Miscellaneous

Ternyata Enak Juga

Ternyata enak juga ya, batin saya,
ketika perdana dielu-elu,
jas dan kopiah bikin saya gagah,
hari ini hari pertama,
mewakili mereka, yang saya sebut rakyat

Ternyata enak juga ya, batin saya,
saat saya duduk di kursi empuk,
saat tunjangan saya dinaikkan,
saat mobil, rumah, dan segala harta
mudah rasanya dalam genggaman saya

Ternyata enak juga ya, batin saya,
orang-orang datang mengerubungi,
meminta saya menolong dari kanan juga kiri,
ada yang hanya meminta sambil tangan saya diciumi,
tapi ada juga yang sambil menyelip amplop di jemari,
tentu saya tak menolak rezeki

Ternyata enak juga ya, batin saya,
tak perlu berpeluh bekerja keras,
tinggal diam atau bicara,
yang penting kelihatan ada,
duduk manis sambil ketiduran pun tak masalah,
gaji saya tak terpotong, malah terus bertambah,
bekerja pun di ruang yang dingin nan megah

Ternyata enak juga ya, batin saya,
Saya ingin ini jadi profesi,
seumur hidup pun saya jalani,

Lama-lama saya mulai ditanya,
oleh mereka yang memilih saya,
Pekerjaan anda bagaimana, sudah sumbangkan apa,
apakah ingat dengan janji saya,

Janji, janji, janji apa ya, kata saya,

Janji waktu anda belum jadi siapa-siapa, jawabnya

Ah, ya, tapi waktu itu saya sudah agak lupa bicara apa,
lagipula, saat itu saya belum tahu,
kalo bekerja begini itu ternyata enak juga,
jadi nanti pilih lagi saja saya,
nanti saya janjikan lagi anda,
kali ini saya kasih janji yang baru, beda dari yang lama,
jawab saya.

Miscellaneous

Tentang Takdir, Keikhlasan, dan Sudut Pandang

Suatu hari saat mengantri di sebuah klinik, ibu saya bertemu dengan seorang kenalan saya, sebut saja namanya Linda. Linda mengenali ibu saya, dan mulai menyapa serta menanyakan kabar. Meski tidak akrab, ibu saya kebetulan juga sedikit mengenal kawan saya itu, sehingga pembicaraan berlangsung lancar.

Linda telah menikah selama kurang-lebih 6 tahun. Hingga sekarang ia belum dikaruniai keturunan. Ibu saya bercerita pada saya tentang hal itu, dan ibu pun juga berkata bahwa beliau memberikan semacam saran untuk mendatangi ‘orang pintar’ yang sudah terkenal untuk membantu pasangan yang kesulitan mendapat anak.

Saya sempat termenung cukup lama memikirkan percakapan itu. Saya sendiri tidak mempermasalahkan tentang ketiadaan anak itu–saya tipikal orang yang sangat percaya bahwa beberapa hal, termasuk anak, adalah urusan Tuhan–namun yang saya pikirkan lebih tentang sudut pandang orang lain terhadap masalah seseorang. Ambil contoh di atas, yakni sudut pandang ibu saya, terhadap masalah Linda. Saya rasa, memang sudah menjadi suatu hal yang ‘otomatis’ kita lakukan, yakni berkomentar terhadap masalah orang lain yang dituturkan pada kita. Namun yang tidak mengenakkan, tidak semua orang bisa memberikan tanggapan yang baik. Bahkan sebenarnya, bagi orang yang mengalami masalah tersebut, belum tentu dia ingin terus-menerus ditanya dan membahas hal-hal yang itu-itu saja.

Jika saya meletakkan diri saya dalam posisi Linda, selama 6 tahun tidak memiliki anak, yang terasa ‘berat’ baginya justru bukan karena tidak memiliki anak tersebut, tapi ‘pandangan’ orang lain terhadapnya. Pandangan ini bisa berisi cemoohan, saran, komentar, yang bisa membangun dan menjatuhkan. Pasti sangat melelahkan, selama 6 tahun harus mendengarkan nasihat mengenai apa yang harus dilakukan dan tidak harus dilakukan dari berbagai kepala.

