis dalam foto ini tak mungkin berdiam diri di satu posisi saja. Entah dimana ia sekarang.

Tenda demi tenda kukunjungi. Orang-orang yang melewatiku, aku tanyai mengenai gadis dalam foto itu, namun kebanyakan mereka menggelengkan kepala bahkan sebelum aku sempat mengonfirmasi namanya. Dalam keputusasaan, aku mencoba mendatangi seorang wanita yang sedang mengawasi anak lelakinya bermain pasir di luar tenda pengungsian. Usaha terakhir, batinku. Jika masih tak ada petunjuk, aku berencana untuk kembali ke pengungsianku sendiri dan melanjutkan pencarian esok hari. Aku tak mungkin terus-menerus di sini dan membuat pekerjaanku di pengungsian terbengkalai.
“Maaf, apakah ibu pernah melihat gadis ini? Namanya Fathya. Dia kira-kira 20 tahun.” Aku bertanya. Dan seperti yang sudah kuduga, dia menggeleng. Baiklah, ucapku dalam hati, saatnya pulang. Setidaknya aku mencoba.
“Ah, dia kakak cantik waktu itu, Ibu!” Suara anak kecil tiba-tiba menyahut. Anak dari wanita itu ternyata sudah berdiri di sampingku, sambil mengintip foto yang kupegang. Seakan mendapat pengharapan, aku langsung berjongkok, berusaha menyamakan posisi dengan anak itu. “Kamu kenal dengan orang ini?” Aku bertanya sambil menyodorkan foto padanya.
“He-em.” Anak itu mengangguk tegas. “Aku main terlalu jauh, terus aku tersesat. Kakak ini yang mengantarku ke tenda.”
“Oh, ternyata dia yang selama ini kau bicarakan, Nak?” sahut sang ibu.
Anak itu mengangguk lagi.
“Maaf, Pak, saya sendiri belum bertemu gadis ini. Waktu itu anak saya belum kembali juga setelah dua jam menghilang, sehingga saya mencarinya kemana-mana. Begitu saya kembali ke tenda saya lagi, anak ini tahu-tahu sudah ada di dalam. Dia bercerita ada gadis yang menolongnya. Gadis yang diceritakannya itu mungkin langsung kembali ke tendanya sendiri setelah mengantar anak saya.”
“Kakak ini baik sekali,” seru anak itu. “Tapi dia kasihan, perutnya besar dan pasti berat sekali.”
“Mungkin yang anak saya maksud, wanita itu sedang hamil. Mungkin anda bisa mencarinya di klinik kesehatan.”
“Ah ya, terima kasih, Bu. Dan kamu juga, terima kasih ya, Nak.” Aku berkata sambil mengelus kepala anak lelaki yang menyelamatkan hariku itu.

Bergegas, aku segera mencari klinik kesehatan khusus pengungsi. Aku terkesiap. Aku tersenyum sendiri, menyadari kebodohanku. Klinik! Kenapa tidak terpikir olehku dari tadi? Aku mengumpat dalam hati.
Di klinik pasti ada nama-nama pasien yang pernah berkunjung ke sana. Setidaknya aku bisa mengecek terlebih dahulu, apakah Fathya pernah berkunjung ke klinik atau belum.

Klinik kesehatan yang kucari cukup mencolok dengan tanda palang merah di salah satu dindingnya. Suasana klinik tak begitu ramai. Hanya ada 3-4 orang yang menjadi pasien pagi itu. Aku menyapukan pandangan, berharap melihat Fathya di situ, tapi sosok yang mirip ia tak ada. Harapanku sedikit pudar, namun aku bergegas menuju petugas administrasi dan menanyakan perihal Fathya padanya. “Oh, pasien yang bernama Fathya sedang diperiksa di dalam. Mungkin anda bisa menemuinya setelah pemeriksaan.” Aku mengangguk, dan segera duduk di kursi panjang tempat para pasien menunggu giliran.

Selama menunggu, pikiranku pun langsung berusaha menganalisis apa yang terjadi. Aku tak menyangka bahwa Fathya sedang hamil. Ibunya tak menceritakan apapun tentang itu. Saat kuberitahu bahwa jika aku menemukan Fathya, aku mungkin bisa mempertemukan mereka. Tapi wanita itu malah menggeleng sedih dan menyuruhku hanya mengantar kotak itu. Aku hanya berharap, menemukan Fathya bisa menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi pada ibu dan anak itu.
Tak lama kemudian, sosok ibu muda muncul dari balik pintu. Aku terpana. Aku seratus persen meyakini, wanita itu Fathya, karena ia begitu mirip dengan foto yang aku genggam.  Melihat wanita muda yang begitu rapuh, dengan wajah letih, dan kehamilan yang mungkin hanya akan menunggu hari. Aku langsung menyambutnya. “Maaf, anda yang bernama Fathya? Saya ingin bicara.”
Fathya menatapku sedikit curiga, namun kemudian ia mengangguk dan mau duduk di sampingku.
“Ada apa?”
“Saya bertemu ibu anda.”
“Ibu?” Nada suara Fathya jelas-jelas keheranan. Namun dia tak menunjukkan rasa tertarik, yang membuatku semakin heran. Apa dia tak ingin bertemu ibunya?
“Ya, ibu anda ada di pengungsian di tempat saya bekerja. Setengah jam dari sini, lewat udara.”
“Itu saja yang ingin anda sampaikan?”
Aku melongo. Tak menyangka sambutan Fathya akan sedingin itu. “Saya sudah ditunggu suami saya,” kata Fathya, sambil beranjak meninggalkanku.
“Tunggu! Anda tidak mau bertemu ibu anda? Sebentar lagi helikopter akan berangkat ke pengungsian saya. Saya bisa membawa anda pada ibu anda.”
“Aneh sekali. Ibu saya membenci saya, Tuan. Dia membenci saya semenjak saya hamil di luar nikah dengan pria yang tak ia setujui. Semenjak dia mengusir saya, dia tak pernah menghiraukan saya.” Fathya bercerita dengan wajah yang keras.
“Ibu anda berkata, dia terpisah dari anda saat pasukan perdamaian datang,” sahutku.
“Ya, hari itu saya melihat ia di halaman rumah saya. Tapi dia hanya terpaku di luar sana. Saat saya menyuruh suami saya saja untuk menemuinya, saat itu ada perintah untuk mengungsi.”
“Beliau menyuruh saya menyerahkan ini,” kataku. Aku mengeluarkan kotak kayu yang menjadi inti permasalahan, yang membuatku kesana-kemari seharian itu.
“Apa ini?” Fathya tertegun. Aku menggeleng. “Silakan anda yang buka.” Dengan cepat, ia membuka kotak itu. Aku merasakan jantungku berdebar kencang saat akhirnya kotak itu tak lagi tertutup.
Fathya mengeluarkan sebuah kertas yang terbungkus cukup rapi. Melihat kertas itu cukup tebal, aku menasihati Fathya untuk hati-hati saat membukanya. Kertas itu tak hanya sebuah kertas yang terlipat, pasti ada isi di dalamnya.
Satu demi satu lipatan kertas dibuka perlahan. Dan ketika akhirnya lipatan terakhir terbuka, terlihatlah wujud benda yang ingin disampaikan sang iu kepada anaknya.
“Emas,” kataku, dengan nafas tertahan. Aku langsung tak habis pikir betapa ibu itu mempertaruhkan resiko untuk mempercayaiku. Aku bisa saja membuka isinya, mengambil semua emasnya. Namun, wanita itu tak punya pilihan, karena ia tak berani menemui anaknya sendiri setelah ia mengusirnya.
“Perhiasan yang diberikan ayah saat melamar ibu,” ucap Fathya, dengan terbata-bata. Cincin, kalung, dan anting-anting yang cantik tampak di sana.
“Ada tulisan di kertas itu,” kataku. Fathya segera memasukkan emas milik ibunya ke kotak kayu dan membacakan kalimat pendek yang ada di kertas itu. “Ibu merestuimu, Nak. Maafkan ibu.” Fathya tak mampu membendung tangisannya.
“Selalu ada kesempatan untuk hal yang baik,” kataku pada Fathya. “Anda tahu, apa yang harus anda lakukan.”
Fathya mengangguk. “Aku pun sudah merindukannya. Beri saya dan suami saya waktu sebentar untuk bersiap-siap.”
Aku mengangguk pada gadis muda itu. “Pasti. Saya tunggu di dekat landasan helikopter.”
Aku tersenyum lebar melihat punggung Fathya yang menjauh, berjalan dengan semangat menuju tendanya karena membawa kabar baik yang selama ini mungkin ditunggunya. Hatiku mendadak diisi perasaan hangat yang hanya muncul saat kita ternyata bisa membantu orang lain meraih kebahagiaannya.
Misi selesai, bisikku pada diriku sendiri, sambil melangkah menuju landasan helikopter.

Miscellaneous

TELAT BULAN

#1

 .

“Kamu yakin keluarin di luar?”

“…”

“Hei! Kamu yakin?”

“Iya. Kamu lihat sendiri kan?”

“Tapi nada suaramu nggak yakin.”

“Aku juga nggak tahu. Mungkin tadi ada di dalam.”

“Mungkin?”

“Aku nggak tahu. Kayaknya aku nariknya terlambat, jadi…mungkin ada yang di dalam…”

“Kalau aku hamil gimana?”

“Tapi kan belum tentu. Kalaupun keluar di dalam, tadi kan sedikit.”

“Bukan persoalan banyak atau sedikit, Rob! Satu sel sekecil ini, sekecil iniiii aja, itu bisa jadi anak!”

“Kamu tahu kan yang harus kamu lakuin?”

“Apa maksud kamu?”

“Ya, aku nggak siap…”

“Kamu nggak mau bertanggung jawab?”

“Kamu pikir aku bisa jadi ayah sekarang? Aku masih muda, jalanku masih panjang.”

“Kalau kamu nggak berani tanggung jawab, kenapa kamu berani lakuin itu tadi? Aku udah bilang ke kamu sebelumnya, jangan masukin tanpa pengaman. Kamu malah nekat…”

“Aku juga nggak tahu kenapa…itu…spontan…”

“Sekarang gimana?”

“Gimana apanya?”

“Jadi kalau aku hamil, kamu nggak mau tanggung jawab?”

“Karena memang kondisiku nggak memungkinkan…Lagipula, kamu belum tentu hamil.”

“Aku cuma berandai-andai.”

“Ya, untuk apa berandai-andai. Sudahlah, nggak usah meributkan hal yang belum tentu kejadian.”

“Kamu nggak sayang aku, Rob? Kamu nggak mau nikah sama aku?”

“…”

“Rob?”

 .

 

#2

 .

“Aku sudah telat haid…”

“Sudah seberapa lama?”

“Dua bulan.”

“Dua bulan? Sudah beli test pack?”

“Sudah.”

“Hasilnya…?”

“…”

“Jangan bilang, kalau hasilnya positif.”

“Iya…”

“…”

“Menurutmu, gimana?”

“Sudah pasti, harus kita gugurkan.”

“Astaga…”

“Menurutmu kita harus gimana? Jadi orangtua dalam sembilan bulan ke depan? Aku nggak siap.”

“Aku juga nggak siap. Tapi…”

“Tapi apa? Memangnya ada pilihan lain?”

“Kamu setega itu? Membunuh janin ini? Ini calon anakmu juga.”

“Aku tahu. Tapi…harus ada yang dikorbankan.”

“Kamu mau mengorbankan janin ini? Kamu mau membunuhnya?”

“Aku harus memilih, masa depanku yang terbunuh atau anak yang belum bernyawa itu.”

“Anak ini bahkan belum mengecap hidup, apalagi masa depan…”

 .

Tulisan Kolaborasi

Ilusi

Dalam keheningan malam, aku berjalan menyusuri kota ini. Dengan keadaan setengah tidak sadar dan ditemani hembusan angin malam yang membuat mata ini terasa berat. Masih keadaan yang masih sama, dalam keadaan lelah dan sunyinya malam ku menancapkan gas dan melaju dengan cepat mengejar waktu yang tersisa untuk esok. Tanpa bisa ku kendalikan, motor yang kukendarai tergelincir ketika kuhendak menghentikannya. Dan tak bisa kuhindari lagi kecelakaan itu pun terjadi, tanpa kuketahui sebuah mobil telah berada di hadapanku dan siap untuk menghantamku. Aku hanya bisa menunggu adanya keajaiban yang akan menolongku dari bencana ini.