Apakah selama 6 tahun itu Linda dan suaminya tidak berusaha? Saya yakin mereka pasti sudah mengupayakan semaksimalnya. Saya juga yakin–setiap hari, setiap jam, setiap detik, mereka terus dihantui perasaan tidak berdaya karena belum juga mendapat kepercayaan dari-Nya. Tapi ketika anak itu belum hadir di tengah mereka, saya juga percaya bahwa mereka berdua mungkin telah ikhlas dengan keadaan tersebut, karena 6 tahun itu bukan waktu yang sebentar. Hanya saja, dalam keadaan mereka yang seperti itu, siapa pihak yang masih tidak ‘ikhlas’? Justru orang lain-lah yang masih tidak ikhlas itu. Orang lain-lah yang tidak kenal lelah menghakimi, memarahi, menasihati, mencibir, mengomentari, menyalahkan keadaan mereka. Orang lain-lah yang justru ‘tidak terima’ dengan takdir mereka. Padahal kita tahu sendiri, segala sesuatu yang berhubungan dengan jodoh, anak, rezeki, kelahiran, dan kematian adalah sesuatu yang kadang berada di luar kekuasaan manusia. Cobaan tidak memiliki anak dalam waktu lama bahkan juga dialami oleh beberapa nabi kita, yang mengisyaratkan bahwa garis takdir dari-Nya bukan karena manusia yang kurang usaha dan doa.

Saya rasa, mungkin akan bijak jika kita bisa menahan lidah kita sebentar, untuk berhenti mengomentari apalagi menghakimi masalah orang lain dari sudut pandang kita. Kita-lah yang harus belajar ikhlas menerima, bukan hanya menerima takdir kita, tapi juga takdir orang lain. Mendengarkan dan memberikan simpati, saya rasa lebih baik. Jika tidak bisa menuturkan hal-hal positif, diam adalah pilihan paling bijaksana.

Semoga Allah memberikan kita semua kemampuan untuk semakin ikhlas, untuk menerima hal-hal yang tidak dapat kita ubah, baik yang terjadi pada kita, maupun pada teman, saudara, keluarga, dan orang-orang tercinta di sekeliling kita.

Miscellaneous

Rumah

Wanita itu beringsut, mendekapkan lutut ke dada. Ia memeluknya erat, karena dingin sudah menusuk segala sendinya. Lehernya makin lama makin menunduk, dalam lamunan teringat kamar miliknya yang dulu, yang begitu hangat.

Sudah dua windu, wanita itu berhitung di kepalanya. Sudah selama itu ia harus jauh dari satu-satunya tempat yang pernah ia tinggali, tempat yang disebutnya rumah. Sebelumnya, tak pernah ia harus jauh dari kampung halamannya.

Tidak pernah sejauh ini.

Tidak pernah selama ini.

Bahkan di tempat yang merupakan rumah barunya ini, ia tak pernah bisa kerasan. Ia tak jua terbiasa. Hatinya, jiwanya, mutlak dimiliki dan hanya ada pada rumah lamanya.

Dingin, wanita itu menggigil. Tak ada selimut. Hanya tikar tipis yang menjadi penghalang tubuh ringkihnya dengan lantai. Wanita itu merapatkan punggungnya pada dinding penjara yang mengungkung raga. Di lantai sudah tak ada ruang kosong untuk semua penghuninya.

Lututnya ia peluk erat-erat. Kelopak mata ia turunkan, rapat-rapat. Bersama dengkur belasan orang lainnya, wanita itu tertidur jua.