Di saat itu aku mungkin merasa aku sudah pingsan cukup lama. Ketika aku membuka mata ini kumendapati tubuhku masih terlentang di aspal jalan ini tanpa ada seorang yang menolongku dan juga pengendara mobil yang tak bertanggung jawab. Kumencari sepeda motor yang kukendarai tapi tak kutemukan. Benakku pun berpikir jika motor itu telah diambil oleh orang yang tak berperasaan kepadaku. Terpaksa dengan keadaan pincang dan baju yang berlumuran darah ku melangkahkan kaki menuju hunianku yang terletak 1 km dari tempatku saat ini.

Mendekati tempat tinggalku, kumelihat orang-orang dengan tatapan heran terus memandangku. Aku tak tahu mengapa, mungkin mereka khawatir dan ingin membantuku atau mungkin mereka berpikir mengapa aku masih bisa berjalan, terserah mereka ku tidak ingin tahu. Aku hanya ingin pulang dan membersihkan tubuhku lalu berbaring di kasur untuk menghilangkan penat dan letih yang telah datang menghampiriku dari tadi. Aku ingin mempersiapkan diri untuk memulai hari pertama kuliahku esok.

Pagi ini seperti biasa, hidup sendiri tanpa ada teman untuk bisa berbagi cerita yang kualami di meja makan ini. Hanya ada aku, aku, dan aku seorang diri menikmati pagi yang cerah dengan luka di sebagian tubuh akibat kecelakaan semalam. Mungkin aku harus berjalan lagi menuju kampus karena aku baru sadar motor yang kukendarai semalam telah dibawa lari orang. Untung saja kampus tempatku kuliah tidak berada jauh dari tempat tinggalku. Aku bergegas untuk berangkat dan tidak ingin kehilangan materi yang akan diajarkan oleh dosen.

Aku heran terhadap mahasiswa lain yang tidak menganggap keberadaanku. Mereka menganggap aku seolah hanyalah bayangan. Mereka tidak pernah mempedulikan atau pun menegurku. Biarpun ini hanyalah hari awal, tapi bukan berarti mereka bisa memperlakukanku layaknya aku sebagai benda mati disini. Bahkan teman SMA ku dulu tidak sesekali pun menegurku, dia hanya terus memasang muka muram akibat perselisihan kami semalam, mungkin dia masih tidak ingin bertegur sapa denganku. Tapi bukannya seorang teman harus selalu bisa memahami dan saling mengerti.

Bel tanda istirahat pun dibunyikan dan masih belum ada yang menegurku. Ku langkahkan kaki menuju halaman kampus ini dan duduk di bangku taman. Tiba-tiba pandanganku terjatuh oleh seorang wanita entah siapa aku tak tahu dia. Rambutnya yang pendek sebahu tergerai rapi. Dengan kacamata bergagang cokelatnya, dan tanpa memakai aksesoris apapun di tubuhnya, ia tampak anggun namun sederhana. Ia cantik dengan caranya sendiri.

Sebenarnya aku hendak mendekati wanita itu, mengenalnya lagi lebih dalam. Pasalnya aku memang baru ini melihat gadis itu ada di kampus ini. Padahal aku sudah hampir tiga tahun disini dan baru kali ini aku melihat sosoknya.

Tiba-tiba wanita itu memandangku, ke arahku. Matanya tampak membulat, alisnya terangkat. Mungkin heran melihat badanku yang terluka di beberapa bagian. Aku mengutuk kesialanku. Saat aku bertemu dengan wanita cantik, kenapa aku harus dalam keadaan sial seperti ini?

Ia terus saja memandangiku sehingga aku pun akhirnya memberanikan diri untuk senyum padanya. Ia tidak membalas senyumku, ia langsung saja mendatangiku. Aku kaget saat wanita itu tiba-tiba sudah berada di sampingku.

“Apa yang kamu lakukan di sini?” Ia bertanya dengan suara setengah berbisik. Matanya menatapku dengan heran.

“Aku…ya, ini kan, kampus. Aku datang untuk belajar,” jawabku.

“Belajar?” tanyanya lagi, masih dengan nada heran. “Kamu…yakin?” Ia menambahkan.

“Ya pastilah. Memang untuk apa lagi?” Aku menimpali cepat, dengan sedikit nada jengkel. Bukankah ini adalah suatu hal yang sudah jelas, kenapa gadis ini ngotot menanyakan tujuanku datang ke kampus? Gadis yang aneh, pikirku.

Gadis itu kemudian menepuk dahinya, kemudian menggelengkan kepala dengan putus asa. “Baiklah, mungkin…ya, nanti sajalah…hmm, pelan-pelan nanti akan kujelaskan.” Ia berkata kemudian. Aku hanya mengangkat bahu. Kebingungan.

“Aku Sendy. Siapa namamu?” tanyanya.

“Adan.” Lalu kuulurkan tanganku, membalas salam perkenalannya.

“Kamu, habis kecelakaan?” tanya Sendy. Wajahnya nampak prihatin, mungkin karena melihat berbagai variasi luka-luka yang ada di sekujur tubuhku.

Aku mengangguk. “Semalam. Tapi nggak ada tulang yang patah kok. Paling luka-luka dan ya, memar.” Aku mencoba tersenyum.

“Coba ceritakan padaku tentang kejadian semalam.”

Mulutku pun langsung mengalirkan cerita tentang apa yang terjadi pada malam sebelumnya. Pertengkaran dengan sahabatku. Perjalanan pulang saat aku akhirnya menabrak mobil. Aku yang ditinggal lari oleh penabrakku. Motorku yang tak bisa kutemukan lagi. Semua kesialan yang terjadi kuceritakan pada Sendy. Setelah selesai, aku baru sadar bahwa aku begitu lancar berbicara pada Sendy, orang yang baru kukenal beberapa menit.

Dia mengangguk. Kemudian ia bertanya lagi padaku. “Boleh tahu, sebenarnya kenapa kamu dan sahabat kamu bertengkar?”