Miscellaneous

Luka

Kamu tahu kamu tidak bisa lagi melangkah mundur, atau membalikkan badan. Yang kamu tahu hanyalah, maju dan meninggalkan semua yang ada di belakang. Kamu tersentak, karena pria yang dulu pernah meninggalkan bekas dalam pada masa lalumu tidak kembali sebagai hantu, tapi mewujud nyata di depanmu.

Tapi kamu tahu…tak ada jalan kembali untuk dirinya, bersama kamu.

Adakah dari dirimu yang salah, karena lebih memilih sendiri tanpa harus melayani siapa-siapa saat ini? Kamu bertanya dalam hati, saat orang-orang di sekitar mulai menyalahkan kamu, atas pilihanmu yang tak bertekuk lutut lagi pada pria masa lalu.

Apakah kamu memang terlalu bodoh, tak bisa melihat bahwa pria yang barusan di depanmu telah berubah menjadi pria yang sepertinya bisa menjanjikan kamu segalanya? Kamu lagi-lagi bertanya dalam hati.

Tapi…apakah arti segalanya itu? Kamu bertanya pada dirimu lagi, kesekian kali.

Kamu dahulu, telah berlutut melakukan hal yang sama padanya. Kamu dahulu, telah terluka terlalu dalam. Meski kamu tahu, kamu bukan pendendam. Hanya saja, kata maaf tidak menjadi alasan seseorang untuk melakukan dua kali kebodohan.

Kamu memejamkan mata, mengendus aroma pepohonan yang terbawa angin, serta dedaunan yang hinggap di rambutmu. Kau menyentuh sang daun yang telah retak, dan sadar bahwa daun yang telah gugur dan mengering pun takkan bisa kembali ke ranting.

Miscellaneous

Terbawa dalam

Ketakjuban di bawah kerlap-kerlip benda angkasa, membawaku

ke dalam sebuah tanya yang aku sendiri tak kuasa menghentikan.

Sering kutengadahkan wajah ke langit malam,

mencari planet, mengamati gerhana, melihat hujan meteor yang melintas tak sengaja.

Bahkan hingga kini aku ingin tahu jawaban dari lapisan lembar semesta.

 

Berita di larut malam, membawaku

ke dalam sebuah tanya yang juga selalu bermunculan.

Kenapa ada anak lelaki yang begitu kurus, dengan perut membusung,

padahal ia sekarat karena lapar?

Kenapa ada perang?

Mengapa begitu penting, dua pria berjas berdasi yang hanya saling bersalaman?

Rasa-rasanya merenungkan perpolitikan tak akan habis dalam semalam.

 

Kemerduan senandung biduan, membawaku

ke dalam sebuah kerinduan yang ganjil, untuk mendengar dan terus mendengar lagu.

Bagaimana memainkan lagu itu?

Nyanyian yang syahdu ingin kuulangi sendiri sesuka hati.

Biarkanlah aku belajar untuk bermain musik serta bernyanyi!

 

Dongeng di masa kecilku, juga membawaku

ke dalam sebuah dunia yang berbeda, dunia fantasi, dunia imaji, tak tersentuh

Susunan cerita memukau yang membuat bulu kuduk berdiri,

Rasa ingin tahu menyeretku dalam candu untuk terus menunggu,

meneruskan kelanjutan cerita yang meski aku tahu, hanyalah karangan itu.

Tapi, aku juga ingin membuat satu!

Biarlah aku menulis sesuatu!

 

Aku ingin terus terbawa, dalam samudra ilmu.

 

 

*Untuk Kartini Indonesia, ayo terus belajar dan menjadi ahli dalam berbagai bidang.

 

 

Miscellaneous

Mengenang Kenangan

S__8347653Kenangan itu datang tanpa diundang. Aneh sekali, kadang kita terbawa pada satu masa, satu momen tertentu, tanpa menyengajakan diri ingin mengingat kenangan tersebut. Pencetus kenangan itu bisa apa saja, buku yang dibaca, rasa masakan tertentu, aroma parfum seseorang, kata yang diucapkan orang lain, atau ketika melamun tanpa arah, tiba-tiba datanglah sebuah kenangan spesifik menyergap. Hal yang aku tulis ini juga adalah salah satu kenangan yang tak diminta itu, salah satu serpih masa kecilku yang terbangun setelah membaca sebuah novel. Aku tertarik paksa pada suatu ingatan saat aku duduk di bangku SD. Tulisan ini pun, tanpa sengaja, kembali menyinggung acilku, dan lagi-lagi mengukuhkan posisinya sebagai ibu keduaku.

Peristiwanya sebenarnya tak rumit. Namun, aku harus menarik garis kisahnya ke belakang, mengisahkan awal mula kenapa seorang anak kecil memilih menyendiri di teras belakang yang berhadapan dengan hutan.

Sewaktu aku masih kecil, aku memiliki tempat favorit. Waktu itu, aku masih tinggal di rumah nenekku. Tempat favoritku itu sama sekali tidak istimewa. Hanya sebuah papan panjang, dan diletakkan di sudut rumah seperti sebuah titian namun tidak mengarah kemana-mana. Papan itu terletak di bagian belakang rumah nenekku yang merupakan teras luas yang fungsinya untuk menjemur pakaian. Karena badanku yang kurus dan ringan, aku sama sekali tidak khawatir duduk di sebilah papan itu. Sebagai tempat favorit, aku bisa duduk di situ lama sekali, berjam-jam kadang, hanya untuk merenung, bermain, atau membelai kucing liar yang seringkali datang mengunjungi rumah nenekku. Aku bisa betah duduk di sana karena memang posisi tempat jemuran itu menghadap ke hutan kecil. Banyak pepohonan, kucing liar, capung, serta berbagai macam sudut tersembunyi untuk bermain petak umpet. Bagi anak kecil sepertiku, tempat itu selayaknya surga untuk berpetualang, sebuah dunia dongeng yang jadi nyata.

Walau seringkali jadi tempatku untuk menyendiri, teras jemuran itu sebenarnya bukan hanya ‘milikku’. Tempat itu adalah area terbuka yang luas, bukan hanya ideal untuk menjemur pakaian, namun juga menjadi tempat bermain bersama antara aku, saudaraku, dan sepupu-sepupuku. Tapi memang hanya aku yang senang menghabiskan waktu lama di sana. Terkadang, saat aku pulang sekolah, aku langsung saja duduk di papan itu, bahkan lupa mengganti seragam sekolah terlebih dahulu. Jika ingin sedang menghabiskan waktu di papan favoritku itu, aku akan berkata pada nenek dan gulukku bahwa aku ingin menjenguk kucing. Artinya, aku ingin ke belakang rumah dan duduk saja di sana. Aku menyukai kesendirianku di sana untuk menikmati kesunyian yang jarang kudapatkan. Disana aku bisa berkhayal dan melamun tanpa ada yang memarahi atau mengejekku.

Kalau dipikir-pikir, meski masih muda, aku memang membutuhkan privasi yang kudapat di papan kesayanganku itu. Kala itu, aku masih tinggal bersama dengan anggota keluarga yang lain di rumah nenekku. Maklumlah, pada masa dahulu, orang tua tidak mampu untuk langsung memiliki rumah atau mengontrak rumah, biasanya mereka harus tinggal di rumah mertua, hingga tiba masa mereka bisa membeli rumah sendiri. Aku belum pindah dari rumah nenekku hingga aku masuk SMP, dan selama itu pula, rumah nenekku menjadi semacam ‘tempat penitipan anak’. Sepupu-sepupuku yang umurnya tak jauh beda denganku, pada hari kerja juga dititipkan orang tua masing-masing ke rumah nenekku. Tanpa sepupu-sepupuku pun, jika dijumlah, ketika itu sudah ada 9 orang yang tinggal di satu rumah yang sama! Apalagi, ditambah dengan tiga sepupuku yang ikut dititipkan di rumah tua itu dari siang hingga sore hari. Bisa dibayangkan bagaimana penuhnya rumah nenekku kala itu. Tambahlah rumah itu terasa ramai dan sesak, tidak peduli siang atau malam hari!