“Aku dan Arin? Ah, aku juga nggak terlalu paham, Sen. Kejadiannya cepat sekali. Aku datang ke rumahnya, karena dia ulang tahun kemarin. Awalnya Arin baik-baik saja, dan aku bisa bilang ia senang dengan kedatanganku. Aku mengeluarkan kado yang sudah kusiapkan, dan ya, kami ngobrol, seperti hari biasa.  Setelah itulah kurasakan emosinya perlahan berubah. Ia seperti bukan Arin yang biasa aku kenal. Dan, entah mungkin di bagian pembicaraan yang mana, dia akhirnya marah padaku. Mungkin ada kata-kataku yang salah, entahlah. Aku juga nggak tahu, kenapa ia jadi mudah tersinggung akhir-akhir ini. Padahal kami sudah berteman sejak SMA.”

“Lalu?”

“Ya, puncaknya, dia mengusirku dari rumahnya. Ia mendorongku pergi sambil menangis. Aku nggak paham apa yang ada di pikirannya. Bicaranya juga nggak jelas. Arin membuatku bingung.” Aku menghembuskan nafas panjang. “Tadi pagi, ia acuh tak acuh. Mungkin dia sudah benci padaku. Padahal aku nggak tahu apa salahku. Kami nggak pernah bertengkar sehebat ini sebelumnya.” Aku merasakan ngilu di dadaku mengingat Arin yang kini berbalik membenciku. Pasalnya, ia adalah sahabat terdekatku selama tiga tahun ini.

“Dan setelah dari rumah Arin itulah kamu kecelakaan.” Sendy berkata. Aku mengangguk.

“Kurasa aku mulai paham…” gumam Sendy.

“Apa maksudmu?” Aku mulai bingung dengan jalan pikiran wanita yang tak sepenuhnya kupahami. Baik Arin maupun Sendy. Bahasa yang mereka gunakan seperti teka-teki bagiku.

“Tunggu sebentar.” Sendy tiba-tiba berujar. Ia mendadak langsung bangkit dari duduknya. Matanya memandang ke arah kelasku. Sepertinya ada kehebohan di sana. Aku ingin bangkit menyusul Sendy yang sudah berjalan menuju ke sumber keributan itu, tapi dengan isyarat gerakan tangan ia menyuruhku untuk tetap duduk di tempatku. Dan aku hanya bisa mengangkat bahu. Tingkah Sendy membuatku bingung, tapi akhirnya aku menurut juga. Aku hanya menunggu sampai ia kembali menemuiku sepuluh menit kemudian.

Perasaanku tak nyaman saat melihat gadis itu yang kini memandangku dengan wajah muram. “Sebenarnya ada apa, sih?” tanyaku penasaran.

“Hmm, kita ke rumahmu dulu, yuk. Rumahmu dekat sini, kan?” tanya Sendy.

“Ya, tapi kenapa…”

“Percayalah denganku. Nanti aku jelaskan sambil jalan.”

Kami berjalan beriringan menuju rumahku. Di beberapa menit awal, Sendy hanya diam. Ia lebih banyak menundukkan wajah, menghindari bertatap muka denganku. Aku juga malas memaksanya bicara. Aku yakin ia akan menepati janji. Menjelaskan apa yang bisa ia jelaskan padaku.

“Kenapa di sekitar rumahku ramai?” Aku berkata, memecahkan kesunyian di antara kami, saat dalam jarak beberapa meter, aku melihat banyak orang yang berkerumun di rumah kontrakanku.

“Adan…tunggu,” sergah Sendy, yang tiba-tiba berkata sambil membentangkan lengannya di hadapanku, melarangku melangkah lebih jauh. Langkah kami terhenti. Ia menarik nafas panjang sebelum akhirnya mengatakan hal teraneh yang pernah kudengar, “Rumahmu ramai, karena…jasadmu sudah ditemukan.”

Butuh waktu sepersekian menit bagiku untuk mencerna apa yang dikatakan Sendy. “A…Apa? Jasad?”

Sendy mengangguk. “Keributan di kelasmu tadi, karena ada kabar jasadmu ditemukan di pinggir jalan. Beberapa meter dari lokasi kecelakaanmu. Sepertinya kamu berjalan cukup jauh untuk pulang dalam keadaan luka. Tapi kemudian kamu mungkin sudah nggak kuat, sehingga…”

Aku bagaikan dihantam mendengar perkataan Sendy. “Kamu gila, Sen. Dan ini nggak lucu.” Aku tertawa getir. Lelucon macam apa ini?

“Dan aku juga sedang nggak bercanda, Dan.” Sendy berkata dengan nada yang sangat serius, membuatku mulai yakin bahwa apa yang dia katakan itu benar. “Aku sudah tahu, dari pertama kali melihatmu tadi di kampus. Melihat hal-hal seperti ini, memang kemampuanku. Tapi, karena kamu belum sadar bahwa kamu sudah…sudah…meninggal, jadi aku sendiri bingung bagaimana harus menjelaskannya ke kamu.”

Seakan ada tirai yang semakin tersibak, aku teringat dengan teman-teman kampusku yang tak peduli padaku hari ini. Mereka tidak melihatku, karena aku sudah tak terjangkau oleh mereka…berarti Arin pun juga tadi bukannya marah, tapi ia hanya tidak merasakan keberadaanku. Dan aku juga teringat wajah terkejut dan heran Sendy saat pertama kali melihatku di kampus tadi.

Ia memang tidak sedang berbohong.

“Tapi…tapi…kenapa aku masih di sini?” Semua ini mulai terasa tak masuk akal bagiku.

“Entahlah, siapa yang tahu, Dan? Mungkin karena kamu belum dimakamkan. Atau mungkin karena ada hal yang harus kamu ketahui terlebih dulu…” Sendy menjelaskan. Matanya menatap pada kerumunan orang-orang di rumahku.

“Kamu mau bilang aku punya urusan yang belum selesai?” tanyaku. Konsep yang sering ada di film-film itu kini terjadi padaku.

Sendy memasang wajah datar. “Kita akan tahu kalau kita ke rumahmu. Ayo.”

Dengan perasaan gugup, aku dan Sendy berjalan pelan menuju rumah kontrakanku. Kami melewati kerumunan orang-orang yang penasaran. Tapi rasa penasaran mereka tak lebih besar daripada yang aku rasakan.

Aku menyeruak dalam kerumunan, dan menemukan kebenaran. Tubuhku ada di sana. Dengan lebam dan luka di berbagai tempat. Bajuku yang masih bersimbah darah belum diganti. Aku tak mampu berpikir apa-apa. Atau bertindak apa-apa. Aku mematung, melihat tubuhku sendiri yang sudah menjadi tubuh tanpa ruh. Sendy menyentuh bahuku, menguatkanku.