Papan itu, adalah tempat aku mencurahkan suka dan duka. Lucunya, di antara banyak hal yang aku lakukan di papan itu, entah kenapa hanya kenangan ini yang tertinggal padaku–sebagian begitu samar, sementara sebagian yang lain sangat jelas.

Aku ingat menangis di sana diam-diam, hanya karena masalah yang sepele. Penyebabnya bermula saat aku akan pergi les bahasa inggris di sore hari yang panas. Entah kenapa, aku lupa alasannya, tapi yang jelas aku terlambat datang. Aku tahu, pada hari itu, aku sebenarnya tidak boleh terlambat. Hari sebelumnya, guru les-ku berkata bahwa tempat les akan dipindah ke tempat yang baru, jadi ia meminta agar kami semua berkumpul dan berangkat bersama di jam yang ditentukan ke tempat baru itu. Meski sudah kukayuh sepedaku dengan cepat, namun aku ternyata tetap ditinggal oleh guru dan teman-temanku. Saat aku sampai, tempat lesku sudah kosong melompong. Teman-teman dan guruku sudah berangkat ke tempat baru yang aku juga tidak tahu dimana. Waktu itu, belum ada handphone untuk menghubungi teman-temanku. Perasaanku hancur saat itu. Aku kecewa. Aku merasa disisihkan, dan ditinggalkan, meski hal itu terjadi karena keterlambatanku sendiri.

Dengan perasaan hampa, kukayuh sepedaku kembali ke arah rumah nenekku. Aku kembali pulang dan langsung menuju tempat pribadiku, sang papan titian. Aku duduk di sana, diam dalam waktu yang cukup lama, dan akhirnya, tangisku pecah.
Saat itu matahari memang sudah mulai menurun, orangtua dan acilku sudah pulang ke rumah dari kantor masing-masing. Yang aku tidak sangka, ketika sedang menangis itu, aku ditemukan oleh seseorang–di bagian ini, aku mendadak tak bisa mengingat, siapa yang sedang menemukanku. Entah ibuku atau acilku. Tapi yang jelas, aku ditanya kenapa menangis sebegitu rupa. Aku pun langsung menjawab, “Aku ditinggal…” Kemudian aku bercerita mengenai kekecewaanku di tempat les itu.

Kembali aku lupa, entah ibuku atau acilku–atau mungkin keduanya, membawaku ke waduk untuk menghiburku. Di Waduk itu ada sepeda air berbentuk angsa, dan aku diajak menaikinya hingga magrib menjelang. Bagi anak kecil sepertiku, saat itu alasan untuk kecewa bisa begitu sepele, tapi alasan untuk bahagia juga bisa sama sepelenya. Aku pun kembali ceria dan melupakan apa yang terjadi setelah aku diajak jalan-jalan sore itu.

Saat mengingat kenangan itu, aku langsung merasakan, betapa aku sangat disayang. Aku pun tersadar betapa posisi almarhumah acilku begitu kuat, bahkan bisa membuatku bingung apakah dalam masa kecilku, ibuku atau acilku yang lebih banyak berperan. Dalam satu kenangan yang sama pun, wajah mereka terasa bercampur atau tertukar. Untuk hal yang menyenangkan seperti mendapat peringkat pertama, atau untuk hal yang menakutkanku seperti saat aku tidak sengaja terluka, aku ingat bahwa aku selalu mendapat dua ‘porsi’ pujian dan omelan. Satu dari acilku, satu dari ibuku. Ketika menulis ini pun, aku merasa tidak sanggup mengetik kata ‘almarhumah’ di depan kata acilku. Bukan karena aku tidak ikhlas karena kepergiannya, bukan itu. Namun aku hanya merasa acilku begitu hidup, seakan ia tidak pernah pergi kemanapun.