Belum hilang kekagetan yang kualami, Arin tiba-tiba masuk ke ruangan. Ia baru saja datang dengan beberapa teman kampusku. Ia terbelalak sejenak melihat tubuhku yang ada di tengah ruangan. Tanpa banyak hitungan, Arin langsung pingsan.

*

Aku keluar dari ruangan tempat Arin dibaringkan. Ia sudah siuman, dan sangat terguncang. Tapi aku lega, ia baik-baik saja. Aku tak tahu berapa lama aku di sana, menunggui Arin hingga sadar dari pingsannya, dan menguping pembicaraannya dengan salah satu teman kampusnya. Aku langsung mendekati Sendy yang memang sengaja menungguku di luar. Sementara kulihat mayatku sudah tidak semengenaskan tadi keadaannya. Setidaknya  badanku itu sudah dimandikan dan akan segera digotong ke pemakaman.

Kami mengikuti iring-iringan hingga ke pemakaman dalam diam. Aneh, aku akan menyaksikan pemakamanku sendiri.

“Kamu sudah tahu, kenapa Arin marah padaku.” Aku berkata padanya, saat kami menonton liang lahat untuk ragaku diperbesar.

“Aku juga perempuan,” ujar Sendy. “Sulit mengharapkan persahabatan tulus antarlawan jenis. Salah satunya, atau keduanya, biasanya akan jatuh cinta.”

“Dia memang berharap aku akan menyatakan cinta padanya, sebagai ‘kado’ di hari ulang tahunnya. Makanya… dia sangat kecewa.”

“Yah, sudah bisa kuduga, Dan.”

Tangisan yang bercampur dengan doa-doa kemudian menggaung di udara, membuat kami terdiam sejenak. Aku melihat orang-orang yang kusayangi menangisiku. Orangtua, keluarga, teman. Membuatku sedikit lega bahwa aku pernah punya arti bagi mereka. Kepergianku membuat orang sedih, bukannya senang.

“Menurutmu, kenapa aku baru melihatmu hari ini? Saat aku, yah, sudah mati?”

“Karena memang kamu tak memerlukanku selama kamu hidup, iya kan?” kelakar Sendy.

Aku tertawa. Sementara badanku sudah dimasukkan ke dalam lubang dalam yang serasa tak berdasar. Tanah  mulai ditimbunkan di atasnya. Sedikit demi sedikit.

“Katakan pada Arin nanti. Aku mungkin tak bisa membalas perasaannya. Tapi aku sangat bersyukur bisa bertemu dengannya.” Aku berkata pada Sendy. “Dan…terima kasih, Sendy. Senang berkenalan denganmu.”

Sendy memandangku dengan matanya yang sudah berselaput tipis air mata, dan ia mengangguk sambil tersenyum. Pemakamanku sudah selesai. Dan aku bisa merasakan bahwa kini aku tak lagi memiliki wujud yang menopangku. Aku menipis. Dan lenyap.

 .

 Tulisan Kolaborasi Jusmalia Oktaviani dan Fadel Rezky Ramadhan

Miscellaneous

Kata Maaf

Ada sesal yang tertinggal. Selalu seperti itu saat kita sudah sadar apa yang seharusnya kita perbaiki.

Aku menggenggam erat buku harianmu, buku harian yang selalu dengan rapi berhasil kau sembunyikan dariku. Menurutmu, kita masing-masing berhak punya privasi, dan buku harian adalah salah satu ‘ruang pribadi’mu yang tak pernah ingin dijamah oleh siapapun, termasuk olehku.

Setelah sekian lama hidup bersama, aku baru tahu, bahwa rasa sakitmu terlalu besar untuk kamu tahan. Ya, semua kesalahanku di matamu tertulis rapi di buku harianmu. Yang baru aku tahu setelah kamu memutuskan pergi dariku. Setelah kamu memutuskan bahwa buku harianmu boleh kubaca.

Maaf, aku tak pernah cerita. Karena aku takut. Aku menyayangimu, tapi aku takut padamu. Sementara dalam hubungan yang sehat, tak seharusnya aku merasakan ini. Aku selama ini terlalu lama memakai topeng. Aku tersiksa. Sangat tersiksa. Kalau kamu baru menyadarinya, sayang, hanya ada dua kemungkinan: kamu memang terlalu egois sehingga tak sadar derita yang kurasa, atau, aku memang seorang aktris yang berbakat. 

Aku tak tahu, bahwa selama ini ketegaran yang kamu tampakkan ternyata hanya pura-pura. Bagiku, ketegaranmu itulah yang membuatku ingin kembali padamu, meski aku memang pengkhianat, aku tergoda oleh seorang yang secara kasat mata, memang lebih dari padamu.

Aku tak tahu, bahwa sakit itu terlalu dalam untukmu. Aku pikir kamu akan menungguku kembali. Aku pikir kamu sudah ikhlas memaafkanku.

Aku tahu, kamu berubah. Aku tahu, kamu berjanji takkan mengulanginya. Tapi, aku tak bisa hidup dengan dendam ini. Ternyata hatiku lebih buruk daripada yang kukira. Dan semakin hari melihatmu, melihatmu kembali bersamaku, membuat hatiku semakin buruk saja. Aku tak ingin hidup dengan dendam. 

Dalam diam, aku menggenggam erat buku harian yang kamu tinggalkan rapi untukku setelah kepergianmu. Halamannya yang berkerut karena basah dan kering akibat air matamu.

Kini, aku hanya bisa meraung, meminta maaf padamu, tanah merah di hadapanku. Meski kata maafku takkan bisa mengembalikanmu padaku lagi.

Kelas Menulis Poetica, Miscellaneous

Hamba Sahaya

Aku tak lebih dari sebuah boneka. Talinya terhubung di seluruh jemarimu. Otakmu terhubung dengan sebuah tali ke kepalaku. Kepatuhan menyeluruh milikku kuserahkan padamu. Kau menggenggam seluruh sendi hidupku.

Sesungguhnya mana kebenaran serta kebodohan telah tersamarkan. Tak mampu terhitung jumlah hari, ketika mataku telah ditutup dengan sebentuk kain hitam. Mata yang terbuka tak lagi melihat arah dan jalannya. Tersaput dalam kepekatan semata.

Aku sungguh terheran-heran, mengapa tak sekalian, kau layangkan saja nyawaku dengan sekali hantaman. Jiwa ragaku sudah pasti akan kau genggam.

Aku sungguh ingin tahu, mengapa tak dari dulu, kau simpan mayatku bersamamu. Seperti itu saja, jika kemudian kau ingin selalu bersamaku.

Aku sungguh bertanya-tanya, mengapa sewaktu bersama, tak kau jadikan aku sekalian seperti piala. Aku takkan kemana-mana dalam rak kaca. Mudahnya membuatku tak meninggalkanmu selamanya.

Entah apa, dan dosa yang bagaimana, atasku padamu. Telah kujadikan diriku hamba sahaya sebaik-baiknya. Tak kuucap sepatah kata saat kau mencerca. Ketika jemarimu membekas, aku tetap setia. Saat kau hampir membuangku, aku bahkan menunggu.

Hidupku kuabdikan sekian lama, namun waspada selalu menjadi teman setia. Kecemasan bersanding sempurna bersama kekhawatiran, berpuncak pada titik ketakutan. Menanggung gemetar bahkan di atas kaki sendiri. Berjalan tak lagi berani melihat kanan-kiri. Tak satu kali pun mencoba bersembunyi, tangan-tanganmu yang lincah cepat mengawasi.

Dan aku hanya menjadi sebuah boneka. Sejak dulu hingga selamanya, apa yang telah kau sayangi takkan kau biarkan pergi. Ada, yang ingin melihatku sebentar saja. Ada, yang ingin mengenal siapa aku sebenarnya. Ada, yang ingin meminjamku sekejap saja.

Kau adalah anak perempuan yang tak mau diganggu mainannya. Meski badanku koyak, menghamburkan kapas-kapas penyumpal. Meski bajuku telah lusuh, terlalu sering kau bawa kemana saja. Meski kulitku menghitam tersentuh tanah saat kau menyeretku bersama. Kamu keras kepala, mempertahankan. Aku harus berkorban dalam diam, memakai baju penuh tambalan.

Karena aku adalah semua yang kamu butuhkan. Pelepasan. Percintaan. Kesayangan. Kemesraan. Penghiburan. Kesenangan. Papan sasaran.

Terlambat. Saat aku dicuri, tak bisa kau temukan aku lagi. Tak ada yang lebih kuinginkan saat ini, kecuali lari, pergi, lalu sembunyi. Bersimpuh luruh air matamu, karena kehilanganku, barang kesukaanmu. Mengapa, waktu itu, dulu, ketika percayaku utuh padamu, kau tidak sebaik-baiknya memperlakukan aku? Mengapa baru mengerti, bagaimana cinta menjadi abadi, saat yang kau miliki, telah tak ada lagi?

Yang tersisa dariku kini, adalah kekosongan tak ada arti. Hanya tersisa hati yang bentuknya lebur tak terselamatkan lagi. Semua hal yang melekat padaku telah dirampas pergi. Berdalih kebaikan yang menyembunyikan setumpuk perilaku tak manusiawi.

Andaikata aku mampu. Menelaah yang telah lalu. Berhenti mendahulukan hasrat diri. Masa kemudian tak hanya tercipta untuk satu-dua-tiga hari. Sesuatu yang hanya ingin kau pinjam, namun tak pernah ingin kau beli, sebaiknya tak lagi kau paksakan untuk dimiliki. Seorang hamba takkan pernah kau genggam selamanya. Setiap yang berjiwa, bersemayam kehendak bebas yang membuat ia hidup di dalamnya.

Kau salah. Bila kau rasa aku akan tergugah. Air mata yang kemudian diharap menjadikan aku mencipta resah. Bawalah masa lalumu. Enyah.

Miscellaneous

Delusif

Ia pergi dengan gayanya yang apa adanya. Jaket kanvasnya ia simpan di belakang motornya, tidak ia pakai, hanya ia simpan begitu saja. Tangannya memegang kunci motor yang siap membawanya pergi ke mana pun. Tapi ia tak langsung menyisipkan kunci motornya dan langsung melajukan kendaraan. Ia terlebih dahulu menggeser spion di hadapannya, memalingkan cermin kecil itu tepat ke wajahnya. Ia terkejut melihat bayangan dirinya sendiri di cermin. Seperti  inikah rupanya semenjak apa yang terjadi semalam? Rambut yang tak karuan, wajah yang kusut karena hampir tak tidur, mata berair dengan bagian putih yang tertutup serabut-serabut merah.

Diriku seperti bukan diriku, pikirnya muram. Kadang jika ia melihat dirinya sendiri, ia terlupa dan terkejut dengan apa yang ia lihat. Betapa mengerikan yang telah terjadi padanya beberapa tahun terakhir. Betapa pesat perubahan di dirinya. Seperti itukah ia sekarang? Persis seperti orang-orang yang dulu dihardiknya? Seperti manusia-manusia yang pernah dikecamnya?

Ia kembali membangunkan dirinya dari renungan sesaatnya. Ditutupnya wajahnya dengan helm dan kemudian ia meluncur ke jalan raya. Ia tak tahu ingin kemana. Dan belum juga memutuskan ingin mencari apa. Maka, ia hanya mengendarai motornya sekehendak tangannya. Namun, padatnya jalan raya tetap tak berpengaruh pada dirinya. Pikirannya tetap sibuk sendiri, dengan berbagai lalu lintas memori, tak mampu menghilangkan imaji-imaji yang muncul satu demi satu. Dan lagi-lagi, bayangan-bayangan tentang dirinya tadi tak kunjung sirna. Bahkan seperti film yang terputar dalam kepalanya, tanpa ia sanggup menghentikannya.

Betapa ia telah jauh dari apa yang telah diikrarkan oleh dirinya sendiri di masa lalu.

Bukankah ia dulu pernah berjanji? Ya, ia ingat pernah menjanjikan kepada sang ibunda dulu. Ia akan jadi anak yang pandai, bersekolah hingga tinggi-tinggi, bekerja di tempat yang membuatnya bisa membiayai kehidupan keluarga kecil mereka yang miskin. Membuat ibunya bangga, karena pernah melahirkannya.