Ada senyum dan sedih menyelinap saat kenangan mengenai masa kecil itu muncul pada diriku. Keunikan dari sebuah kenangan adalah, kadang-kadang, kenangan itu tidak pilih-pilih. Kita tidak bisa memilih kenangan mana yang tinggal atau hilang. Kadang, kejadian itu bisa sangat sepele. Kita melihat punggung orang tua kita, es krim kita jatuh, atau pertengkaran kecil dengan saudara. Bisa jadi, kejadian itu memang sangat berkesan, acara ulang tahun kita, hari kelulusan, rekreasi ke luar kota bersama teman. Tapi tetap saja, memori itu tetap tidak memilih kapan datang dan perginya. Kadang hari itu adalah hari yang sangat penting, hingga kita bertekad tidak melupakannya, tapi suatu hari di masa yang akan datang kita tetap lupa. Ada memori yang tidak sengaja terlupa, tapi tetap datang di saat kita tidak menginginkannya.

Tapi jika kau tak sengaja teringat, segera tuliskan, karena kenangan itu belum tentu datang mengetuk pintu ingatan untuk kedua kalinya.

Keterangan:

Guluk : tante, namun secara khusus untuk tante yang merupakan anak kedua. Anak pertama disebut julak, anak kedua disebut guluk, anak ketiga dan seterusnya dipanggil acil.

Sketsa milik penulis.

Miscellaneous

David vs. Goliath

Keberadaan meja yang memisahkan antara aku dengan sosok di depanku patut disyukuri. Meja itu menghalangiku untuk langsung menerkam sang tamu yang kupanggil hari ini.

“Seharusnya kamu ini lebih berhati-hati!” Aku menggeram. Agus, orang yang sedang kumarahi di depanku melihatku dengan tak senang. Aku menyuruhnya datang untuk kumarahi. Tapi tindakannya kali ini berlebihan, kekanak-kanakan, hampir mencelakakan kami semua.

“Mending kamu bakar saja sekalian kami ini, satu desa, sampai mati. Yang kamu lakukan ini, sama saja dengan membunuh kami semua, pelan-pelan.” Aku mengomel lagi. Kata ‘pelan-pelan’ aku tekankan betul di ujung kalimat. Aku sedang tak ingin membiarkan Agus berkesempatan membalas kata-kataku. Kutumpahruahkan dulu kemarahanku, kejengkelanku, pada pemuda itu, biar aku lega. “Lagian, kalau kamu mau menjelek-jelekkan pejabat, mending nggak usah bawa-bawa nama desa, suku, etnis, atau apapun itu! Ini pakai mengatasnamakan kami semua! Kamu pikir sejak kapan suara kamu mewakili satu kaum, hah? Kamu ngerasa diangkat jadi nabi?!” Aku mencecarnya lagi.

Agus menunduk, menggumamkan sesuatu yang masih bisa kutangkap. Ia tahu pasti, ia memang salah. Tulisannya kali ini memang sengaja untuk menuai kontroversi. Untunglah, sebelum terbit, rekan Agus melaporkan dulu padaku. Agus sudah sering membawa masalah baru karena tulisan-tulisannya.  “Setidaknya aku melakukan sesuatu,” ucapnya membela diri.

“Jadi menurutmu kami tidak melakukan apa-apa, begitu?” Cepat kusambar kalimatnya itu. “Kamu pikir usaha hukum yang saya dan teman-teman lakukan itu bukan usaha?”

Wajah Agus berubah ekspresinya. Sebelah senyumnya terangkat. Perilakunya benar-benar menjengkelkan. Ia terang-terangan meremehkanku, meremehkan segala upayaku. Aku mengatupkan gigi. Menahan nafsu setan untuk menjambak rambutnya.