Bukankah ia dulu pernah bersumpah? Ia kemudian teringat sumpah dengan sang ayah. Jika sang ayah meninggal dunia, ayahnya tak perlu khawatir. Ia yang akan menjaga ibu dan adik kecilnya. Takkan dikecewakannya ayahnya. Ia akan menjaga keluarga dan kehormatannya, menjadi anak yang bisa menjaga amanah.

Bukankah dulu ia pernah menggenggam jemari sang istri? Berjanji takkan ada hal-hal yang memisahkan cinta mereka hingga maut menjemput nanti? Ia takkan membuat istri dan anak mereka bersusah hati. Hanya kebahagiaan yang akan disajikannya di hadapan keluarganya. Akan dibuatnya sang istri bangga bersuamikan ia. Dan anaknya bangga karena menyandang namanya.

Tapi kenyataannya? Ia malah mengecewakan mereka semua. Semua pihak yang pernah ia beri janji manisnya. Kata-kata, tetaplah kata-kata. Tak lebih dari gelombang suara yang merambat di udara. Tak ada bedanya kini, janji yang ia ikrari, dengan suara tong kosong yang melompong.

Ada setetes kristal bening di sudut matanya. Apakah ia menangis? Ia merasai sudut-sudut matanya dengan telunjuk kirinya. Namun angin kencang yang menghembus wajahnya mengeringkan setetes air mata itu. Apakah itu semua hati nuraninya yang berkata? Apakah ia sudah mulai memiliki hati nurani lagi? Ia bingung. Gundah. Dadanya bergemuruh tak nyaman. Ya, mungkin hati nurani yang pernah ia bungkam dulu, baru saja kembali berdenyut setelah lama mati suri.

Akibat kejadian semalam kah?

Ia meneguk ludah. Panas mentari menyengat lengannya yang tak menggunakan jaket. Namun ia merasakan kulit tangannya merinding. Ia benar-benar merinding, mengingat apa yang sudah sanggup ia kerjakan semalam. Ia takut terhadap dirinya sendiri.

Seharusnya semalam berjalan mudah. Layaknya hal yang sudah ia biasa kerjakan. Seperti layaknya profesinya yang sebenarnya berlangsung seperti hari-hari sebelumnya. Penyewanya mengatakan ia tinggal menjaga tanah sang penyewa saja dari pendudukan rakyat sekitar. Seperti itu saja sudah cukup. Rakyat sekitar tak akan berani melawan ia dan sekelompok temannya yang sangar kelihatannya. Begitulah yang mereka pikirkan.

Namun semua berubah saat ternyata hal yang diluar prakiraan terjadi. Terjadi bentrokan hebat.

Ia panik. Ingin membela diri. Dan pistol di tangannya meletus, menyasar seorang balita yang kebetulan mengintip di jendela rumah. Dan untuk pertama kalinya, dalam beberapa tahun, ia menyebut nama Tuhan saat melihat apa yang telah dilakukannya. Ia baru saja membunuh seorang anak yang tak berdosa.

Dan di khayalannya sekarang, sejak semalam, ia membunuh anak itu berulang kali. Pistol ia letuskan. Dan kemudian kepala seorang anak tertembus mengucurkan merah yang pekat. Semua itu seperti film, bisa ia mundurkan, berhenti, dipercepat dan diulangi. Ia ulang adegan demi adegan dalam imajinasinya. Suara pistol. Kepala anak yang terkulai. Darah segar. Lagi. Lagi. Lagi.

Sepanjang profesinya, ia tak segan menjadi kejam. Tapi membunuh anak kecil? Dosa ini terlalu besar untuk ditanggungnya. Belum dua puluh empat jam dan ia hampir gila dikejar perasaan bersalah.

Kemana mencari ketenangan? Ia tiba-tiba ingin menelepon ibunya, ingin mendapatkan kedamaian darinya. Lama ia tak meminta maaf dan mendengar suaranya. Ia pun mengkhayalkan mantan istri dan anaknya yang lama tak disapanya. Ia ingin sekali menyampaikan bahwa ia mencintai dan merindukan keluarganya. Bahkan ia spontan menyebut ayahnya. Ingin sekali suatu hari bersujud dan menangis di batu nisannya.

Ia berusaha menggerakkan tangannya, meraih telepon genggamnya.

Namun ia tak bisa melakukannya. Tangannya tak mampu menggapai telepon genggamnya yang ia letakkan di kantong celananya. Tangannya telah terjepit entah oleh apa. Benda yang begitu berat. Mungkin oleh motornya. Kakinya tak mampu lagi ia gerakkan. Satu senti saja kakinya bergerak, dan rasa pedih merambati sekujur tubuhnya. Kaca helmnya yang retak membuatnya tak bisa melihat jelas. Suara gumaman orang-orang di sekitar yang mendatanginya tak lagi terdengar seperti kata-kata yang berarti di telinganya. Sementara tubuhnya mendingin, kilas balik kematian sang anak masih bermain-main di benaknya. Ia tak mampu lagi membedakan mana khayal dan nyata.

Kelas Menulis Poetica

Sisa Nurani

Hari condong semakin ke barat. Yeyen memandangi jam yang ada di handphone bututnya, saat langkah kakinya telah terpijak di hadapan hotel itu. Ia terlambat. Yeyen merasa bodoh karena tak sejak tadi ia mengambil keputusan.

Yeyen merasakan kecepatan debaran jantungnya meningkat beberapa kali lipat dari biasanya. Tiap langkah kakinya yang membawanya ke kamar itu, seketika itu pula meningkatlah produksi bulir-bulir keringat di dahi dan lehernya. Jika ingin menuruti keinginan hati, sejak di lobi tadi, ia akan menjejakkan kakinya keluar. Langsung menuju taksi dan pulang. Membatalkan semua kegilaan yang akan dilakukannya.  Tapi nyatanya, ia tidak sedang memenangkan hati nurani. Ia baru saja menaruh hati nuraninya di sudut paling kelam, agar wanita itu tak serta merta terganggu oleh nuraninya yang kini berontak tak nyaman karena dibekap begitu kuat oleh segenap keinginan.