Sebagai ganti, kuambil kertas-kertas yang berisi konsep artikelnya yang sejak tadi sudah di mejaku. Dengan melampiaskan seluruh kejengkelan, kurobek-robek kertas-kertas itu. Mesin penghancur kertas di samping mejaku kemudian menerima serpihan kertas dariku dengan senang hati. Mata Agus membulat, rahangnya mengeras. Tapi dia tak berucap meski sepatah kata.

“Saya tahu kamu pasti punya file ini di laptopmu.” Aku berkata. “Tapi sekarang kamu tahu, saya berada di posisi yang bertentangan dengan kamu.”

“Kita di tujuan yang sama,” sahut Agus.

“Tapi tidak dengan caranya,” ujarku cepat. “Tidak dengan tulisan yang memanaskan suasana, apalagi berdasarkan fitnah.”

“Upaya formal tidak akan berhasil, Wan.” kata Agus dengan suara lebih menantangku kali ini. “Kita akan tetap kalah. Seperti tahun-tahun sebelumnya, upaya kita untuk banding kali ini pasti gagal. Kamu lihat siapa lawan kita? Kamu lihat siapa diri kita?”

Aku memandang Agus lebih tajam. “Jika kamu merasa kita di pihak yang benar, untuk apa kita curang? Sapu yang kotor tidak akan bisa dipakai untuk membersihkan, Gus.”

“Kamu naif.” Agus menyahutku dengan dingin. “Mentang-mentang sudah jadi ketua LSM…”

Aku tidak merasa perlu membalas Agus. Aku berdiri dari mejaku, membukakan pintu untuk mengusirnya. Semenjak kami kuliah, semenjak kami menjadi sahabat di himpunan mahasiswa, semenjak kami sama-sama berdemo di jalan, aku tahu bahwa ada yang berbeda dari kami berdua. Agus lebih suka menghalalkan segala cara. Menurutnya itu untuk membalas para orang-orang borjuis yang juga menggunakan cara yang sama kotornya. Kami boleh jadi berasal dari desa yang sama, tapi tidak dengan cara pikir kami.

“Aku wartawan, dan tugasku adalah menulis. Aku akan tetap menulis.” Agus berkata dingin. Ekspresinya mencibirku. “Ingat, kita tidak akan pernah menang. Desa kelahiran kita akan ditenggelamkan, kalah dengan perusahaan tambang itu. Aku akan tertawa melihat kamu menangis.”

Setelah berucap demikian, ia pun segera berlalu. Kupandangi Agus yang telah keluar, pergi dari kantorku dengan langkah panjang. Aku menatap Agus hingga punggungnya tak lagi terlihat. Aku iba terhadap jalan pikirnya yang sudah sedemikian tercemar.

“David pun bisa menang melawan Goliath, Gus.” Aku berbisik pada diriku sendiri sambil memejamkan mata.

Miscellaneous

Dariku Untukmu

D A R I K U

 
Aku adalah pemuja kata, frasa, kalimat dan prosa

Namun aku juga memujimu, yang dianugerahkan Tuhan padaku

Giliranku untuk memberikan sedikit bahagia

Rasa-rasanya, lama aku tak berbagi peluk, tawa dan canda

Aku ingin sekali, kembali ke masa itu, dimana

Impian adalah penyala semangat kita

Narasi masa lampau dan masa kini mungkin berbeda, tapi

Indah saat bersama dahulu, tak mudah terlupa.

.

 

U N T U K M U

 

Angan-angan itu, memang benar,

Nampak jauh serta samar

Gelisah ini tak mungkin pergi

Resah juga tak mudah mati

Akan tetapi, hidup tetap harus dijalani

Ingin dan harap adalah pertanda

Nuranimu sebenarnya masih berkata,

Impian ini adalah bahan bakar hati