Langkahnya kini tak lagi ragu, karena telah sampai di depan pintu kamar yang wanita itu tuju. Lagi-lagi Yeyen mendengar suara hati nuraninya yang berteriak kencang agar tak usah masuk ke dalam kamar itu. Membatalkan semua rencana. Namun tanpa berpikir lagi, Yeyen segera mengetuk pintu kamar itu. Jika ia tak segera mengetuk, maka Yeyen takkan pernah bisa melakukan hal ini. Tak ada gunanya berdebat dengan diri sendiri, pikirnya.

Suara ketukan di pintu membuat Zaki terkesiap. Sedari tadi, ia sudah menunggu di kamar bernomor 105 itu. Cukup lama ia menanti wanita yang beberapa waktu terakhir menjadi pelengkapnya. Kamar hotel yang terlalu luas untuk dirinya yang sedang sendirian itu membuatnya gelisah. Selama menanti, kerjaannya hanya bolak-balik di kamar. Selebihnya, ia kembali menatap handphone atau jam tangan yang kini dikenakannya. Zaki paling tak suka jika harus menunggu.

Namun kini penantiannya selesai dengan suara ketukan pintu yang semakin terdengar tak sabar itu. Zaki tahu pasti siapa sosok yang ada di balik pintu. Seseorang yang sudah Zaki tunggu dalam beberapa jam terakhir. Namun tetap saja, secara otomatis Zaki mengintip melalui lubang pintu yang memang biasanya ada di pintu hotel. Zaki hanya ingin memastikan terlebih dulu bahwa memang wanita itulah yang kini ada di balik pintu kamar itu.

“Ini aku,” kata Yeyen, setelah beberapa kali buku-buku jarinya memukul pintu kamar. Belum ada respon dari dalam. Tak seberapa lama setelah Yeyen bicara, pintu terbuka perlahan. Yeyen melihat sesosok tubuh pria. Sosok di dalam kamar itu nampak dari beberapa senti celah pintu. Rantai di pintu hotel itu masih terpasang.

“Kamu terlambat,” kata Zaki, sambil membuka pintu dan menggeser selot rantai yang membuat pintu hotel itu tak bisa dibuka lebar. “Kamu tahu ‘kan aku paling benci menunggu lama.” Namun meskipun memasang wajah tak senang dan gelisah, Zaki tetap saja mempersilakan wanita yang ia tunggu-tunggu sedari tadi itu untuk masuk ke dalam kamar.

Yeyen memasang wajah dan isyarat meminta maaf dengan mengatupkan kedua tangannya. “Maaf,” kata Yeyen. “Aku tadi sempat merasa ragu, aku harus kesini atau tidak. Berkali-kali aku ingin pergi, namun berkali-kali pula aku ingin membatalkannya.” Yeyen langsung mengungkapkan ketidaknyamanan yang ia rasakan.

Zaki diam saja mendengar alasan-alasan yang sedang ditumpahkan padanya mengenai keterlambatan itu. Ia sudah tak sabar. Ia segera menggiring wanita itu ke atas ranjang, mereka saling bertukar kecupan dalam durasi yang panjang dan perlahan, membuat suasana menjadi sunyi seketika. Tak ada seorang pun yang berbicara.

“Kurasa aku sudah gila,” kata Yeyen sambil mendesah.

“Sst, aku mencintaimu, sayang,” kata Zaki, masih sambil mengecup leher perempuan yang ia sayangi itu. Meletakkan telunjuknya di bibir agar wanita yang kini direngkuhnya itu tak banyak bicara.

“Ini salah,” kata Yeyen. Yeyen menggeleng dan mengerang. Nuraninya rupanya mulai kembali merenggut jiwa dan pemikirannya. Yeyen mendorong tubuh pria yang masih menindihnya itu.

Zaki sedikit kehilangan nafsunya saat merasakan penolakan-penolakan yang tak diharapkannya. “Ini ‘kan maksud kedatangan kita ke hotel ini?” tanyanya, dengan nada sedikit tak sabar. Zaki mulai merasa dirinya dipermainkan. Ia telah menunggu cukup lama. Ia bahkan berharap waktunya yang terbuang tadi akan ditebus dengan pertemuan yang memuaskannya. Tapi nyatanya, malah berjalan tak seperti yang ia harapkan.

“Aku tak bisa…ternyata aku tak bisa melakukan ini…” Yeyen berucap dengan sedikit gemetar. Ketakutan mengaliri tubuhnya. Ia tahu, ia sudah berjanji untuk memberikan segalanya, hari ini, jam ini, di kamar ini. Yeyen bahkan sempat bertekad takkan mundur lagi, apapun yang terjadi. Tapi ternyata, perasaan bersalah dan dosa menyergapnya lebih besar dari apapun, menjerit memintanya berhenti, membuatnya begitu ketakutan sehingga yang ingin ia lakukan hanyalah membatalkan semua rencana gila ini.

“Kamu yang menyusun semua rencana ini. Kamu yang memintaku menunggu di sini.” Zaki berkata dengan nada pahit.

“Maaf, aku…aku tak bisa. Bagaimanapun, aku akan menyesalinya. Sebelum sesal itu terjadi, dan membuatku terpuruk, lebih baik…lebih baik ini semua tak pernah terjadi,” kata Yeyen, sambil berusaha merapikan bajunya yang acak-acakan.

“Lalu, bagaimana dengan kita berdua? Hubungan kita?” Zaki memandangi Riana, wanita yang ia cintai, namun tak Zaki miliki. Melihat wajah dan ekspresi Riana, barulah Zaki sadar, bahwa kedatangan Riana, sebenarnya untuk mengakhiri hubungan gelap mereka, bukan mempertahankannya. Zaki hanya bisa terpekur memandangi sosok Riana yang memunggunginya dan meninggalkannya, setelah berucap kata pisah.

Yeyen segera melangkahkan kakinya keluar dari kamar 215, berlari dari Doni, pria yang ingin membayar mahal keperawanannya. Yeyen memang butuh uang, namun ternyata ia tak bisa mendapat uang dengan cara seperti ini. Yeyen tersenyum lega, karena tak jadi menuruti keinginan sesaatnya.

Sore itu pun semakin memerah, menjadi saksi dari dua pasang manusia yang berusaha menang dari godaan dunia yang memabukkan. Dua pasang manusia yang tak membiarkan hawa nafsu menguasai mereka pada hari itu, dan memperjuangkan sedikit dari nurani yang tersisa.

 

 

Note: Tulisan ini hasil duplikasi kreatif dari “Semesta Rasa”.